Saturday, August 27, 2005

Menggadaikan Mandat

Acapkali persoalan korupsi dibicarakan, tapi seringkali tidak ada penyelesaian. Sehingga berbicara mengenai korupsi kadang membuat masyarakat frustasi. Bagaimana tidak, Indonesia oleh Transperancy International (TI) tiap tahun digolongkan sebagai negara yang tinggi tingkat korupsinya. Tapi Indonesia adalah negara yang paling sedikit menjebloskan pelaku korupsi ke penjara. Karena lemahnya efek jera yang ditimbulkan oleh lembaga peradilan bagi para koruptor, maka praktek korupsi kian menjadi-jadi dan semakin vulgar. Kondisi ini diperparah oleh sikap lunak pemerintah terhadap realitas struktural yang korup. Perubahan orde –dari otoriter ke sistem politik yang lebih demokratis- melalui pemilu tak cukup untuk memutus tradisi rezim lama yang busuk. Ancaman korupsi dibawah Orde Reformasi ternyata jauh lebih gawat, bukannya menyusut.

Praktek korupsi menjalar ke pusat-pusat kekuasaan baru di daerah. Hal ini merupakan implikasi atas lemahnya posisi masyarakat sipil sebagai kelompok penyeimbang (kontrol) kekuasaan. Arah desentralisasi yang dirumuskan dalam dua paket UU Otda hanya menitikberatkan pada pemberian otoritas pemerintahan daerah. Sementara, tidak ada ruang akomodasi yang menjamin partisipasi politik masyarakat untuk terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan. Akibatnya, kebijakan publik yang menyentuh kehidupan masyarakat luas diambil tanpa ada mekanisme konsultasi publik, mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan akuntabilitas. Dalam kondisi dan sistem yang demikian, perselingkuhan politik antar pemegang otoritas kerap kali terjadi.

Demokrasi Elit

Pemerintahan lokal yang otonom dimaksudkan untuk mendekatkan hubungan antara pengambil keputusan dengan masyarakatnya. Dengan semakin dekatnya jarak keterwakilan, peran serta (partisipasi) masyarakat dalam proses pengambilan keputusan sangat mungkin untuk diwujudkan. Sehingga nilai-nilai demokrasi yang hendak dikembangkan bukan demokrasi elit, namun lebih mendorong kepada implementasi participatory democracy. Demokrasi elit mengarah pada peran dominan elit politik dalam pengambilan keputusan karena digunakannya mekanisme perwakilan. Jika demokrasi yang diwakilkan seringkali terjebak pada prosedur demokrasi semata-mata, participatory democracy lebih menekankan pada sistem pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat luas dengan mengurangi peran dan fungsi lembaga perwakilan.

Salah satu titik kelemahan dari demokrasi yang diwakilkan adalah adanya jurang yang lebar antara kepentingan masyarakat yang diwakili dengan kepentingan wakilnya di parlemen. Keputusan-keputusan yang diambil oleh wakil rakyat tidak dapat dialunir, walaupun keputusan itu sangat merugikan masyarakat luas. Masyarakat sendiri tidak dilindungi hak-haknya untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Akibatnya, beberapa upaya, misalnya class action dari kelompok masyarakat sipil untuk membatalkan suatu kebijakan karena tidak sejalan dengan kepentingan publik seringkali menemukan jalan buntu.

Di sisi lain, anggota parlemen sendiri telah memiliki legitimasi kekuasaan karena secara sah telah dipilih dalam pemilu untuk menjadi wakil rakyat. Jikapun dalam proses berjalannya fungsi mandat itu ada fakta penyimpangan, regulasi tidak menyediakan mekanisme bagi masyarakat untuk menarik mandatnya di pertengahan jalan, kecuali menunggu sampai datang pemilu berikutnya. Tidak berjalannya fungsi kontrol masyarakat menjadikan amanat publik bisa dengan mudah diperjualbelikan.
Salah satu agenda politik yang melahirkan kritikan masyarakat adalah proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang kerap diwarnai dengan praktek jual-beli suara.

Hal itu tampak semakin menggeramkan karena praktek money politics dilakukan secara telanjang, disertai dengan bukti-bukti dokumen (kuitansi) dan pengakuan (testimony), namun pelakunya bebas melanggeng ke tampuk kekuasaan tanpa kesulitan yang berarti.
Terjadinya praktek money politics dalam Pilkada merupakan gambaran nyata terjadinya manipulasi suara rakyat. Dengan kata lain, meminjam bahasa La Ode Ida, telah terjadi tirani minoritas (DPRD) atas suara mayoritas (konstituen). Praktek suap meluas karena lambannya aparat penegak hukum yang menyelidiki dugaan suap dan sikap pemerintah pusat yang permisif terhadapnya. Hingga detik ini, aparat penegak hukum yang sedang menyidik dugaan money politics dalam Pilkada belum ada yang membuahkan hasil. Padahal hampir dalam setiap Pilkada, dugaan suap itu muncul.

Kontribusi Masalah Pemerintah Pusat

Lolosnya berbagai kasus money politics dalam Pilkada tidak bisa dilepaskan dari kesalahan pemerintah pusat (Depdagri) dalam mengambil sikap tegas. Di berbagai kasus, wewenang administratif Mendagri untuk menunda atau bahkan membatalkan pemilihan kepala daerah karena indikasi kuat money politics (korupsi) tidak digunakan. Dengan alasan bahwa money politics merupakan persoalan hukum, penyelesaian kasus-kasus seperti itu lantas diserahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum.

Padahal seharusnya dalam posisi sebagai pengambil keputusan administratif, Mendagri dapat menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk membuat langkah preventif.
Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan sebagai tindakan pencegahan, pertama, menunda pelantikan hasil pemilihan yang terindikasi kuat berbau suap dan telah mengalami defisit kepercayaan dari publik, kedua, sesegera mungkin merevisi PP 105/2000 tentang mengenai Tata Tertib Pemilihan, Pengesahan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan membuat suatu prosedur baru yang mempermudah penanganan kasus money politics tanpa harus berimplikasi negatif terhadap jalannya pemerintahan.

Regulasi juga seharusnya membuka akses bagi masyarakat luas agar dapat berpartisipasi langsung untuk mengontrol proses pemilihan. Bukan justru dihalang-halangi atau dipersulit dengan mencantumkan syarat-syarat ketat yang “mustahil” dipenuhi oleh kelompok masyarakat yang berniat untuk melakukan monitoring pilkada dan memberikan pengaduan. Setidaknya, dua hal ini perlu dilakukan sembari menanti berlakunya pemilihan kepala daerah langsung.

Jikapun kemudian Mendagri menggunakan hak administratifnya untuk menunda dan membatalkan hasil pemilihan, dalam berbagai kasus cenderung tidak konsisten. Pada perkara Pilkada Lampung (2003), yang kala itu dimenangkan oleh Alzier, dalam kurun waktu yang relatif cepat hasil pemilihan dibatalkan oleh Mendagri.

Terlepas dari kebenaran akan tindak pidana yang dilakukan Alzier, namun ada persoalan lain yang lebih maknawi kandungannya, yaitu intervensi kekuasaan (politik) atas otoritas birokrasi. Secara kasat mata kita dapat melihat bahwa Alzier adalah ‘anak haram’ DPP PDI-P yang tidak mendapatkan restu namun justru memenangkan pertarungan. Kisah pidana penipuan oleh Alzier menjadi semata sebuah alasan untuk membatalkan hasil Pilkada, dibandingkan dengan semangat menciptakan jajaran birokrasi pemerintahan yang bebas dari cacat hukum, politik dan moral. Dalam konteks ini, relevan kiranya untuk mempertanyakan kembali klaim netralitas keputusan Pemerintah Pusat (Mendagri) dalam menetapkan atau membatalkan sebuah hasil Pilkada.

Mungkin seandainya Alzier atau ‘anak haram’ lainnya adalah paket rekomendasi dari DPP PDI-P, tentu hasil pemilihan itu akan berjalan mulus. Hal mana terjadi pada saat pilkada Bali (2003) berlangsung. Bagaimana tidak, 2 orang DPRD Bali dari Fraksi PDI-P telah memberi kesaksian mendapatkan dana senilai Rp 50 juta dari Pramono Anung sebagai “uang keringat” untuk mengangkat atau memilih Made Beratha -Gubernur Bali terpilih-. Sejalan dengan tata tertib (tatib) pemilihan, jika ada pengaduan masyarakat mengenai money politics dalam pemilihan terbukti, maka secara otomatis pemilihan dibatalkan.

Nyatanya Made Beratha tetap dilantik sebagai Gubernur Bali dengan meninggalkan luka dalam bagi pelapor (pengadu) karena harus mendapatkan sanksi pemecatan dari DPP PDI-P. Kasus money politicsnya sendiri yang sempat menghebohkan itu segera senyap, ditimpa riuh rendahnya pesta pelantikan. Jika benar bahwa pada 2005 Pilkada langsung baru dapat dilaksanakan. Bisa dipastikan proses pilkada oleh DPRD sebelum 2005 akan selalu diwarnai oleh praktek money politics. Buruknya kinerja aparat penegak hukum dalam menyelesaikan dugaan suap dan ambiguitas sikap Pemerintah Pusat adalah ujung soalnya. Mungkin karena suap bukan lagi dianggap sebagai tindakan pidana, melainkan cara sah untuk meraih kemenangan.