Saturday, August 27, 2005

Bila Jaring Menjala Angin


Hukum di negeri ini sungguh memihak. Mirisnya bukan kepada kebenaran, melainkan memihak kekuasaan. Jabatan, posisi, uang, titel, harga diri, harta benda, nafsu serakah seringkali mudah menekuk lutut para pengadil. Bahkan untuk tidak berbohong pun –sebuah derajat kebenaran yang paling sederhana– mereka tak kuasa. Kebenaran gampang dimanipulasi, diolah jadi komoditi dan dijajakan sebagai barang dagangan. Nilai tertinggi transaksi yang akan menentukan, vonis apa yang harus dijatuhkan. Kebanyakan bebas, dan para tersangka, terdakwa memang selalu menawar dengan harga yang tak dapat dijangkau, oleh harapan publik akan sebuah keadilan.

Angka seratus hari tidak perlu disakralkan. Karena tidak ada bedanya dengan seribu hari atau sejuta hari. Ia hanya deretan hitung. Setelah seratus hari selesai, ada seratus hari lain menunggu. Begitu seterusnya. Cukuplah dimaknai hitungan itu sebagai batas-batas untuk menilai. Mengukur kemajuan, capaian, program, rencana rumah tangga, yang bernama negara. Ukurlah kemajuan ekonomi, penurunan angka pengangguran, pembukaan lapangan kerja, penyelesaian konflik, penegakan HAM, dan pemberantasan korupsi.

Dan yang terakhir ini barangkali perlu kita bicarakan, karena korupsi telah menjadi momok menakutkan. Telah mencapai titik dimana tujuan memakmurkan masyarakat terganggu karenanya. Sambil menilai kemajuan pemberantasan korupsi, marilah kita membiasakan diri untuk menyebut korupsi sebagai mencuri atau maling. Sehingga Walikota Bogor tidak perlu berteriak “Jangan samakan dia -wakilnya- dengan pencuri ayam, dong!”. Supaya pejabat publik lainnya tidak berpikir bahwa korupsi itu lebih mulia daripada mencuri atau maling.

Sebuah wawancara singkat dengan Media Indonesia (28/1/05). Jaksa Agung RI, Abdul Rahman Saleh berujar, “Kita mesti bicara dengan angka”. Tambahnya, “Kritik-kritik yang ditujukan seharusnya memuat data-data yang cukup jelas”. Saya sepakat, angka merupakan alat klarifikasi yang paling mudah, khususnya untuk mengukur kemajuan pemberantasan korupsi. Oleh karenanya, saya ingin mengikuti cara pandang Abdul Rahman Saleh, berpikir dan mengkritik dengan angka. Sebenarnya menggunakan angka untuk mengkritik sangat gampang, tapi juga mengkhawatirkan. Khawatir kita dihadang dengan pernyataan dan pertanyaan “Dari mana angka itu?”, “Angka itu tidak akurat”, “Data itu tidak cukup valid”. “Data kami menunjukkan hal berbeda”. “Kamu salah dalam menafsirkan data itu”. Sebuah trauma oleh kehadiran rezim yang memonopoli kebenaran.

Sesungguhnya angka yang fantastis tidak akan mengundang decak kagum, sebaliknya bisa jadi bumerang, jika materinya fiktif belaka. Laporan Kejaksaan Agung RI kepada Komisi II DPR RI pada 4 Maret 2004 silam cukup mengernyitkan dahi. Kata laporan itu, hingga akhir 2003, jumlah perkara/kasus korupsi yang sedang dalam proses penyidikan sebanyak 1420 perkara. Selesai disidik 544 perkara korupsi. Lainnya 640 perkara dalam proses penuntutan/persidangan, 584 perkara telah selesai disidangkan. Klaim mereka, sudah lebih dari 1000 perkara korupsi telah diselesaikan. Darimana datangnya angka-angka itu?

Jika mengikuti logika laporan Kejaksaan Agung RI diatas, kinerja kejaksaan sungguh luar biasa. Tingkat korupsi di Indonesia pastinya sudah dapat ditekan seminimal mungkin. Sayang laporan itu hanya berhenti sampai angka. Angka yang tanpa penjelasan adalah angka yang menipu. Sulit sekali dicek kebenarannya. Oleh karenanya, juga sulit dipercaya. Sebaliknya, angka yang terus terang adalah angka yang menggambarkan realitas. Namun, laporan yang jujur mengharuskan adanya keberanian. Keberanian untuk mengakui kelemahan, baik menyangkut kinerja, pengawasan internal, koordinasi, busuknya kondisi internal lembaga dan sebagainya.  

Kejaksaan tidak perlu menutup mata, bahwa masih banyak kasus korupsi yang tidak beranjak maju penyelidikannya. Di NTB, kasus korupsi APBD 2001-2002 yang melibatkan DPRD NTB sudah dilaporkan sejak awal tahun. Hingga kini, kasus tersebut belum juga dilimpahkan ke pengadilan. Bahkan muncul kecurigaan baru, karena beberapa nama yang awalnya jadi tersangka, kemudian hanya dijadikan saksi. Di Kabupaten Flores Timur, kasus korupsi yang melibatkan Bupati, Felix Fernandez baru diperiksa hari ini. Padahal kasusnya sudah dilaporkan masyarakat beberapa tahun yang lalu. Belum dihitung daerah lain, seperti Pematang Siantar, Binjai, Lampung, Bengkalis, Riau, Cilacap, Blora, Semarang dan sebagainya. Jika satu kasus saja tidak selesai dalam waktu satu tahun, bagaimana kita dapat percaya Kejaksaan telah menyelesaikan sekian ribu kasus pada 2004?

Barangkali pepatah lama perlu diingatkan lagi. Tidak mungkin menyapu lantai kotor dengan sapu kotor. Integritas Abdul Rachman Saleh tentu tidak perlu diragukan. Tapi modal untuk membereskan korupsi tak cukup dengan integritas seorang pemimpin. Pemimpin yang berintegritas harus ditopang oleh aparat bawahan yang sama kadarnya. Membiarkan perilaku korup pada jaksa sama dengan menyimpan api dalam sekam. Mungkin ini yang sekarang menjadi titik lemah. Integritas Kejaksaan Agung RI belum reda dari kritik.

Gebrakan 100 hari Kejaksaan Agung RI dengan Surat Edaran 007-nya untuk mempercepat proses penanganan korupsi di seluruh Indonesia terkesan melempem.  Surat itu lebih tepat diterjemahkan sebagai himbauan daripada perintah karena tidak diatur mengenai sanksi yang diberikan jika perintah ini tidak dilaksanakan. Pendek kata, surat itu bukanlah afirmasi, melainkan jikalau bisa.

Sudah seratus hari menjabat, Jaksa Agung belum melakukan evaluasi kinerja dan pembersihan terhadap pimpinan kejaksaan yang ada dibawahnya (JAM, Kajati dan Kajari) yang diduga terlibat KKN (in house cleaning). Mereka itulah yang memberikan kontribusi penting akan buruknya kinerja di kejaksaan. Sayangnya, Abdul Rahman Saleh justru berucap “Bukan berapa jaksa yang sudah dipecat, tapi sudah ada pelanggaran atau tidak? Kalau tidak ada, apanya yang mau ditindak?”. Padahal mengabaikan integritas aparat penegak hukum yang menangani kasus korupsi, sama halnya dengan membuat jaring untuk dipakai menjala angin. Mungkinkah?  

(tulisan ini pernah dimuat di tabloid Rakyat)

No comments: