Sunday, August 28, 2005

Masyarakat Sipil dan Pemberantasan Korupsi

Otonomisasi tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan mengenai kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri maka tercapailah apa yang dimaksud demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga terutama memperbaiki nasibnya sendiri”(Mohammad Hatta, 1957)

Hipotesis yang mengatakan bahwa telah terjadi desentralisasi korupsi paska otonomi daerah kian tak terbantahkan setelah dalam beberapa waktu terakhir, kita mendengar atau membaca dari berbagai media massa terungkapnya kasus korupsi yang melibatkan secara massal anggota DPRD. Kejadian korupsi tersebut tidak hanya dimonopoli oleh satu daerah saja, melainkan sudah menyebar secara merata di berbagai pusat-pusat kekuasaan baru. Dari sisi aktor, selain DPRD, Kepala Daerah merupakan pelaku korupsi di daerah yang –dari sisi grafik- menempati urutan tertinggi (Pola, Aktor dan Modus Korupsi Paska Desentralisasi, Quarterly Report ICW Jan-Agustus 2004).

Berkaca pada fenomena diatas, kita bisa mengatakan bahwa proses demokratisasi paska tumbangnya rezim Orde Baru, yang ditandai dengan semakin terbukanya keran kebebasan, baik kekebasan bagi pers, kebebasan bagi masyarakat untuk berpendapat, kebebasan untuk mendirikan organisasi politik (partai) pada kenyataannya diliputi oleh berbagai distorsi, khususnya distorsi yang terkait dengan praktek penyelewengan kekuasaan (baca: korupsi). Implementasi otonomi daerah, yang kandungan intinya adalah proses demokratisasi ternyata tidak diimbangi atau diikuti oleh penerapan prinsip-prinsip good governance dalam praktek penyelenggaraan negara, sebagaimana menjadi tuntutan utama gerakan reformasi. Buah dari pemberian otoritas besar kepada pemerintahan daerah minus akuntabilitas adalah maraknya praktek korupsi.

Salah satu bentuk penyelewengan mandat oleh DPRD dan pemerintah daerah adalah pada kewenangan untuk merencanakan dan menyusun (fungsi budgeting) APBD yang tidak diimbangi dengan tingkat dan kapasitas kontrol atas kewenangan itu dari publik. Sudah menjadi postulat bahwa pemberian wewenang yang besar tanpa diimbangi dengan kendali yang kuat hanya akan memperpanjang usia rezim yang serakah. Distribusi kekuasaan yang timpang akan melahirkan kebijakan yang korup. Tiadanya mekanisme check and balances membuka ruang bagi pejabat negara untuk berbuat sewenang-wenang (abuse of power).

APBD merupakan pundi-pundi kekayaan negara yang mudah untuk dijadikan sapi perahan oleh DPRD dan Pemda. Pasalnya melalui APBD, alokasi manfaat anggaran dibuat dan proyek-proyek ‘pembangunan’ dirancang. Semuanya dibandrol dengan nilai rupiah yang tidak kecil. Dan otoritas untuk menyusun sekaligus mengesahkan APBD ada pada palu parlemen lokal (DPRD) dan Pemerintah Daerah.

Proses penyusunan APBD yang sebatas diserahkan kepada DPRD dan Pemda seringkali hanya melahirkan proyek-proyek mercusuar, biaya ekonomi tinggi, tapi tidak sesuai dengan kebutuhan prioritas masyarakat luas. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat atas satu proyek pembangunan sejak dalam perencanaannya sudah harus bertarung dengan kepentingan swasta (pengusaha) yang masuk melalui lobby dan deal-deal yang sulit ditangkap fenomenanya dalam sosok yang telanjang. Bahkan tak jarang anggota DPRD sendiri yang melaksanakan proyek dari APBD itu dengan menggunakan bendera perusahaan tertentu yang dikendalikan oleh orang-orang kepercayaan (proxy).

Dalam berbagai kasus, fungsi anggaran yang dimiliki anggota DPRD sering kali diselewengkan.  Wakil rakyat di parlemen yang merupakan representasi partai politik dengan heterogenitas kepentingan –karena masing-masing mewakili kepentingan konstituen- dapat menjadi kompak karena proyek APBD. ‘Asal dibagi rata’ dan ‘asal semua dapat’ merupakan istilah sindiran yang kerap ditujukan kepada mereka. Praktek ini mentransformasikan satu lembaga politik (parlemen) yang bergerak dinamis karena kompetisi politik, menjadi lembaga yang berisi gerombolan ‘pencuri’ terorganisir. Data Kapuspenkum Kejaksaan Agung bahwa pada 2003 sebanyak 270 anggota DPRD diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia atas kasus penyelewengan dana APBD setidaknya memberi konfirmasi atas status gerombolan ‘pencuri’ itu.

Fungsi lain yang juga tidak luput dari penyalahgunaan adalah fungsi legislasi yang keluaran akhirnya berbentuk Peraturan Daerah (perda). Dari laporan Mendagri, untuk tahun 2001 saja, sekitar 68 perda dikategorikan bermasalah. Pasalnya sebagian besar perda yang dikeluarkan pemerintah daerah memiliki motif untuk menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang pada implementasinya cenderung memiliki tendensi pemerasan. Padahal, keluarnya perda pendapatan tanpa disertai analisa dampak hanya akan membawa akibat negatif bagi perekonomian daerah itu sendiri dalam jangka panjang. Selain banyak perda yang isinya bertentangan dengan UU yang lebih tinggi, terbitnya aturan itu justru menghambat iklim usaha dan mendistorsi arus barang dan jasa (Faisal Basri, 2003).

Sejumlah pihak menyoroti banyaknya distorsi yang muncul paska pemberlakuan otonomi daerah karena sejumlah hal, yakni:
Pertama,   program otonomi daerah  hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tanpa disertai dengan pembagian kekuasaan kepada masyarakat.  Dengan kata lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elit lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.

Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat  ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung yang dapat memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik bupati maupun walikota, tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan bertanggunjawab ke DPRD (Sekedar catatan, mulai tahun 2005, semua pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat, bukan oleh DPRD). Hubungan pemerintahan pusat dan daerah hanya fungsional, yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah (CSIS, TA. Legowo, 2001).
Ketiga, kontrol DPRD terhadap jalannya pemerintah (eksekutif) tidak berfungsi, melainkan disalahgunakan sehingga terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD, sementara  kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Praktek kolusi yang terjadi antara DPRD dan Kepala Daerah disebabkan karena tiadanya kompetisi politik antar aktor politik di daerah. Sementara itu, kuatnya aroma kolusi dalam setiap pengambilan keputusan yang melibatkan DPRD maupun Eksekutif mencerminkan kuatnya oligharki elit di daerah, sehingga sulit untuk mengharapkan berfungsinya mekanisme kontrol dari mereka.

Pemberdayaan Masyarakat Sipil  

Dalam situasi dimana masyarakat politik sudah sedemikian korup, maka mengharapkan pemberantasan korupsi datang dari pemerintah menjadi suatu hal yang mustahil -untuk tidak menyebut sia-sia-. Tiadanya kemauan politik sekaligus aksi politik dari pemerintah untuk bersikap tegas terhadap praktek korupsi menyebabkan pemberantasan korupsi tidak bisa diharapkan datang dari atas. Hanya ada segelintir daerah saja yang berhasil menciptakan sistem pemerintahan yang bersih oleh karena adanya kemauan yang kuat dari pimpinannya (Kepala Daerah). Misalnya di Kabupaten Solok, Sumatera Barat dan Kabupaten Jembarana di Bali. Untuk Kabupaten Solok sendiri, beberapa waktu lalu Gamawan Fauzi, Bupati Solok memperoleh Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) karena sikap nyatanya dalam pemberantasan korupsi di lingkungan pemerintahan kabupaten Solok.

Barangkali, Sumatera Barat merupakan contoh daerah dimana tiga hal yang berkaitan dengan korupsi dan pemberantasannya tumbuh disana. Tiga hal itu adalah, pertama, korupsi DPRD pertama kali terbongkar di Sumbar. Kedua, gerakan anti-korupsi yang berbasiskan masyarakat –untuk pertama kalinya- di Sumbar telah menunjukkan beberapa keberhasilan. Ketiga, adanya kemauan kuat dari pemimpin daerah sebagaimana dilakoni oleh Bupati Solok untuk menciptakan pemerintahan yang bersih juga muncul pertama kali di Sumbar.

Dengan melihat kondisi diatas, bagi kita yang berangkat dari gerakan masyarakat sipil, konsep pemberantasan korupsi di Indonesia harus diarahkan kepada munculnya gerakan rakyat. Apa yang dilakukan oleh Forum Perduli Sumatera Barat (FPSB) bisa kita jadikan rujukan sekaligus keyakinan bahwa gerakan sosial melawan korupsi di Indonesia memiliki prospek keberhasilan yang cukup tinggi.

Oleh karenanya, inisiatif dan desakan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih harus lahir dari masyarakat sipil sendiri. Beberapa agenda yang lebih konkret –sesuai dengan problem mendasar yang terjadi di banyak daerah-  perlu diinventarisir secara seksama untuk merumuskan rencana aksi yang lebih strategis. Beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan dalam konteks lokal adalah:

Pertama, menuntaskan proses otonomi daerah yang sekarang ini berhenti hanya sampai tingkat otonomi pemerintah daerah saja. Maksudnya, otonomi daerah harus menyentuh pada persoalan mendasarnya, yakni adanya otonomi masyarakat. Dengan otonomi masyarakat, apa yang disebut oleh Bung Hatta sebagai demokrasi, yakni pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat benar-benar dapat diwujudkan.
Kedua, kontrol masyarakat dapat berjalan efektif jika aksesibilitas terhadap informasi dari institusi publik dengan mudah bisa diperoleh. Maraknya korupsi dalam bentuk korupsi APBD, pelaksanaan proyek fiktif, penggunaan SPJ fiktif dan sebagainya merupakan buah dari tertutupnya akses informasi bagi masyarakat yang tengah mengawasi jalannya pemerintahan daerah. La Ode Ida, salah satu anggota DPD terpilih dari Propinsi Sulawesi Tenggara yang sekaligus Direktur Eksekutif FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) dalam sebuah diskusi di televisi mengatakan bahwa pengawasan anggaran adalah soal yang mudah. Mudah jika masyarakat diberikan jaminan untuk dapat memperoleh, mengakses setiap informasi yang terkait dengan penyelenggaraan anggaran pemerintah daerah. Kebebasan informasi itu perlu dibingkai dalam sebuah aturan main, sehingga hak masyarakat untuk tahu apa yang telah dikerjakan oleh pemerintahnya mendapatkan jaminan konstitusional. Dalam konteks lokal, adanya perda transaransi merupakan implementasi dari semangat untuk mewujudkan good governance.

Ketiga, partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan adalah suatu prasyarat utama yang tidak bisa diingkari dalam memperbaiki posisi tawar. Partisipasi itu bukan sekedar keterlibatan wakil-wakil masyarakat yang dalam prakteknya mudah sekali dimanipulasi sebagaimana ditunjukkan dalam penyusunan anggaran, namun keterlibatan dalam pengertian yang lebih jauh, yakni keterlibatan dalam pendapat dan dalam aksi (tindakan), sekaligus keterlibatan dalam menentukan setiap kebijakan yang akan diambil.

Keempat, secara internal, lembaga demokrasi seperti parlemen atau partai politik perlu membenahi diri. Dalam konteks parlemen, penerapan kode etik -melalui pengaktifan Dewan Kehormatan misalnya- yang mengikat dan memberikan rambu-rambu atas perilaku dan tindakan mereka perlu diterapkan secara tegas sehingga mekanisme etik dilingkungan internal parlemen benar-benar berfungsi. Kode etik plus pemberian sanksi  yang tegas atas setiap perilaku yang menyimpang ditubuh parlemen akan memberikan legitimasi baru dari masyarakat, setelah sebelumnya citra parlemen terpuruk karena hempasan gelombang korupsi.    

Sebenarnya, masih banyak agenda lain yang perlu dijadikan prioritas gerakan rakyat dalam hubungannya dengan pemberantasan korupsi dalam konteks otonomi daerah. Yang terpenting, agenda gerakan masyarakat sipil harus selalu mengarah kepada semakin kuatnya posisi tawar masyarakat terhadap pemerintahan. Semua itu akan berujung pada terwujudnya keseimbangan kekuasaan demi terwujudnya kontrol rakyat atas jalannya kekuasaan.

No comments: