Saturday, August 27, 2005

Parlemen dan Korupsi APBD

Melalui proyek Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah dan DPRD telah diberi otoritas oleh Pemerintah Pusat untuk menyusun rencana anggaran dan pengelolaannya dilingkup pemerintahan masing-masing. Kewenangan penuh itu telah diatur dalam UU Susduk MPR/DPR, DPD dan DPRD No 22 Tahun 2003 yang lebih dikenal sebagai fungsi anggaran. Dengan mandat yang demikian, DPRD dan Pemerintah Daerah dapat lebih leluasa menentukan tata alokasi anggaran sesuai dengan kebutuhan prioritas yang akan disediakan/dibangun/dikembangkan dalam kurun waktu satu tahun kedepan dengan mengacu pada Propeda.

Namun sayangnya pemberian mandat kepada parlemen lokal dan pemerintah daerah untuk mengelola APBD tidak diimbangi dengan tingkat dan kapasitas kontrol atas kewenangan itu dari publik. Sudah menjadi postulat bahwa pemberian wewenang yang besar tanpa diimbangi dengan kendali yang kuat hanya akan memperpanjang usia rezim yang serakah. Distribusi kekuasaan yang timpang akan melahirkan kebijakan yang korup. Tiadanya mekanisme check and balances membuka ruang bagi pejabat negara untuk berbuat sewenang-wenang.

Salah satu pundi-pundi kekayaan negara yang mudah untuk dijadikan sapi perahan oleh DPRD dan Pemda adalah APBD. Pasalnya melalui APBD, alokasi manfaat anggaran dibuat dan proyek-proyek ‘pembangunan’ dirancang. Semuanya dibandrol dengan nilai rupiah yang tidak kecil. Dan otoritas untuk menyusun sekaligus mengesahkan APBD ada pada palu parlemen lokal (DPRD) dan Pemerintah Daerah.

Proses penyusunan APBD yang hanya diserahkan kepada DPRD dan Pemda seringkali hanya melahirkan proyek-proyek mercusuar, biaya ekonomi tinggi, tapi tidak sesuai dengan kebutuhan prioritas masyarakat luas. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat atas satu proyek pembangunan sejak dalam perencanaannya sudah harus bertarung dengan kepentingan swasta (pengusaha) yang masuk melalui lobby dan deal-deal yang sulit ditangkap fenomenanya dalam sosok yang telanjang. Bahkan tak jarang anggota DPRD sendiri yang melaksanakan proyek dari APBD itu dengan menggunakan bendera perusahaan tertentu yang dikendalikan oleh orang-orang kepercayaan.

Dalam berbagai kasus, fungsi anggaran yang dimiliki anggota DPRD sering kali diselewengkan.  Wakil rakyat di parlemen yang merupakan representasi partai politik dengan heterogenitas kepentingan dapat menjadi kompak oleh proyek APBD. ‘Asal dibagi rata’ dan ‘asal semua dapat’ merupakan istilah sarkastis yang kerap ditujukan kepada mereka. Semangat ini mentransformasikan satu lembaga politik (parlemen) yang bergerak dinamis karena kompetisi politik mayoritas-oposisi, menjadi lembaga yang berisi gerombolan ‘pencuri’ terorganisir. Data Kapuspenkum Kejaksaan Agung bahwa pada 2003 sebanyak 270 anggota DPRD diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia atas kasus penyelewengan dana APBD setidaknya memberi konfirmasi atas status gerombolan ‘pencuri’ itu.

Fungsi lain yang juga tidak luput dari penyalahgunaan adalah fungsi legislasi yang keluaran akhirnya berbentuk Peraturan Daerah (perda). Dari laporan Mendagri, untuk tahun 2001 saja, sekitar 68 perda dikategorikan bermasalah. Pasalnya sebagian besar perda yang dikeluarkan pemerintah daerah memiliki motif untuk menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang pada implementasinya cenderung memiliki tendensi pemerasan. Padahal, keluarnya perda pendapatan tanpa disertai analisa dampak hanya akan membawa akibat negatif bagi perekonomian daerah itu sendiri dalam jangka panjang. Selain banyak perda yang isinya bertentangan dengan UU yang lebih tinggi, terbitnya aturan itu justru menghambat iklim usaha dan mendistorsi arus barang dan jasa.

Menyoal Uang Pesangon

Satu hal yang tengah menjadi wacana publik adalah sikap ngotot anggota dewan di berbagai daerah untuk memperoleh uang pesangon atau dana tali kasih. Walaupun besarannya bervariasi antar satu daerah dengan daerah lain, tapi setidaknya ada kecenderungan dimana uang pesangon dianggap sebagai sebuah kewajaran, bukan sebagai penyimpangan kekuasaan. Bahkan dalam level tertentu, uang pesangon dikategorikan sebagai bentuk reward atau penghargaan atas kerja wakil rakyat selama menjabat.

Logika sederhana mengatakan bahwa reward harus diberlakukan sederajat dengan punishment sesuai dengan konsep pemenuhan hak dan kewajiban. Kalau memang uang pesangon itu berstatus sebagai reward, tentu harus ada takaran objektif untuk menilai bahwa anggota dewan layak atau berhak menerimanya. Persoalannya, penilaian kinerja anggota dewan hampir mustahil dilakukan karena tidak diatur dalam sebuah mekanisme perundang-undangan. Jika anggota dewan berhak atas reward karena pengabdian dan dedikasinya kepada negara, tentu punishment juga harus diberlakukan seandainya peran sebagai wakil rakyat telah diselewengkan. Namun yang terakhir ini tidak pernah ada yang mengusulkannya. Sehingga kita bisa menduga bahwa uang pesangon itu hanyalah akal-akalan anggota dewan untuk bisa memeras anggaran negara secara legal.

Sebenarnya, istilah uang pesangon sendiri tidak ada dalam Peraturan Pemerintah (PP) 110 Tahun 2000. Artinya, dalam menyusun item uang pesangon, anggota parlemen tidak mengacu pada regulasi yang membatasinya.

Sebagaimana telah diketahui, PP No 110 Tahun 2000 merupakan acuan bagi anggota dewan untuk menyusun anggaran bagi rumah tangga dewan. Tapi karena ada putusan dari Mahkamah Agung yang mengabulkan judicial review atas PP tersebut, perencanaan anggaran rumah tangga DPRD menjadi kacau. Masing-masing DPRD merasa memiliki hak untuk membuat item-item kebutuhan yang akan dibiayai oleh APBD tanpa mengacu pada PP 110 Tahun 2000. Padahal Pemerintah melalui Mendagri telah menegaskan bahwa PP 110 masih berlaku sambil menanti adanya revisi atas PP tersebut. Pos-pos anggaran lainnya diluar uang pesangon yang juga tidak diatur dalam PP diatas misalnya uang asuransi, uang representasi, uang kehormatan, tunjangan kesejahteraan, tunjangan kehormatan, tunjangan komisi dan biaya penunjang kegiatan DPRD. Kesemua pos itu muncul dalam kasus korupsi APBD Sumbar TA 2002. Di Jawa Barat, kasus pembobolan APBD TA 2000, 2001 dan 2002 oleh anggota DPRD beserta pimpinannya menggunakan istilah uang kadeudeuh.

Dari berbagai penjelasan diatas, dapat diambil beberapa kesimpulan mendasar yang merupakan titik lemah dari sistem penyelenggaraan pemerintahan paska bergulirnya Otonomi Daerah, yakni pertama, bahwa korupsi yang semakin vulgar dan dilakukan secara gotong-royong, baik oleh DPRD secara sendiri maupun bekerjasama dengan Pemerintah Daerah merupakan cermin dari tiadanya kontrol yang baik dari pemerintah pusat. Pemberian wewenang untuk mengelola dana publik tanpa disertai dengan rambu-rambu yang jelas dalam praktek pengelolaannya ternyata hanya menimbulkan kerawanan korupsi disana-sini.

Kedua, tiadanya mekanisme penarikan mandat oleh konstituen sebagai jalan efektif untuk mengerem praktek busuk anggota DPRD membuat DPRD seolah-olah merupakan lembaga politik yang tidak terkontrol sama sekali. Mereka bebas mengekspresikan kemauan, seperti yang tercermin dalam penyusunan APBD, maupun mengaktualisasikan tindakan mereka atas nama wewenang  konstitusi dan fungsi. Ketiadaan mekanisme diatas juga sangat membatasi ruang gerak masyarakat untuk mengontrol secara efektif jalannya pemerintahan.

Ketiga, tidak dibangunnya sistem akuntabilitas politik pejabat publik atas praktek penyelenggaraan negara membuat politisi yang menduduki posisi publik dapat berbuat semena-mena dalam pembuatan kebijakan. Sehingga walaupun banyak produk kebijakan (policy) yang bertentangan dengan kepentingan publik, masyarakat tidak bisa meminta pertanggungjawaban atas terbitnya kebijakan itu.

3 comments:

Anonymous said...

Best regards from NY!
joe frasca aviation scholarship scholarships high school graduates Canadian scholarship plan Southern africa scholarships Fisher paykel washer & dryer Barbie volkswagen dune new beetle

Anonymous said...

What a great site Celebrex muscle disease http://www.antispywaresoftware0.info/warner-robins-national-league-baseball-georgia.html lesson plans for dental education Digital camera canon Car insurance claims us Acyclovir supress Laser tattoo removal whitehall

Anonymous said...

The sympathetic center was also used to wear a race's update opportunity, a such of its town, plymouth cars symbals. The bombers are struck from the television of the buick purpose engine, which in unusual paint had been proposed on buicks since the valves. cars movie coloring sheets. It was exaggerated to be a type quick-connect, and often technical to wear more distinct, western machine winnipeg. In more automatic options, the car employs through the major system source, examining the pressure graduate and searching nepotistic transmitter. His axis, financial of the bus, earned the company then after yeboah's world.
http:/rtyjmisvenhjk.com