Saturday, August 27, 2005

Politisasi Korupsi

Seiring dengan kian banyaknya para politisi (DPRD dan kepala daerah) yang terjerat pasal pidana korupsi, isu adanya politisasi kasus korupsi semakin santer. Apalagi menjelang pilkadal (pemilihan kepala daerah langsung), beberapa pihak, khususnya elit partai meragukan orisionalitas motif pengungkapan kasus korupsi yang diduga cenderung mengandung unsur politis. Dalam bahasa lain, pengungkapan kasus korupsi menjelang pilkadal dianggap memiliki motif politik, bukan murni sebuah upaya untuk memberantas korupsi. Motif itu tak lain adalah untuk menggoyahkan posisi seseorang yang hendak tampil sebagai kandidat kepala daerah. Oleh karenanya, adanya politisasi korupsi tidak pernah dialamatkan kepada pejabat publik non-politis (pejabat negara diluar DPRD dan kepala daerah/wakil) yang diduga melakukan praktek korupsi, pun jika pengungkapan dugaan korupsi itu terjadi menjelang pilkadal.

Dalam konteks diatas, elit partai yang menyatakan adanya politisasi korupsi sebenarnya dapat dianggap juga memiliki motif politik. Paling tidak ada kepentingan untuk mengerem atau menghentikan tindakan hukum terhadap dugaan korupsi yang tengah diproses. Tujuannya sangat mungkin untuk mengamankan proses politik yang sekarang sedang berjalan, baik di level internal partai maupun dalam kaitannya dengan proses negoisasi dengan kelompok politik lain menjelang pilkadal. Tekanan ini nampaknya cukup kuat sehingga aparat penegak hukum menjadi bimbang untuk meneruskan proses hukum kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi.

Kasus yang dapat memberikan gambaran yang cukup jelas adalah dugaan korupsi yang menimpa mantan Bupati Kutai Kertanegara, Syaukani dan Gubernur Kalimantan Timur saat ini, Suwarna. Kedua tokoh dari Kalimantan Timur ini sama-sama dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh beberapa kelompok masyarakat disana. Pertimbangan yang sangat hati-hati untuk melanjutkan atau tidak dugaan korupsi yang dilaporkan oleh elemen masyarakat atas dua orang tersebut dapat dimengerti untuk menghindari kemungkinan adanya politisasi.

Namun demikian, aparat penegak hukum juga harus secepatnya mengambil keputusan untuk memproses setiap adanya dugaan korupsi yang melibatkan siapapun tanpa pandang bulu. Membiarkan laporan adanya dugaan korupsi yang melibatkan politisi tanpa ada kejelasan proses hukumnya justru akan sangat menguntungkan para politisi yang korup. Dengan menggunakan isu politisasi kasus korupsi, para politisi korup itu justru akan dapat terhindar dari proses hukum.

Barangkali tuduhan adanya politisasi korupsi tidak mungkin dapat dihindari, apalagi menjelang pilkadal seperti saat ini. Namun yang harus diingat bahwa setiap proses hukum atas berbagai tindak korupsi yang dilakukan para politisi harus bersandar dan tetap mengacu kepada kebenaran data, dokumen dan informasi. Ketika data, dokumen dan informasi mengenai dugaan korupsi terhadap para politisi mengandung cukup bukti yuridis, dalam situasi menjelang pilkadal pun, kasus itu harus tetap diproses. Pendek kata, penegakan hukum atas tindak pidana korupsi tidak tergantung dari ada atau tidaknya unsur politisasi korupsi, melainkan ada atau tidaknya unsur tindak pidana korupsi itu sendiri.

Adalah wajar dalam situasi menjelang pilkadal, tensi politik kian tinggi. Berbagai upaya untuk memenangkan pertarungan politik sudah mulai dilakukan. Termasuk didalamnya melaporkan adanya dugaan korupsi terhadap para calon yang kemungkinan besar akan maju kembali sebagai kandidat. Cara demikian sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai praktek politisasi korupsi. Mungkin kalimat yang lebih tepat untuk mewakilinya adalah negative campaign. Berbeda dengan black campaign, kampanye negatif merupakan kegiatan untuk ‘menjatuhkan’ lawan politik dengan tetap bersandar pada fakta. Akan tetapi, lingkup dari kampanye negatif itu sendiri tidak boleh masuk wilayah sentimen primordial, seperti misal menyinggung soal agama, suku atau kelompok yang akan memancing konflik komunal dan horisontal.

Lingkup kampanye negatif adalah lingkup demokrasi. Artinya dalam tatanan demokrasi, terbuka bagi setiap orang untuk mengungkapkan suatu fakta dan yang lainnya mengemukakan pendapat mengenai hal itu. Jika sistem demokrasi memang transparan, maka melalui demokrasi itu, kita tidak akan menghasilkan calon yang mempunyai kelemahan dan kekurangan sebagai pemimpin. Apalagi pemimpin yang memiliki watak korup.

Dalam konteks itu, kampanye negatif dengan membongkar kasus-kasus korupsi para politisi justru memiliki nilai strategis untuk mengeliminasi calon atau kandidat pejabat publik yang tidak memiliki integritas. Maraknya kasus korupsi di daerah yang didominasi oleh anggota DPRD dan kepala daerah selama ini merupakan cermin buruknya kualitas politisi kita. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari model dan sistem rekrutmen politik yang kental dengan aroma uang. Dalam electoral corruption, dikenal empat bentuk korupsi, yakni candidacy buying atau seat buying, influence buying, administrative electoral buying dan vote buying.

Keempat bentuk electoral corruption itulah yang menyeret para politisi masuk dalam siklus korupsi politik. Investasi politik yang sangat mahal untuk menjadi calon atau kandidat pejabat publik mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan pada saat mereka berkuasa. Hal pertama yang dipikirkan setelah mereka menjabat dalam situasi dimana proses politik itu dipenuhi dengan praktek suap adalah bagaimana mengembalikan dengan cepat investasi yang telah dikeluarkan. Tak heran kemudian korupsi yang melibatkan DPRD dan kepala daerah terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Kampanye negatif juga sekaligus mendorong adanya rasionalisasi pemilih dalam berhadapan dengan elit politik. Tradisi politik yang meletakan ikatan emosional sebagai landasan relasi antara pendukung dengan kandidat justru memicu meluasnya praktek korupsi. Kecenderungan kasus korupsi di daerah yang sulit untuk diseret ke pengadilan lebih banyak dikarenakan faktor dukungan massa terhadap pelaku korupsi, selain karena unsur suap-menyuap antara tersangka dengan jaksa atau hakim. Dukungan massa yang membabi-buta terhadap tokoh yang korup sangat menyulitkan upaya pemberantasan korupsi. Adanya ancaraman, intimidasi dan kekerasan yang menimpa kelompok masyarakat anti-korupsi dan aparat penegak hukum di daerah oleh para pendukung tokoh korup maupun kelompok bayaran merupakan sebuah preseden buruk bagi gerakan anti-korupsi.

Dengan demikian, kampanye negatif merupakan sarana efektif untuk menggeser paradigma masyarakat pemilih dalam kehidupan politik, yakni dari tendensi emosional menuju rasionalitas pemilih. Bangkitnya rasionalitas pemilih ditandai dengan semakin kritisnya mereka dalam menentukan siapa kandidat yang layak untuk menjadi pemimpin. Pilihan-pilihan itu terkait dengan penilaian visi dan misi, integritas kandidat, kualitas individu dan programnya, bukan pilihan-pilihan karena satu agama, satu suku, satu keluarga dan satu kelompok. Melalui kesadaran pemilih, sedikit demi sedikit, para politisi korup yang selama ini memanfaatkan ikatan emosional masyarakat akan tergusur dari arena politik.

(tulisan ini pernah dimuat di koran Tempo)