Buruknya standar integritas dan kapasitas politisi yang duduk di parlemen tak dapat dilepaskan dari tiadanya model seleksi politik yang sehat, baik secara internal maupun melalui mekanisme pemilu. Secara internal, kedekatan dengan elit politik dan kemampuan finansial kandidat menjadi aspek yang menentukan. Di sisi lain melalui pemilu, cara-cara pembelian suara menjadi suatu hal yang lumrah dilakukan, dengan memanfaatkan rendahnya kesadaran politik pemilih.
Tak ayal, saat mereka menjadi pejabat publik, penyelewengan kekuasaan tak dapat dihindarkan. Uang senilai tak lebih dari Rp 50 ribu harus dibayar dengan kesengsaraan selama 5 tahun. Demikian berulang-ulang hingga pemilu tak dapat dijadikan sebagai ajang untuk memberikan sanksi bagi pejabat yang lupa terhadap janjinya pada saat kampanye.
Disaat partai politik justru menjadi kekuatan oligarkhi yang korup dan anti perubahan, tak ada jalan lain kecuali menggugah kesadaran politik pemilih untuk tidak mudah dibodohi. Pertimbangannya, lahirnya pemilih yang sadar akan memaksa perubahan pada politisi maupun partainya. Oleh karena itu, pemilih harus diubah cara berpikirnya. Dari irasional menjadi rasional, dari loyal-buta mejadi kritis dan dari emosional menjadi objektif. Dimotori oleh ICW dan beberapa LSM lain di Jakarta, Gerakan Nasional Tidak Pilih Politikus Busuk (GNTPPB) lantas menjadi pemicu sekaligus mesin penyadaran yang ampuh.
Dideklarasikan pertama kalinya pada 29 Desember 2003 di Tugu Proklamasi, daya tarik GNTPPB sanggup mendongkrak simpati dari berbagai kalangan. Di tengah guyuran hujan deras, tak kurang dari 2500 orang memadati lapangan Tugu Proklamasi. Deklarasi tersebut sekaligus menandai dimulainya perang terhadap politikus busuk yang akan kembali ke gedung parlemen.
Gayungpun bersambut, deklarasi serupa juga dilakukan oleh berbagai elemen GNTPPB di banyak daerah. Tercatat 200 organisasi masyarakat sipil termasuk kampus menyatakan diri bergabung dalam gerakan ini, mencakup wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan beberapa tempat lain yang dengan inisiatif sendiri menggerakkan kampanye Tidak Pilih Politikus Busuk.
Siapa yang disebut politikus busuk adalah mereka-mereka yang selama ini melakukan korupsi, merusak lingkungan, pelanggar HAM dan pelaku kejahatan seksual. Kriteria ini membuat batas yang tegas mana yang disebut negative campaign dan mana yang termasuk black campaign. Negative campaign masuk dalam lingkup demokrasi karena berkehendak untuk menyampaikan kepada publik tentang sesuatu kebenaran yang harus diketahui, supaya kualitas demokrasi itu sendiri menjadi lebih baik. Dengan kata lain, rekam jejak politisi yang akan dipilih dalam pemilu harus diketahui seluas-luasnya oleh pemilih supaya terhindar dari praktek “membeli kucing dalam karung”.
GNTPPB dalam waktu sesaat menjadi begitu populer karena kreatif dalam merumuskan beragam metoda untuk mensosialisasikannya. Mulai dari pembuatan lagu oleh beberapa musisi kondang seperti Franky Sahilatua dan Harry Rusli (Alm.) yang menjadi mars gerakan, penyebaran stiker dan poster, diskusi publik, talk show di banyak radio hingga pembuatan koran Sosok yang berisi daftar politikus bermasalah.
Tak sedikit yang menyimpulkan bahwa gerakan ini gagal karena tidak mampu menghadang kembalinya politikus busuk. Namun harus diakui secara jujur bahwa sistem pemilu 2004 masih menyulitkan untuk bekerjanya hukuman tidak memilih politikus busuk. Yang harus dilihat, sangat sedikit –hanya dua orang- politisi yang lolos ke parlemen karena perolehan suara yang memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Barangkali, inilah sumbangan yang dapat diberikan oleh GNTPPB pada usianya yang baru menginjak tahun pertama.
2 comments:
Where did you find it? Interesting read » »
Leave me alone!
Post a Comment