Luar biasa! Kira-kira tiga ratusan anggota legislatif dari berbagai daerah kini sedang dalam proses pemeriksaan oleh aparat penegak hukum karena disangka melakukan korupsi APBD. Kemungkinan besar jumlah itu kian membangkak mengingat hampir setiap hari, berita mengenai pembongkaran kasus korupsi APBD yang melibatkan anggota DPRD dilaporkan oleh masyarakat. Dari data ICW selama kurun waktu Januari hingga Desember 2004 saja, dari 239 kasus korupsi yang terjadi, tercatat 102 diantaranya adalah kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD.
Seiring dengan kerja-kerja pembongkaran kasus korupsi yang melibatkan politisi di DPRD, kabar bagus baru berhembus dari Padang, Sumatera Barat dimana Pengadilan Tinggi (PT) Sumbar telah menguatkan dakwaan Pengadilan Negeri (PN) Padang dengan memvonis bersalah 43 wakil rakyat yang terlibat korupsi APBD. Bahkan, vonisnya semakin berat karena dakwaan primer di tingkat PN Padang yang sebelumnya dinyatakan tidak terbukti justru di PT Sumbar dinyatakan terbukti.
Kita tentunya berharap bahwa success story dari Sumbar dapat menjadi bola salju yang menggelinding kian besar. Menyibak kasus-kasus serupa yang terjadi di Cianjur, Cirebon, Garut, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Aceh, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah dan lain sebagainya. Vonis itu juga seakan menjadi air penyegar setelah sekian lama dunia peradilan dianggap mandul dalam usaha memberantas korupsi. Putusan itu sekaligus dapat dijadikan ‘jurisprudensi’ bagi para hakim yang akan mengadili anggota dewan pada kasus korupsi APBD di tempat lainnya.
Melihat jumlah wakil rakyat yang kini tengah diperiksa dan disidik oleh aparat penegak hukum, ingatan kita tentunya akan kembali kebelakang. Mau tidak mau, praktek korupsi yang dilakukan secara massal oleh anggota dewan dalam beberapa hal sangat dipengaruhi oleh kesalahan partai politik dalam menyaring calon legislatif. Belajar dari pemilu 1999, kita dapat melihat bahwa mekanisme rekrutmen politik yang ada memang masih jauh dari demokratis, transparan dan akuntabel. Kriteria individu yang akan diajukan sebagai kandidat pejabat publik (anggota DPRD) tidak memperhatikan prinsip kemampuan (intelektual maupun teknis), integritas dan dukungan riil dari konstituen.
Sebaliknya, budaya sit buying (beli kursi) dan nepotisme pada praktek seleksi kandidat wakil rakyat di internal partai politik menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan. Kondisi demikian menyebabkan proses seleksi tidak berpegang pada ukuran-ukuran yang objektif sehingga tidak mampu menyaring calon-calon yang sebenarnya kredibel, memiliki kapasitas untuk menjadi wakil rakyat. Lahirnya politikus korup yang direfleksikan dalam berbagai kasus penyelewengan APBD adalah buah dari sistem seleksi kandidat di tubuh partai politik yang salah kaprah dan penuh nuansa KKN. Maka tak heran jika motif utama wakil rakyat yang lolos seleksi karena kekuatan uangnya adalah mengembalikan investasi yang pernah ditanamnya dengan cara korupsi.
Tanggung Jawab Partai Politik
Mengingat terdapat korelasi yang sifatnya sebab-akibat antara praktek korupsi yang melibatkan politisi di parlemen dengan buruknya model rekrutmen di tubuh partai, maka model pemberantasan korupsi yang melibatkan politisi tidak dapat mengandalkan pada aspek penegakan hukumnya saja. Sungguh tidak fair dan berat sebelah seandainya pemerintah sekarang yang harus berjibaku dengan para politisi koruptor, dengan kritik yang tiap hari deras menghantam, sementara di sisi lain partai politik tidak melakukan upaya apapun untuk menegakan budaya anti-korupsi di tubuh mereka sendiri. Jika misalnya Golkar tidak ingin disebut sebagai bunker para koruptor, tentunya harus ada upaya konkret untuk menepis tuduhan itu.
Dengan kata lain, upaya hukum untuk mengadili para politisi korup harus diimbangi dengan penegakan etika politik di lingkungan partai politik. Bahwa korupsi yang dilakukan oleh politisi bukanlah semata-mata urusan peradilan, namun juga menjadi bagian dari tanggungjawab partai politik yang mengkader politisi. Bagaimanapun proses hukum tidak dapat menjangkau fakta diluar dirinya sendiri. Berbeda dengan keputusan politik yang dapat membaca realitas di luar hukum, yakni fakta sosiologis berupa ‘mimpi’ rasa keadilan bagi masyarakat luas, khususnya bagi konstituen partai politik sendiri.
Oleh karena itu, sebagai bagian dari tanggung jawab partai politik untuk melakukan pembersihan internal dari kontaminasi dan beban masalah para politisi kotor, partai politik dapat melakukan beberapa upaya yang sistematis untuk menyelesaikannya. Upaya itu terkait dengan pembenahan sistem, aturan main dan pembangunan tradisi berpolitik di internal partai ke arah yang lebih sehat.
Pertama, dalam jangka panjang, partai politik perlu membenahi mekanisme rekrutmen dan promosi politik yang selama ini condong pada kekuatan uang dan kedekatan dengan elit sebagai penopangnya. Mekanisme rekrutmen politik yang sehat adalah mekanisme rekrutmen yang memperhatikan dan berlandaskan pada prinsip-prinsip yang demokratis, transparan, akuntabel dan partisipatoris. Selain daripada itu, calon pejabat publik yang akan diorbitkan partai politik harus memiliki kriteria kelayakan individual yang jelas dan objektif. Objektifitas itu bisa diukur dari beberapa aspek, misalnya kapasitas intelektual dan politik, integritas individu dan dukungan real dari konstituen atau basis.
Di beberapa negara yang kehidupan politiknya lebih dewasa dan demokratis seperti Taiwan misalnya, partai politiknya telah mentradisikan pemilu internal untuk memilih calon pejabat publik. Konvensi sebagaimana mulai ditradisikan partai Golkar merupakan salah satu bagian dari praktek pemilu internal partai, namun sayangnya masih membatasi diri pada pemilih di jajaran struktural partai. Kedepan, model ini perlu dikembangkan tidak hanya oleh Golkar, tapi juga oleh partai politik lain dengan memperluas jangkauan peserta pemilih, yakni pelibatan konstituen partai secara lebih adil dan nyata dengan mempertimbangkan komposisi suara yang proporsional.
Kedua, sebagai bagian dari tanggung jawab dan dukungan terhadap gebrakan 100 hari SBY-Kalla dalam pemberantasan korupsi, partai politik juga harus melakukan gebrakan serupa dengan melakukan pembersihan besar-besaran tubuhnya dari para politisi korup. Partai politik perlu membuat terobosan yang progresif sebagai bagian dari penegakan disiplin organisasi dengan menon-aktifkan atau memecat dan mengganti para anggotanya yang terlibat korupsi, baik yang kini tengah duduk di parlemen atau jabatan publik lainnya dengan politisi yang lebih baik tanpa harus menunggu proses hukum yang sedang berlangsung. Namun supaya tindakan represif itu dirasa adil bagi semua pihak, bagi para politisi yang kini tengah menjadi tersangka atau terdakwa perlu disediakan mekanisme rehabilitasi nama baik seandainya proses hukum tidak menemukan tindak pidana korupsi yang melibatkan mereka.
Keputusan politik berupa penon-aktifan atau pemecatan kader partai yang diduga melakukan korupsi hendaknya juga perlu dibaca sebagai solusi untuk menutupi kepincangan relasi antara wakil rakyat dengan konstituennya. Selama ini menjadi kesulitan tersendiri bagi rakyat untuk menagih tanggungjawab kepada wakil mereka yang telah mengeluarkan kebijakan merugikan atau telah keluar dari janji semula, kecuali menunggu pelaksanaan pemilu berikutnya. Pasalnya regulasi tidak membuka ruang partisipasi bagi rakyat untuk dapat menarik mandat para wakil mereka di parlemen di luar mekanisme pemilu. Padahal ruang partisipasi itu sangat diperlukan untuk mengerem praktek menyimpang anggota parlemen. Dengan demikian, partai politik bisa menjadi jembatan yang menyediakan mekanisme penarikan mandat tersebut.
Ketiga, partai politik sudah saatnya melembagakan budaya anti-korupsi di kalangan internal mereka sendiri. Selain penerapan pemilu internal dan penegakan disiplin partai yang mengarah pada gerakan antikorupsi, partai politik juga harus menjamin pelaksanaan integritas untuk mengukur tingkat keterbukaan dan pertanggung-jawaban partai politik kepada konstituennya dengan penerapan kode etik yang berlaku imparsial. Sebagai misal di Malaysia, beberapa partai politiknya menerapkan kewajiban bagi elit partai yang akan dicalonkan menjadi pejabat publik untuk membuat dan mengumumkan daftar kekayaan mereka. Cara ini dimaksudkan untuk menilai apakah selama menjabat sebagai pejabat negara, jumlah kekayaan politisi mengalami peningkatan yang tidak masuk akal dan bertendensi karena hasil korupsi atau tidak. Selain itu, bagi para kandidat yang kedapatan mencalonkan diri sebagai pejabat publik dengan melakukan penyuapan, maka sanksi berat wajib dijatuhkan, yakni tidak dapat dicalonkan lagi sampai kapanpun oleh partai politik untuk menjadi pejabat publik. Dengan penerapan beberapa hal diatas, partai politik sesungguhnya telah memberikan sumbangsih besarnya untuk menciptakan pemerintahan yang bebas KKN.
1 comment:
bagus skaLi..
Post a Comment