Barangkali atmosfer yang paling pengap dengan “asap” korupsi adalah Indonesia. Seringkali masalah korupsi dibicarakan, kasus demi kasus, mulai dari kelas recehan hingga triliunan diungkap. Tapi sebagian besarnya berujung tanpa penyelesaian, macet di lembaga peradilan. Sehingga berbicara mengenai korupsi kadang membuat rakyat frustasi. Bagaimana tidak, Indonesia oleh Transparency International (TI) tiap tahunnya digolongkan sebagai negara yang tinggi tingkat korupsinya. Sebagai gambaran, peringkat indeks persepsi korupsi Indonesia pada 1998 berada di nomor 6. Tahun berikutnya naik ke peringkat 3, 5, 4, 6 dan pada 2003 tetap di peringkat 6.
Walaupun demikian, Indonesia adalah negara yang paling jarang menjebloskan pelaku korupsi ke penjara. Karena lemahnya efek jera yang ditimbulkan oleh lembaga peradilan bagi para koruptor, maka praktek korupsi kian menjadi dan semakin vulgar. Kondisi ini diperparah oleh sikap lunak (permisif) pemerintah terhadap realitas struktural yang korup. Perubahan orde -dari otoriter ke sistem politik yang lebih demokratis- melalui pemilu ternyata tak cukup untuk memutus tradisi rezim lama yang busuk. Ancaman korupsi dibawah orde reformasi ternyata jauh lebih gawat, bukannya menyusut.
Mungkin karena itulah Amien Rais –Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat- beberapa waktu lalu mengemukakan gagasan pemberantasan korupsi melalui pemberian amnesti massal terhadap para koruptor. Tapi pemberian ampunan itu tidak gratis. Ada persyaratan yang harus dipenuhi yakni, mereka yang terlibat korupsi harus mengembalikan kekayaan negara yang dicuri serta berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Ia menambahkan, agar ada efek jera, maka koruptor kelas kakap harus dihukum dengan tegas (Kompas, 24/2/04).
Gagasan yang dimunculkan salah satu calon presiden dari PAN ini barangkali adalah satu terobosan baru dalam upaya mengerem tingkat korupsi yang kian memprihatinkan. Setidaknya, ide diatas memiliki rujukan hukum yang jelas, yakni UUD 1945 pasal 14 ayat (2) yang menyebutkan “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Kewenangan tersebut ditegaskan kembali dalam UU No 22 tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD pasal 26 huruf (m) yang menyatakan bahwa tugas dan wewenang DPR adalah memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi.
Pada dasarnya pemberian amnesti terhadap para koruptor itu memerlukan beberapa prasyarat utama. Namun dalam konteks Indonesia, prasyarat tersebut tidak cukup dipenuhi karena telah menjadi faktor penghambat usaha pemberantasan korupsi itu sendiri. Pertama, bahwa pemberian amnesti akan dapat terlaksana jika lembaga peradilan benar-benar berfungsi sebagai institusi penegak hukum. Untuk saat ini, sebagian besar masyarakat demikian pesimis terhadap aparat penegak hukum yang menangani kasus korupsi. Dari data situs hukumonline dan beberapa sumber media massa, untuk tahun 2003 saja, hanya ada 14 kasus korupsi kelas kakap yang telah divonis oleh pengadilan di Jakarta. Hasilnya 6 kasus divonis hukuman dan 8 kasus lainnya divonis bebas. Akan tetapi, angka ini kemungkinannya dapat berubah mengingat 6 kasus yang telah divonis hukuman itu belum memiliki kekuatan hukum tetap. Artinya, peluang terdakwa kasus korupsi tersebut dibebaskan masih sangat terbuka lebar.
Dengan modal seperti diatas, dapat diduga bahwa para koruptor lebih memilih untuk menggunakan mekanisme hukum sebagai jalan menyelamatkan diri daripada iming-iming pemberian amnesti. Dalam situasi dimana aparat penegak hukum bisa dibeli, maka jalur hukum merupakan cara yang menguntungkan sekaligus memberikan rasa aman. Harapannya tentu saja bebas dari segala tuntutan. Dengan status hukum demikian, setidaknya secara formal yuridis mereka bukanlah koruptor sehingga tidak ada kewajiban untuk mengembalikan harta kekayaan negara yang dirampoknya.
Mungkin kita perlu mencontoh Korea Selatan dalam usaha menegakan hukum kasus korupsi. Pada tahun 1996, mantan presiden mereka, yakni Chun Doo-hwan dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan atas tuduhan menerima suap 279 juta dollar AS. Hukuman yang diterimanya cukup berat karena ia juga harus bertanggung jawab atas pembantaian sekitar 200 demonstran pro-demokrasi ketika masih menjadi panglima militer tahun 1979. Sementara mantan presiden Roh Tae-woo dihukum 22,5 tahun penjara akibat menerima suap sejumlah 349 juta dollar AS selama berkuasa. Kedua mantan pejabat dengan besar hati meminta maaf kepada rakyat Korea Selatan dan menyatakan bersedia menjalani hukuman yang telah diputuskan. Meski pada akhirnya mereka tidak menjalani hukuman karena pemberian amnesti, divonisnya hukuman berat bagi kedua mantan presiden Korea Selatan tersebut mencerminkan keseriusan pengadilan dalam melawan praktek korupsi tanpa pandang bulu.
Kedua, pemberian amnesti terhadap koruptor membutuhkan kemauan politik dari pemerintah beserta aparaturnya untuk bekerja keras dalam upaya pemberantasan korupsi di setiap lini. Tanpa adanya kemauan politik, tidak akan pernah lahir usaha yang serius dan sungguh-sungguh untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari praktek korupsi. Jika mengkaji laporan BPK setiap semesternya, fakta menunjukkan bahwa bandul korupsi di birokrasi pemerintah masih berdentang keras. Berbagai bentuk penyimpangan dan tingkat kebocoran pengelolaan anggaran negara (APBN) hampir tidak pernah berhenti. Miliaran hingga triliunan rupiah hilang setiap tahunnya tanpa ada kejelasan dan tanpa pertanggungjawaban.
Laporan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2000 dan semester pertama 2001 menunjukkan bahwa angka penyimpangan telah mencapai Rp 10,3 triliun. Selanjutnya pada pemeriksaan tahun 2002 di berbagai instansi/departemen pemerintah menunjukkan angka kebocoran yang cukup besar, yakni Rp 69, 28 triliun. Sementara itu, pada pemeriksaan sementara semester pertama Januari-Juni Tahun Anggaran (TA) 2003 ditemukan angka penyimpangan sebesar Rp 233, 33 miliar.
Walaupun angka-angka temuan kebocoran dari berbagai instansi pengawas demikian fantastis, namun sebagian kasus tidak mendapatkan tanggapan yang berarti. Justru perdebatannya diarahkan pada tingkat akurasi data hasil pemeriksaan, bukan pada kemungkinan adanya penyimpangan anggaran negara yang dilakukan oleh aparatur negara. Jika angka-angka penyimpangan itu muncul, tanpa ada pelaku yang harus bertanggungjawab, lantas kepada siapa amnesti itu perlu diberikan?
Ketiga, pemberian amnesti terhadap koruptor hanya dapat dilakukan oleh pemerintahan yang kuat (legitimate) dan didukung oleh seluruh rakyat demi sebuah kepentingan bangsa yang lebih luas. Legitimasi itu diperoleh, baik karena mekanisme pemilihan umum yang melibatkan secara langsung rakyat dalam menentukan pemerintahan, maupun karena orientasi pemerintahan berkuasa yang mencerminkan perjuangan keras bagi usaha perbaikan kehidupan rakyat. Dalam kasus pemberian R&D –yang bisa disetarakan dengan pemberian amnesti- oleh pemerintahan Megawati kepada para konglomerat penunggak utang, hasilnya menunjukkan tingkat dukungan yang rendah dari rakyat. Bahkan sebaliknya, pemberian R&D itu banyak dikecam.
Hal itu terjadi karena kebijakan pemberian R&D merupakan bentuk perlakuan istimewa bagi para konglomerat yang diduga menggunakan uang negara untuk kepentingan pribadi mereka. Sebaliknya kebijakan itu telah menyakiti rasa keadilan rakyat. Resistensi serupa dapat terjadi pada rencana pemberian amnesti jika faktor dukungan dan kepentingan publik tidak menjadi dasar pertimbangan utama.
1 comment:
Cool guestbook, interesting information... Keep it UP
» » »
Post a Comment