blogger ini dibuat untuk mencatat, menulis, merekam dan menyampaikannya kepada siapapun mengenai apa-apa yang ada dalam pikiran, benak dan aktivitas, baik sebagai pribadi maupun sebagai pekerja sosial
Saturday, August 27, 2005
Masa Depan Pemberantasan Korupsi di Aceh
Hasil kajian terhadap fenomena korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh ICW pada tahun 2004 menunjukan bahwa NAD menempati urutan ke enam terbesar wilayah yang paling banyak terjadi praktek korupsinya, setelah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Selatan. Setidaknya terdapat 22 kasus korupsi yang terjadi di berbagai wilayah NAD, dengan berbagai variasi aktor, modus dan tingkat kerugian negara yang ditimbulkannya. Penilaian itu didasarkan pada beberapa sumber data utama, yakni pemberitaan di media massa dan laporan masyarakat. Barangkali maraknya praktek korupsi yang terjadi di NAD tidak bisa dilepaskan dari persoalan tiadanya kepastian hukum dan tertib birokrasi yang dikombinasikan dengan besarnya alokasi anggaran yang diberikan oleh pemerintah dari berbagai sumber pendanaan, khususnya yang terkait dengan program bantuan kemanusiaan dan pembangunan infrastruktur.
Kemungkinan praktek korupsi di NAD meningkat dan menyebar akan menjadi kenyataan mengingat tidak ada satupun kasus korupsi yang telah diproses hukum, kecuali perkara mark-up pembelian helikopter Mi-2 Rostov yang melibatkan Abdullah Puteh, Gubernur NAD. Terbengkelainya penyelesaian berbagai macam praktek korupsi di NAD mau tidak mau mengarahkan pada satu kesimpulan awal bahwa institusi penegak hukum, yakni kejaksaan dan kepolisian di NAD telah mengalami kematian fungsi. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan mengingat paska bencana nasional tsunami yang menghantam berbagai wilayah NAD, aliran dana bantuan kemanusiaan dan anggaran untuk rehabilitasi-rekonstruksi untuk NAD tidak kecil jumlahnya.
Keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Khusus Korupsi menyeret dan mengadili kasus mark-up pengadaan pesawat atas nama terpidana Abdullah Puteh telah memicu harapan banyak kalangan, agar KPK juga menangani kasus korupsi lainnya yang hingga kini tidak jelas ujung penyelesaian hukumnya. Harapan itu tidak hanya ditujukan kepada kasus korupsi yang terjadi di NAD, melainkan juga perkara korupsi di wilayah lainnya. Hal itu menjadi mungkin mengingat dalam UU No 30 Tahun 2000 tentang KPK pasal 8 ayat 2 disebutkan bahwa dalam melaksanakan wewenangnya sebagai supervisor penanganan korupsi, KPK juga berwenang untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan. Sesungguhnya harapan masyarakat yang besar kepada KPK untuk dapat menyelesaikan berbagai macam perkara korupsi dapat dilihat sebagai cermin tingginya ketidakpercayaan masyarakat kepada institusi kejaksaan dan kepolisian.
Secara teoritik, penegakan hukum yang diarahkan pada semua perkara tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi mengandung beberapa tujuan. Pertama, memberikan penegasan kepada semua pihak bahwa siapapun yang melakukan kejahatan, apapun posisi dan jabatan seseorang, harus berhadapan dengan hukum sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa yang telah diperbuatnya. Kedua, memberikan efek jera bagi orang yang melakukan kejahatan sehingga tidak dilakukan oleh yang lain.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah vonis yang telah dijatuhkan kepada Abdullah Puteh oleh Pengadilan Khusus Korupsi di Jakarta sudah dapat memberikan rasa takut bagi pejabat pemerintah lainnya di NAD sehingga tidak melakukan korupsi? Sesungguhnya vonis 8 tahun penjara untuk Gubernur NAD itu bisa dipandang masih terlalu ringan bagi pelaku korupsi di wilayah yang sedang dalam kondisi tidak menentu sehingga sangat tidak memadai untuk memberikan efek jera bagi pelaku korupsi di NAD.
Dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 ayat 2 dinyatakan “dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Dalam penjelasan pasal demi pasal, yang dimaksud dalam keadaan tertentu yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yakni apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan pengulangan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, secara yuridis-formal, vonis hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhkan. Kalaupun pasal pemberatan pidana korupsi tidak diarahkan kepada Abdullah Puteh, namun landasan hukum ini dapat digunakan bagi praktek korupsi yang mungkin akan terjadi pada tahap pelaksanaan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh paska tsunami.
Selain kasus Abdullah Puteh, publik di NAD kini juga tengah menyoroti dugaan korupsi di Kabupaten Aceh Singkil atas nama tersangka Bupati Makmur Syahputra yang telah ditetapkan oleh Kejati NAD. Makmur Syahputra tidak sendiri karena masih ada tersangka lainnya yakni Muadz Vohri, Wakil Bupati, Sekda Ridwa Hasan dan Kabag Keuangan Dicar Sinaga. Ada trauma di banyak pihak, terutama dari LSM bahwa kasus dugaan korupsi senilai Rp 8,6 miliar ini akan menguap begitu saja seandainya masih ditangani oleh Kejati NAD. Oleh karenanya, desakan agar KPK mengambilalih kasus tersebut kian mengemuka.
Walaupun secara yuridis KPK bisa mengambil alih kasus yang tengah disidik dan dituntut oleh kejaksaan dan kepolisian, tapi secara empiris agaknya konsentrasi KPK kini ada di KPU. Disamping itu, dalam berbagai pertemuan formal dan non-formal dengan para pejabat di lingkungan KPK guna pengambil alihan kasus, ditemukan kendala besar. Masalah itu tak lain adalah pada sumber daya dan infrastruktur yang belum siap. Dari sisi sumber daya, jumlah penyidik yang ada di KPK tidak terlalu banyak, mungkin hanya mencapai puluhan orang sehingga tidak mungkin dapat menggarap semua kasus korupsi yang terjadi di berbagai wilayah. Selain daripada itu, jumlah hakim pengadilan khusus korupsi juga tidak banyak.. Kondisi ini tentu saja akan berimplikasi pada seberapa banyak kasus korupsi yang bisa ditangani oleh KPK sendiri. Oleh karena itu, dalam berbagai hal, KPK justru memilih untuk mengefektifkan peran sebagai supervisor, yakni dengan mengawasi, meneliti dan menelaah kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani kejaksaan dan kepolisian untuk memastikan bahwa penyelidikan, penyidikan dan penuntutan telah berjalan sebagaimana mestinya.
Mengingat agenda pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab KPK, mau tidak mau peran kejaksaan dan kepolisian sebagai representasi Pemerintah Eksekutif tetap dibutuhkan. Setidaknya komitmen dan kemauan politik dari SBY yang telah mencanangkan program percepatan pemberantasan korupsi perlu dilihat sebagai kesempatan bagi masyarakat untuk mendesakan penyelesaian berbagai macam kasus korupsi yang pernah mengendap di kejaksaan dan kepolisian.
Lahirnya Inpres No 5 tahun 2004, dibentuknya Tim Pemburu Koruptor, munculnya Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi melalui Keppres No 11 Tahun 2005 merupakan landasan sekaligus amunisi bagi berbagai kalangan untuk lebih leluasa mengawasi kinerja kejaksaan dan kepolisian yang tengah memproses perkara-perkara korupsi. Karena apa yang telah ditegaskan SBY melalui berbagai macam kebijakan pemberantasan korupsinya harus menjadi bagian dari komitmen seluruh jajaran aparat penegak hukum. Seandainya masih ada institusi penegak hukum, khususnya kejaksaan yang tidak serius atau bahkan melakukan praktek jual beli perkara korupsi, hal ini dapat dikategorikan sebagai pembangkangan terhadap agenda pemerintah SBY. Perilaku aparat penegak hukum yang demikian tidak dapat ditolerir sehingga masyarakat berhak dan harus menuntut untuk diadakan penyegaran (baca: pemecatan).
Akhir kata, kunci dari keberhasilan penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak hanya terletak pada pundak KPK atau komitmen pemerintah, melainkan sangat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya tekanan yang kuat dari masyarakat. Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB) yang telah berhasil menyeret 43 anggota DPRD Propinsi Sumbar ke jeruji penjara merupakan salah satu bukti bahwa kelompok masyarakat yang terorganisir, dengan pembagian kerja advokasi yang jelas sekaligus konsisten mendesakan penyelesaian hukum tindak pidana korupsi jauh lebih efektif daripada mengharapkan adanya turun tangan KPK yang juga masih harus menyelesaikan pekerjaan rumahnya sendiri. (tulisan ini pernah dimuat di majalah Acehkita)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
I have been looking for sites like this for a long time. Thank you! » »
Post a Comment