Saturday, August 27, 2005

Desentralisasi Busung Lapar

Marasmus kwashiorkor atau busung lapar kembali menyerang beberapa wilayah di Indonesia. Ibarat api dalam sekam, masalah yang lama tak terdengar itu muncul kembali di tengah-tengah semangat desentralisasi pengelolaan pemerintahan daerah. Ironis memang, negeri yang kaya dengan sumber daya pangan ini harus melihat kenyataan pahit sebagian rakyatnya kekurangan gizi yang maha hebat. Bahkan beberapa penderitanya sudah menghembuskan napas yang terakhir. Dikhawatirkan angka kematian itu akan terus bertambah karena setiap hari ditemukan anak-anak yang menderita gizi buruk.

Fenomena busung lapar telah cukup menggambarkan bahwa implementasi desentralisasi pengelolaan pemerintahan belum mampu menjawab kebutuhan rakyat yang paling dasar sekalipun, yakni kesehatan. Awalnya, gagasan desentralisasi didasarkan pada sebuah argumentasi bahwa pengelolaan oleh unit-unit pelayanan publik akan lebih efektif jika diserahkan kepada unit yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Hal itu mengandaikan jika semakin dekat hubungan antara pemerintah (region) dengan masyarakat, semakin bisa dipahami kebutuhan masyarakat akan suatu pelayanan. Dengan kata lain, desentralisasi memiliki maksud untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas -sekaligus peningkatan kualitas- pelayanan umum.

Namun kenyataan sering tidak sama dengan cita-cita. Desentralisasi yang baru menginjak usia lima tahun telah menunjukan gejal anomali. Diantaranya yang menonjol adalah maraknya praktek korupsi yang dilakukan penguasa baru di tingkat lokal. Sebenarnya sedari awal sudah ada peringatan bahwa memberikan monopoli kewenangan kepada elit lokal untuk mengelola pemerintahan daerah, khususnya dalam hal penganggaran akan banyak menimbulkan praktek penyimpangan jika salah satu prasyarat desentralisasi tidak dipenuhi, yakni diterapkannya prinsip partisipasi dan akuntabilitas.

Partisipasi  yang dimaksud tak lain adalah perluasan keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan dan proses politik lokal. Partisipasi juga perlu dipandang sebagai pengakuan atas hak bagi masyarakat untuk dapat mempengaruhi dan terlibat dalam penyusunan serta pelaksanaan sebuah kebijakan publik. Pengertian itu sekaligus memberikan tekanan bahwa masyarakat adalah aktor penting pembangunan.

Dengan demikian, partisipasi harus dilihat sebagai meningkatnya peran masyarakat dalam memilih pemimpin mereka (proses politik lokal) dan meminta mereka melaksanakan apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Sementara akuntabilitas dapat diterjemahkan sebagai kewajiban pemerintah untuk memberikan laporan dan penjelasan atas keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan pemerintahan lokal kepada masyarakat, melalui mekanisme reward and punishment. Oleh karenanya, dalam pengertian desentralisasi yang utuh, hubungan atau relasi dan pembagian kekuasaan antara negara dan masyarakat telah didefinisikan ulang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi (TA. Legowo, 2001).

Minimnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan di era desentralisasi tak dapat dipungkiri menyulut berbagai bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh elit lokal, sejak pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pertanggungjawaban pembangunan. Penyimpangan itu disatu sisi dapat dikategorikan sebagai korupsi, dimana banyak anggaran pemerintah daerah yang diselewengkan oleh para pejabat publik untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dan disisi lain, secara lebih luas penyimpangan itu dapat ditemukan dalam berbagai bentuk. Misalnya pengabaian terhadap amanah rakyat, masa bodoh terhadap nasib rakyat, mengalokasikan anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, menghambur-hamburkan dana publik untuk proyek-proyek mercusuar, plesiran menggunakan dana publik dengan mengatasnamakan urusan dinas dan lain sebagainya. Penyimpangan itu oleh Prof. Satjipto Rahardjo diistilahkan dengan korupsi kekuasaan.

Untuk menyelesaikan berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan itu tidak bisa digunakan pendekatan legalistik-formal belaka. Produk kebijakan yang berdampak langsung maupun tidak langsung pada kerugian masyarakat tidak dikategorikan sebagai delik korupsi sebagaimana diatur dalam UU No 31 tahun 1999 dan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Melainkan harus dicari jawaban atas sebuah pertanyaan dasar, bagaimana penggunaan kekuasaan itu bisa dikendalikan dan dapat diarahkan untuk menyelesaikan problem-problem kemasyarakatan?

Mengaitkan antara fenomena busung lapar dengan berbagai macam bentuk penyimpangan kekuasaan bukanlah suatu pekerjaan yang rumit. Seorang teman pernah berujar, watak sebuah rezim dapat dilihat dari kebijakan atas penganggaran. Jika watak rezim itu pro terhadap usaha menyelesaikan berbagai masalah yang ada di masyarakat -termasuk problem kesehatan-, maka sebagian alokasi anggaran tersebut pasti diperuntukkan bagi kepentingan itu. Demikian pula sebaliknya, desain anggaran yang sama sekali tidak akomodatif terhadap kepentingan publik merefleksikan watak rezim yang oligharkis.
Abainya pemerintah terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat dapat dilihat dari minimnya alokasi anggaran untuk peningkatan kualitas kesehatan. Hal ini nampaknya merupakan salah satu sebab penyakit busung lapar masih menjadi ancaman yang menakutkan. Misalnya saja Pemkot Semarang yang dalam APBD 2004, anggaran perbaikan gizi masyarakat dan keluarga hanya dialokasikan Rp. 96 juta. Sementara itu di Pemerintah Propinsi Jawa Barat pada tahun 2005 dialokasikan Rp 25 miliar dari APBD. Anggaran sebesar itu sudah termasuk belanja pegawai (gaji dan honorarium pegawai), pembangunan fisik dan lain-lain. Sedangkan anggaran kesehatan untuk masyarakat hanya Rp 4 miliar. Dengan jumlah penduduk 2,1 juta jiwa misalnya setiap warga Kab. Sukabumi hanya mendapat dana kesehatan Rp 2.000,00/orang/tahun. Padahal standar idealnya Rp 42.500,00/orang/tahun.
Coba bandingkan dengan asuransi kesehatan 45 anggota dewan di Kab. Karanganyar pada tahun 2003 yang mencapai Rp 1,8 Milyar. Ini berarti masing-masing anggota dewan mendapatkan alokasi anggaran Rp 40 juta/orang/tahun. Besarnya alokasi anggaran untuk mengcover kesehatan anggota dewan juga dapat dijumpai di daerah lainnya.
Oleh karena itu, menggejalanya penyakit busung lapar tidak bisa dipandang hanya sebagai sebuah persoalan kebiasaan (habit) masyarakat yang menyimpang, sebagaimana sering dikatakan oleh para pejabat kita. Meletakkan beban tanggung jawab terjadinya busung lapar kepada masyarakat sama sekali tidak menyelesaikan persoalan, lebih dari itu merupakan cara pandang kuno yang selalu menyalahkan korban (blame the victims). Yang harus disadari bahwa busung lapar dan berbagai jenis penyakit lainnya yang mengancam masa depan anak-anak dan menyebabkan hilangnya sebuah generasi merupakan akibat langsung dari desain dan penerapan sebuah kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka yang menjadi korban. Barangkali momentum pemilihan kepala daerah bisa dijadikan sebagai ajang untuk menata ulang orientasi pembangunan supaya desentralisasi benar-benar bisa dinikmati hasilnya oleh masyarakat. Bukannya justru melahirkan penderitaan baru yang tidak jelas kapan akan berakhirnya.

No comments: