Saturday, August 27, 2005

Menggugat Demokrasi Perwakilan

(Tidak ada satupun alternatif yang dapat menggantikan pemilu sebagai cara melegitimasi tindakan para wakil rakyat dalam sebuah sistem politik yang demokratis).

Demikian sebait kalimat yang tertera dalam sebuah buku panduan terbitan IDEA International karya Timothy D. Sisk, dkk berjudul Demokrasi di Tingkat Lokal. Tak dapat dipungkiri, pemilu memang telah menjadi ritus politik modern yang diyakini sebagai cara terbaik untuk melakukan prosesi pergantian kekuasaan secara demokratis. Ia -pemilu- juga satu-satunya cara dalam upaya rakyat meminta pertanggungjawaban kekuasaan dengan ongkos politik dan sosial yang paling rendah, sekaligus memberikan legitimasi yang kuat bagi kekuasaan yang baru.

Hanya saja pemilu yang dapat menjamin terwujudnya kedaulatan rakyat memiliki beberapa prinsip dasar. Diantaranya bahwa pemilu harus mampu menjaga kebebasan pemilih untuk menentukan sikap politiknya, menyimpan rahasia orang-perorang akan pilihannya, diikuti oleh peserta yang menjunjung tinggi etika politik dan menghormati aturan main, dilaksanakan oleh lembaga yang independen dan kebal terhadap intervensi politik (kekuasaan), dilandasi oleh UU yang anti-dikriminasi, transparan, adil dan adanya sanksi hukum yang tegas bagi para pelanggarnya.

Namun nyatanya walaupun pemilu telah dilakukan berulang kali dan diperkuat dengan label jurdil, baik oleh penyelenggara maupun pemantau pemilu. Pada masa Soeharto dan sesudahnya, ternyata pemilu tidak memiliki cukup bukti otentik dan argumentasi yang kuat untuk diakui keberhasilannya. Gambaran faktual (das sein) pemilu telah menjauh dari gambaran idealnya (das sollen). Ibarat satu keping mata uang, sisi ideal dan sisi faktual telah menjadi dua medan kutub yang saling bertolak belakang, tidak pernah bisa bertemu.

Dikatakan demikian karena berbagai pemilu yang pernah dilaksanakan pada masa lalu gagal menjawab kebutuhan utama pemilu itu sendiri, yakni lahirnya sistem demokrasi dalam lingkup kehidupan bernegara yang akan memandu kekuasaan absah untuk menyelenggarakan pemerintahan atas nama rakyat. Boleh dikata pemilu yang berlangsung sejak rezim Orde Baru hingga Pemilu 1999 lebih cenderung sebagai asesoris demokrasi belaka.

Sebagai sebuah prosedur demokrasi, pemilu telah lama berlangsung. Namun sebagai sebuah substansi sistem, pemilu masih dianggap demokrasi seolah-olah. Ukuran makro untuk menilainya bisa dengan mudah ditemukan, yakni pemain atau aktor politik dan watak rezim masa lalu yang otoriter belum mengalami perubahan. Sementara ukuran mikronya, kekuasaan tidak mampu menyelesaikan problem konkret rakyat berupa kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan dan peningkatan taraf kesejahteraan.
Dalam beberapa hal, justru yang terjadi malah sebaliknya. Sebagian besar elit politik pemenang pemilu hidup dengan gemerlap harta -yang sebagian dari kekayaan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan asal-usulnya- diatas penderitaan rakyat banyak yang tiap saat menghadapi kelaparan, minimnya lapangan pekerjaan, semakin menggilanya harga-harga kebutuhan pokok. Sistem demokrasi yang seharusnya mampu memberikan peluang kepada rakyat untuk bisa menikmati hidup yang lebih manusiawi, membuka kesempatan bagi rakyat untuk bisa hidup pada taraf sosial-ekonomi yang lebih baik dalam kenyataannya tidak pernah terjadi.

Menurunnya kualitas kehidupan pribadi dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat luas karena buruknya pengelolaan negara oleh pemerintahan berkuasa cenderung memicu sikap apatisme publik terhadap efektifitas mekanisme demokrasi yang bernama pemilu. Dalam jangka panjang, akumulasi kekecewaan publik terhadap hasil pemilu akan melahirkan krisis legitimasi pemilu sekaligus menekan tingkat partisipasi politik rakyat. Tatkala level partisipasi politik rakyat rendah, kita tidak dapat berharap banyak terhadap   kualitas demokrasi yang hendak dibangun. Pasalnya –meminjam istilah Faisal Basri- kualitas demokrasi sangat ditentukan oleh permintaan akan demokrasi (demand side) itu sendiri dari masyarakat. Tanpa adanya dorongan yang kuat dari publik atas peningkatan kualitas pemilu dan hasilnya kepada partai politik sebagai penawar demokrasi (supply side), maka cita-cita untuk melahirkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan bertanggungjawab hampir mustahil untuk bisa diwujudkan.

Agenda Demokrasi Pasca Pemilu

“Power tends to corrupt”, demikian ‘sabda’ Lord Acton yang sampai kapanpun akan selalu diyakini kebenarannya. Walaupun pemilu mendatang bisa dikatakan berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya, tapi potensi untuk menyelewengnya juga besar. Beberapa gejala sudah mengarah kesana, diantaranya UU Politik (Partai Politik dan Pemilu) yang menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan Pemilu 2004 masih diliputi oleh muatan kepentingan politik kelompok sehingga mencederai tingkat kejujuran (fairness) pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Fenomena bagi-bagi uang (money politics) pada masa kampanye saat ini oleh beberapa partai politik besar cukup memberikan alasan bahwa pemilu besok belum beranjak dari kebiasaan-kebiasaan lama -yang tentu saja buruk bagi kehidupan demokrasi-. Kondisi darurat pemilu karena persiapan logistik pemilu yang amburadul memungkinkan terjadinya manipulasi dan praktek kecurangan dari pihak-pihak yang ingin berkuasa dengan cara tidak sah.

Kita tentu saja tidak menginginkan kekuasaan terpilih dari hasil pemilu 2004 memiliki perilaku kekuasaan yang sama dengan rezim-rezim sebelumnya. Oleh karena itu, mekanisme demokrasi tidak bisa dipandang sebatas penyelenggaraan pemilu belaka. Justru agenda demokratisasi paska pemilu menjadi jawaban dari kelemahan pemilu yang memiliki keterbatasan sebagai instrumen demokrasi itu sendiri.

Agenda itu tak lain dan tak bukan adalah mendekatkan jarak keterwakilan antara konstituen (masyarakat pemilih) dengan anggota parlemen yang terpilih di kemudian hari. Caranya dengan melembagakan partisipasi rakyat dalam setiap proses pengambilan keputusan (kebijakan publik). Kini bukan jamannya lagi segala bentuk pengambilan keputusan publik diserahkan kepada wakil rakyat di parlemen. Masyarakat harus terlibat sejak dalam proses perencanaan, penyusunan hingga keputusan terakhir dari kebijakan yang akan dilahirkan. Sehingga nilai-nilai demokrasi yang hendak dikembangkan bukan demokrasi elit, namun lebih mendorong kepada implementasi participatory democracy. Jika demokrasi elit mengarah pada peran dominan elit politik dalam pengambilan keputusan karena digunakannya mekanisme perwakilan yang kerap terjebak pada prosedur demokrasi semata-mata. Participatory democracy lebih menekankan pada sistem pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat luas dengan mengurangi peran dan fungsi lembaga perwakilan.

Salah satu titik kelemahan dari demokrasi yang diwakilkan adalah adanya jurang yang lebar antara kepentingan masyarakat yang diwakili dengan kepentingan wakilnya di parlemen. Keputusan-keputusan yang diambil oleh wakil rakyat tidak dapat dianulir, walaupun keputusan itu sangat merugikan masyarakat luas. Sementara masyarakat sendiri tidak dilindungi hak-haknya untuk meminta pertanggungjawaban kekuasaan. Akibatnya beberapa upaya misalnya class action atau legal standing dari kelompok masyarakat sipil untuk membatalkan suatu kebijakan karena tidak sejalan dengan kepentingan publik banyak menemukan jalan buntu.

Di sisi lain, anggota parlemen sendiri telah memiliki legitimasi kekuasaan karena secara sah telah dipilih dalam pemilu untuk menjadi wakil rakyat. Jikapun dalam proses berjalannya fungsi mandat itu ada fakta penyimpangan, regulasi tidak menyediakan mekanisme bagi masyarakat untuk menarik mandatnya di pertengahan jalan, kecuali menunggu sampai datang pemilu berikutnya. Tidak dilembagakannya fungsi kontrol masyarakat menjadikan amanat publik bisa dengan mudah diperjualbelikan.

Oleh karenanya tidak memungkinan sebuah sistem demokrasi (perwakilan) hanya memberikan kesempatan masyarakat untuk bisa memberikan penilaian –yang kerapkali tidak digunakan dengan benar- atas praktek kekuasaan pada saat pemilu saja. Karena telah terbukti demokrasi perwakilan melalui pemberian mandat kepada wakil rakyat di parlemen tidak menjamin secara penuh partisipasi politik masyarakat. Demokrasi yang diwakilkan tanpa ada mekanisme pertanggungawaban oleh wakil rakyat kepada publik membawa petaka bagi masa depan demokrasi, menyebabkan distorsi mandat dan menyuburkan praktek abuse of power.

Dengan kata lain, dalam sebuah sistem demokrasi yang partisipatoris, pemilu hanyalah salah satu ajang politik bagi rakyat untuk mengambil peran penting dan menentukan. Derajat peran yang sama juga menjadi hak rakyat untuk terlibat pada proses-proses politik lainnya. Sehingga dalam demokrasi partisipatoris, rakyat adalah aktor utamanya.