Saturday, August 27, 2005

Memperpendek Birokrasi Penanganan Korupsi

Mau tidak mau, kebijakan Presiden SBY dengan mempercepat pemberian ijin pemeriksaan bagi para pejabat negara yang diduga terlibat dalam kasus korupsi perlu diberikan ruang apresiasi tersendiri. Tercatat sepuluh ijin baru telah dikeluarkan SBY untuk memanggil atau memeriksa beberapa pejabat seperti Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan anggota DPR RI (Kompas, 15/7/05). Dalam catatan ICW per Juli 2005 yang dirangkum dari berbagai sumber, SBY juga telah mengeluarkan 40 ijin pemeriksaan.

Cepatnya ijin pemeriksaan itu tidak terlepas dari komitmen pemberantasan korupsi SBY sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres yang ditujukan kepada para Menteri, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, Kepala Lembaga Non Departemen dan para Kepala Daerah itu secara eksplisit menyebutkan ‘Memberikan dukungan maksimal terhadap upaya penindakan korupsi dengan mempercepat pemberian ijin pemeriksaan terhadap saksi/tersangka’.

Sebelumnya, masalah ijin pemeriksaan merupakan faktor yang sangat menghambat kerja pemberantasan korupsi dan menjadi keluhan para penegak hukum, baik polisi maupun jaksa. Terkesan para pejabat negara memiliki kekebalan hukum karena tidak dapat diperiksa sebelum ijin pemeriksaan itu keluar. Di sisi lain, jika ijin pemeriksaan itu sangat lambat, presiden yang memiliki otoritas untuk mengeluarkannya dianggap telah melindungi para koruptor. Persepsi itu tidak dapat dihindari karena pada periode kekuasaan sebelumnya, beberapa kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara tidak dapat diproses karena tidak ada ijin pemeriksaan dari Presiden.

Banyak pihak yang menyadari bahwa mekanisme ijin pemeriksaan sesungguhnya sangat birokratis sehingga proses hukum menjadi terhambat. Namun demikian, ihwal ijin pemeriksaan itu memang merupakan bagian dari prosedur yang harus dilalui mengingat telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, pasal 106 ayat (1) disebutkan, ‘Dalam hal Anggota MPR, DPR dan DPD diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden’.

Sebenarnya terdapat pengecualian sebagaimana diatur dalam pasal 106 ayat (4) yang meyebutkan, ‘Ketentuan itu tidak berlaku apabila anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD melakukan tindak pidana korupsi dan terorisme serta tertangkap tangan’. Namun karena biasanya tahap pemeriksaan seseorang dalam proses hukum dimulai sebagai saksi, maka ijin pemeriksaan itu tetap harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.

Khusus untuk Kepada Daerah dan Wakilnya, ihwal ijin pemeriksaan itu diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Sebagaimana tertuang dalam pasal 36 ayat (1) disebutkan ‘Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.’ Pada ayat selanjutnya (2) dikatakan ‘Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.’ Tidak seperti UU Susduk, UU Pemda memberikan peluang untuk bekerjanya mekanisme by-pass seandainya dalam kurun waktu tertentu ijin pemeriksaan tidak dikeluarkan oleh Presiden.
Meskipun dalam beberapa catatan pemberian ijin pemeriksaan telah dipercepat oleh SBY, tetap saja persyaratan adanya ijin pemeriksaan itu perlu ditinjau ulang. Hal ini dimaksudkan untuk memperpendek birokrasi penanganan kasus-kasus korupsi sehingga proses hukum dapat berjalan lebih cepat. Selain untuk menghindari beberapa kemungkinan buruk yang akan terjadi. Bercermin dari beberapa periode penanganan kasus korupsi, ada dua persoalan besar yang muncul terkait dengan persyaratan ijin pemeriksaan.
Pertama, aparat penegak hukum (jaksa dan polisi) seringkali menjadikan ijin pemeriksaan sebagai tameng sekaligus alasan klasik mengapa proses hukum mengalami kelambanan. Padahal jika ditelisik lebih jauh, dalam beberapa kasus, kemacetan atas proses hukum kasus korupsi bukan karena tiadanya ijin pemeriksaan, melainkan adanya kolusi antara aparat penegak hukum dengan pelaku korupsi, jika bukan merupakan hambatan politik.
Jika kolusi merupakan dampak langsung dari kekuatan uang, maka tekanan politik lebih dipengaruhi oleh basis pendukung pejabat yang tengah menghadapi proses hukum dan kuat atau tidaknya ikatan struktural dengan kekuasaan diatasnya. Dalam beberapa kejadian, politisi lokal yang tengah diperiksa oleh aparat penegak hukum karena diduga melakukan korupsi kerap menggunakan isu SARA untuk memobilisasi massa sehingga proses hukum atas dirinya tidak dapat dilakukan.
Selain daripada itu, keberadaan forum musyawarah pimpinan daerah (Muspida) pada kenyataannya telah mengaburkan batas-batas yang jelas antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Satu isu yang paling merisaukan adalah tiadanya independensi aparat penegak hukum di daerah mengingat kontribusi anggaran daerah yang signifikan kepada institusi kepolisian dan kejaksaan. Walaupun subsidi daerah untuk lembaga peradilan tidak diperbolehkan, hal tersebut sangat mungkin terjadi karena semua masalah, diataranya kesulitan finansial biasanya dibahas dalam rapat muspida. Jika sudah demikian, ibarat seekor kucing akan memberikan loyalitas kepada majikan yang memberinya makan.
Kedua, keharusan adanya ijin pemeriksaan dapat dimanfaatkan oleh Presiden sebagai pemilik otoritas untuk menerapkan kebijakan ‘tebang pilih’. Bagaimanapun, seorang Presiden memiliki ikatan politik kepartaian dengan para politisi lain yang kebetulan menjadi pejabat seperti DPR, Bupati, Walikota atau Gubernur. Untuk mengamankan agenda politik partai, seorang Presiden bisa terjebak pada tindakan mempolitisasi kasus korupsi dengan memilah-milah mana pejabat yang berasal dari partainya dan mana yang bukan. Jika hal ini terjadi, Presiden secara langsung maupun tidak langsung telah menjadi tempat persembunyian yang aman bagi para koruptor.
Berangkat dari kemungkinan-kemungkinan buruk tersebut, ada baiknya jika SBY menghilangkan prosedur ijin pemeriksaan yang menghambat proses hukum atas berbagai kasus korupsi. Namun mengingat hambatan itu terkandung dalam peraturan perundangan, rencana SBY untuk memasukkan agenda penghapusan prosedur ijin pemeriksaan dalam draft Perpu pemberantasan korupsi dapat dijadikan sebagai solusinya. Jika rencana itu benar, pastinya masyarakat akan mulai percaya bahwa semua orang sama kedudukannya di mata hukum.
**************

(tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Opini)

No comments: