Saturday, August 27, 2005

Menyoal Penon-aktifan Puteh

Sorotan media terhadap kasus dugaan korupsi yang dilakukan Gubernur NAD, Abdullah Puteh kian tajam. Sekurangnya hal itu terjadi mengingat KPK baru kali pertamanya mengumumkan status tersangka seorang gubernur, sebuah jabatan politik penting yang selama ini membuat hukum seringkali tak kuasa menyentuhnya. Menjadi lebih menarik karena KPK selama ini dipandang oleh berbagai pihak akan mengalami nasib sama dengan lembaga penegak hukum lainnya, yakni mandul dalam pemberantasan korupsi. Rasa pesimisme yang demikian ternyata dapat dipatahkan -setidak-tidaknya hingga hari ini- oleh KPK dengan mengumunkan status tersangka sang gubernur. Jika KPK konsisten dengan sikap profesionalitasnya dan maju dengan hasil yang kian menjanjikan, harapannya tingkat kepercayaan masyarakat bahwa korupsi bisa diberantas perlahan-lahan akan pulih.

Setelah Abdullah Puteh resmi dijadikan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembelian helikopter Mi-2, tuntutan masyarakat untuk menon-aktifkan gubernur NAD bertubi-tubi muncul. Peluang untuk menon-aktifkan Abdullah Puteh memang terbuka lebar. Dalam UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK diberi kewenangan yang besar untuk melakukan banyak hal, termasuk memerintahkan kepada atasan atau pimpinan dari tersangka kasus korupsi untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya sebagai diatur dalam pasal 12 huruf e UU tersebut. Presiden Megawati sendiri dalam sebuah pernyataan lisannya di media massa telah memberikan sinyal positif untuk memberhentikan sementara pejabat negara yang terlibat kasus korupsi.

Hanya saja hingga detik ini, Mendagri, Hari Sabarno selaku pihak pemegang otoritas administratif pemerintahan masih bersikap menunggu. Alasan utamanya, penon-aktifan Abdullah Puteh harus meliputi tiga rekomendasi aspek, yakni aspek hukum yang otoritasnya dipegang oleh KPK, aspek politik yang berada di DPRD NAD dan aspek administrasi itu sendiri. Lambatnya respon Mendagri ditengarai masyarakat sebagai bentuk perlindungan terhadap Puteh dari jerat hukum (Tempo, 10/7/04). Jauh-jauh hari sebelumnya, Hari Sabarno dalam posisinya sebagai Menko Polkam juga telah dianggap mengintervensi proses hukum yang dilakukan KPK atas perkara korupsi Abdullah Puteh (Kompas, 1/7/04).

Jika demikian argumentasi yang diungkapkan Mendagri, mari kita kaji satu persatu. Dari sisi aspek hukum, rekomendasi penon-aktifan Puteh memang mutlak diperlukan. KPK sebagaimana telah disinggung diatas memiliki kewenangan untuk memerintahkan pemberhentian sementara tersangka korupsi dari jabatannya. Dilihat dari kacamata hukum, status resmi tersangka bagi Puteh telah dipenuhi untuk memberhentikan sementara dirinya. Hanya saja persoalannya, KPK sampai saat ini belum secara resmi memerintahkan pemberhentian sementara Abdullah Puteh kepada presiden. Sebagaimana ditulis Tempo (10/7/04), dalam surat KPK yang dilayangkan kepada Mendagri, KPK hanya sebatas memberitahukan status Puteh sebagai tersangka, bukan rekomendasi untuk menon-aktifkan.

Padahal dari perspektif pemberantasan korupsi, upaya penon-aktifan itu memiliki beberapa tujuan. Pertama, bahwa penon-aktifan pejabat negara yang terlibat korupsi dimaksudkan untuk melucuti ‘kekebalan’ karena kekuasaan yang dimiliki pejabat negara sehingga memudahkan proses penyelidikan dan penyidikan. Perihal ‘kekebalan’ hukum dan politik dari pejabat negara memang menjadi persoalan tersendiri dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.

Dampak psikologis bagi aparat penegak hukum dalam berhadapan dengan pejabat negara yang tengah diperiksa memang tidak dapat dipungkiri membuat proses hukum mengalami hambatan. Bahwa semua orang berkedudukan sama di depan hukum, memang sudah seharusnya. Namun bahwa hukum mengistimewakan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan, juga fakta yang tidak dapat dipungkiri. Oleh karenanya, penon-aktifan sebenarnya dimaksudkan agar hukum tidak berlaku diskriminatif dan menjadi jalan keluar demi efektifnya proses hukum yang tengah berjalan.

Kedua, penon-aktifan juga dimaksudkan untuk memperlancar pemeriksaan dalam konteks yang lebih teknis. Pelimpahan fungsi dan wewenang pejabat negara dalam batas-batas tertentu perlu dilimpahkan kepada pihak lain yang otoritatif agar pemerintahan tetap berjalan normal. Menjadi kerumitan tersendiri seandainya seorang gubernur yang harus mengkonsentrasikan diri dalam pemeriksaan kasus korupsi, disibukkan dengan tanggung jawabnya sebagai kepala daerah. Memaksakan kepala daerah untuk tetap menjalankan fungsi dan wewenangnya ditengah pemeriksaan atas perkara korupsi hanya akan berakibat kontra-produktif. Di satu sisi, jalannya pemerintahan tidak efektif karena proses pemeriksaan yang harus dijalani, di sisi lain tanggung jawab sebagai pejabat negara itu dijadikan alasan untuk mangkir dari proses pemeriksaan. Tidak hadirnya Puteh untuk kali kedua atas panggilan pemeriksaan KPK menunjukkan gejala itu. Ketiga, penon-aktifan pejabat negara yang telah berstatus hukum tertentu merupakan jalan keluar untuk menghindari krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang ada, sekaligus sebagai upaya mempertahankan kredibilitas pemerintah sendiri. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi KPK untuk menunda penon-aktifan Abdullah Puteh sebagaimana yang telah menjadi kewenangannya.  

Sementara itu, rekomendasi politik dari DPRD NAD untuk menon-aktifkan Puteh sebagaimana dimaksudkan Mendagri, hingga saat ini juga belum ada tanda untuk dikeluarkan. Muhammad Yus, Ketua DPRD NAD dalam keterangannya di media massa justru masih menanti surat resmi dari KPK dan Mendagri untuk mengambil sikap politik. Selama pemberitahuan resmi dari kedua instansi itu belum keluar, maka sikap politik resmi DPRD belum dapat disampaikan (Media Indonesia, 10/7/04).

Sebenarnya rekomendasi politik DPRD NAD tidak terlalu menentukan apakah Puteh akan dinon-aktifkan atau tidak. Sekurang-kurangnya ada dua alasan untuk itu. Pertama, bahwa dari segi hukum, upaya penon-aktifan itu menggunakan dasar UU No 30 tahun 2002 tentang KPK yang tidak menyinggung sama sekali mengenai perlunya rekomendasi politik DPRD. Jikapun DPRD sebagai wakil rakyat memiliki kewenangan politik untuk itu, bukan dalam konteks pemberhentian sementara, melainkan pemberhentian seterusnya (tetap) karena tiga hal, yakni ditolaknya LPJ akhir masa jabatan Kepala Daerah, LPJ akhir tahun angggaran dan LPJ karena hal tertentu, termasuk didalamnya terlibat kasus korupsi.  Semua itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 108 tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Kepala Daerah RI. Kedua, selain sebagai Kepala Daerah yang harus bertanggungjawab kepada DPRD, gubernur merupakan wakil pemerintah pusat yang memiliki hirarki tanggung jawab kepada presiden selaku atasannya langsung, khususnya tanggung jawab yang terkait dengan pelaksaan tugas dekonsentrasi. Dengan demikian, dalam kasus Abdullah Puteh, persyaratan adanya rekomendasi politik DPRD untuk menon-aktifkan Puteh menjadi tidak signifikan.

Justru yang menjadi titik krusial dalam upaya penon-aktifan Puteh adalah aspek hukum administrasi itu sendiri, terutama dari sisi kemauan politik (political will). Tersendatnya kasus pemeriksaan korupsi DPRD di berbagai daerah oleh kejaksaan karena ijin pemeriksaan dari Mendagri belum keluar, pembiaran kasus money politics dalam proses Pilkada beberapa periode yang lalu  menjadi catatan tersendiri, apakah kemauan politik pada pemegang otoritas administratif itu sebenarnya ada atau tidak.

1 comment:

Anonymous said...

Enjoyed a lot! » » »