Wednesday, September 30, 2009

Memperalat Penegakan Hukum

Politik dan hukum memang selalu tidak dapat dipisahkan. Keduanya berada pada aras yang saling mempengaruhi. Bedanya, lingkungan politik yang sehat akan mendukung hukum untuk bekerja dengan prinsip objektifitas dan imparsialitas. Sementara lingkungan politik yang kotor sangat mungkin akan menempatkan hukum sebagai alat kepentingan elit belaka. Oleh karena itu, implementasi penegakan hukum yang tanpa pandang bulu juga sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan politik.

Masalahnya, dalam situasi dimana korupsi sudah sedemikian akut, merajalela dan sistemik, menyelesaikan korupsi dengan penegakan hukum kerap terbentur berbagai macam resistensi yang tidak bisa dianggap sederhana. Korupsi yang sudah membentuk kartel, kolusi yang mengakar antara kekuasaan politik, kalangan bisnis dan aparatur penegak hukum bukanlah soal yang bisa dirumuskan penyelesaiannya dengan mudah. Dan KPK hadir dalam situasi yang kurang lebih demikian.

Maka dari itu, tak heran jika agenda pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK terasa menjadi ganjalan besar bagi kemapanan para elit korup. Jangkauan KPK sudah mulai masuk ke ranah kekuasaan yang selama ini sudah dicap kebal hukum semisal DPR, besan Presiden, pejabat Bank Sentral, raja kecil di daerah (kepala daerah) dan sebagainya.

Demikian pula, KPK sebagai lembaga penegak hukum juga musti berhadap-hadapan langsung dengan aparat penegak hukum lainnya untuk membereskan masalah korupsi. Tertangkapnya UTG dan diprosesnya mantan Kapolri karena terlibat korupsi menjadi catatan tersendiri bahwa aparat penegak hukum di Indonesia memang perlu dibersihkan.

Perselingkuhan Kepentingan

Kesan bahwa KPK bekerja sendirian dalam memberantas korupsi memang tak berlebihan. Ironisnya, proteksi politik yang sangat dibutuhkan oleh KPK untuk memberantas korupsi dengan lebih efektif harus berhadapan dengan kepentingan politik yang kerap terganggu oleh gebrakan KPK. Untuk saat ini, harus diakui bandul kekuasaan politik lebih mengarah pada upaya melemahkan KPK dibandingkan kemauan untuk memperkuat posisi KPK.

Alih-alih menambah amunisi wewenang bagi KPK dalam rangka meningkatkan kinerjanya, kekuasaan pada wilayah parlemen dan eksekutif justru membangun perselingkuhan untuk mengebiri KPK. Benar sebagaimana dikatakan Pasuk Phongpaichit, seorang peneliti korupsi dari Thailand, dalam kondisi dimana kekuasaan politik menjadi sumber atau pusat korupsi, mustahil berharap dukungan politik dalam memberantas korupsi.

Menurutnya, satu-satunya jalan adalah dengan tuntutan yang kuat dari kalangan masyarakat sipil. Pendek kata, pemberantasan korupsi pada negara yang sistem politiknya korup hanya dapat dilakukan secara bottom-up, tidak top-down. Koalisi CICAK yang didorong oleh berbagai elemen masyarakat sipil memang sedikit banyak terbukti dapat mengerem upaya kekuasaan politik untuk mengamputasi otoritas KPK. Nampaknya, hanya dengan kontrol yang ketat dari publik luas, elit politik tidak dapat dengan mudah mengutak-atik eksistensi KPK.

Celakanya, instrumen untuk melumpukan KPK bukan hanya melalui regulasi. Celahnya terbuka lebar melalui penegakan hukum. UU KPK memang didesain dengan standar yang tinggi, sehingga ketika unsur Pimpinan KPK menjadi tersangka karena tindakan pidana, maka harus dinonaktifkan oleh Presiden. Oleh karena itu, sangkaan terhadap unsur pimpinan KPK harus benar-benar dilandasi oleh fakta yuridis yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Soalnya begitu mudah melumpuhkan KPK jika penegakan hukum atas pimpinan KPK telah dirasuki oleh kepentingan berbagai pihak.

Jika disebut-sebut penetapan tersangka oleh Mabes Polri atas dua pimpinan KPK merupakan buah pertemuan Kepolisian dengan Komisi III DPR, bukankah ini juga mengindikasikan perselingkuhan kekuasaan politik dan elit penegak hukum? Pasalnya pada saat yang bersamaan, Kabareskrim Mabes Polri, Susno Duadji telah terlebih dulu masuk dalam radar pantauan KPK terkait dengan kasus Bank Century.

Penegakan Hukum Dikendalikan Kepentingan?

Pertaruhan besar kini berada pada Kepolisian. Kredibilitasnya sebagai penegak hukum sangat mungkin hancur jika upaya hukum terhadap Pimpinan KPK yang dilakukan oleh mereka ternyata ditunggangi oleh berbagai kepentingan untuk melemahkan KPK. Posisi Kapolri menjadi sangat rawan andaikata Polisi tidak dapat membuktikan tuduhan suap yang dialamatkan kepada Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, dua pimpinan KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Kecenderungan yang kini bisa dilihat, Polisi justru semakin menunjukkan kebimbangannya. Sangkaan kepada pimpinan KPK terus berubah, sementara ketika masuk pada isu suap, mereka sepertinya tak memiliki alat bukti yang cukup. Bahkan untuk data mendasar yang berhubungan dengan alibi, Polisi ternyata tidak memiliki informasi akurat.

Jika menurut Polisi, suap telah diberikan kepada Bibit pada waktu yang diyakini Polisi, akan tetapi pada waktu yang disebut Polisi, Bibit berada di Peru untuk tugas kedinasan, bukankah ini merupakan kebodohan paling mendasar dalam teknik investigasi? Apalagi jika Bibit bisa menunjukkan bukti-bukti bantahan seperti visa, tiket pesawat, undangan tugas dinas, surat tugas dinas dan keterangan lain yang memperkuat alibinya.

Perkembangan penyidikan di Kepolisian atas pimpinan KPK semestinya jadi rujukan Presiden untuk meninjau ulang Perpu Plt Pimpinan KPK. Jika SBY tetap melanjutkan agenda Perpu, Presiden sebagai atasan langsung Kepolisian dapat dianggap turut merestui penzaliman terhadap Pimpinan KPK karena nyatanya proses itu tidak dilandasi bukti yuridis yang kuat. Atau dalam bahasa lain, SBY dapat dikategorikan terlibat dalam skenario untuk melemahkan KPK melalui penegakan hukum yang dipaksakan.

Sudah bukan waktunya lagi SBY berdalih bahwa posisinya sebagai Presiden tidak dapat mencampuri atau mengintervensi proses hukum oleh Kepolisian terhadap pimpinan KPK. Barangkali selama ini SBY keliru menerapkan manajemen informasi sehingga banyak keterangan sampah yang masuk dan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Saat ini, masa depan pemberantasan korupsi tengah terancam dengan berbagai macam usaha sistematis untuk menghancurkan KPK. Sudah semestinya SBY memikul tanggungjawab besar untuk memulihkannya.

Oleh: Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW


Tulisan disalin dari Harian Jawa Pos, 30 September 2009

Wednesday, September 16, 2009

Resiko Melemahkan KPK

Daya dukung politik terhadap eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata tidak cukup kuat. Tak aneh jika gebrakan KPK dalam memberantas korupsi direspons dengan sangat negatif.


Caranya dengan melakukan usaha sistematis untuk merontokkan KPK. Jika pimpinan KPK dikriminalisasi melalui tindakan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi oleh Mabes Polri,wewenang KPK dipreteli lewat jalur alternatif, yakni RUU Pengadilan Tipikor.Dua wewenang KPK yang terus menjadi target pemangkasan oleh elite politik adalah penuntutan dan penyadapan. Tindakan Reskrim Mabes Polri dalam memeriksa Pimpinan KPK sejak awal memang mencurigakan.

Bermula dari dugaan penyadapan ilegal, dugaan suap dalam kasus PT Masaro yang diterima oleh oknum KPK, hingga yang terbaru, dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Pimpinan KPK atas penanganan kasus korupsi PT Masaro yang melibatkan Anggoro. Bahkan dua hari lalu kita digemparkan dengan status tersangka atas Candra Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Dalam kasus pertama dan kedua, polisi nampaknya kecele karena tidak dapat menemukan bukti hukum yang mendukung.

Sementara kasus yang terakhir, saya khawatir Mabes Polri tidak membaca UU No 30 tahun 2002 tentang KPK. Dalam pasal 36 ayat 1 UU KPK diatur hak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan atau kompensasi apabila seseorang dirugikan sebagai akibat dari penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK. Ditambahkan dalam ayat 2, gugatan rehabilitasi dan atau kompensasi tidak menghilangkan hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan. Dengan aturan di atas,semestinya Anggoro Wijaya, Direktur PT Masaro yang kasus korupsinya tengah disidik KPK dapat melakukan upaya hukum dengan mengajukan dua gugatan di atas.

Sementara di sisi lain, Kepolisian tidak memiliki wewenang sama sekali untuk melakukan reviu atau pemeriksaan atas proses hukum kasus korupsi yang tengah dilakukan KPK. Berdasarkan aturan hukum inilah, kita bisa mengatakan bahwa yang telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan sebenarnya adalah Reskrim Mabes Polri, bukan KPK.

Memangkas Wewenang KPK


Sikap pejabat Polri dan DPR setali tiga uang, yakni tidak menunjukkan komitmen untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.Parlemen masih terus menggodok RUU Pengadilan Tipikor meski kelompok masyarakat sipil telah menuntut supaya DPR tidak meneruskan proses tersebut. Salah satu isu besar yang menjadi bahan diskusi publik terkait pembahasan RUU Pengadilan Tipikor adalah upaya melemahkan KPK dengan mengamputasi wewenang penuntutan dan penyadapan.

Untuk soal penuntutan, alasan yang diajukan parlemen cukup sederhana,yakni adanya dualisme penuntutan antara KPK dan Kejaksaan. Logika ini menyesatkan karena dua hal.Pertama, dualisme penegakan hukum tidak hanya terjadi pada sisi penuntutan. Bahkan di tingkat penyelidikan, bukan hanya dualisme yang terjadi, tapi sudah “triisme”. Pasalnya polisi, jaksa dan KPK memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan kasus korupsi.Sementara untuk penyidikan,dualisme juga terjadi. Antara KPK dan Kejaksaan samasama memiliki wewenang itu.

Kedua, berhitung soal kinerja, penuntutan KPK justru lebih baik dibandingkan dengan penuntutan oleh Kejaksaan. Indikatornya mudah, tidak ada satu pun kasus korupsi yang dituntut KPK ke Pengadilan Tipikor berakhir dengan vonis bebas. Berbeda dengan Kejaksaan, masih banyak dari kasus korupsi yang dituntut Kejaksaan berujung bebas.Artinya, sejak dimulainya penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan, ada satu aras yang sejalan sehingga penuntutan KPK benar-benar dapat membuktikan secara hukum bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi.

Secara teknis,mengembalikan wewenang penuntutan ke Kejaksaan juga membuat urusan penegakan hukum menjadi tidak efektif dan tidak efisien. Parlemen seharusnya dapat mengambil contoh antara Kepolisian dan Kejaksaan. Bolak-balik berkas perkara antara Kepolisian dengan Kejaksaan kerap terjadi.Kita tentu akan melihat hal serupa jika KPK hanya diberi wewenang penyelidikan dan penyidikan, sementara wewenang penuntutan ada di Kejaksaan.

Risiko yang paling buruk, fakta-fakta hukum yang telah dikumpulkan KPK dapat dihilangkan dalam penuntutan oleh Kejaksaan.Pada akhirnya, kasus yang diproses KPK bisa saja divonis bebas karena penuntutan yang bermasalah.

Risiko bagi Agenda Pemberantasan Korupsi

Kita tentu merasa heran mengapa SBY sebagai Kepala Negara terkesan diam seribu bahasa atas upaya pihak-pihak tertentu yang ingin melemahkan KPK. Padahal pemberantasan korupsi merupakan isu yang dijual oleh SBYKalla maupun SBYBoediono dalam setiap kampanyenya.

Secara diam-diam, SBY pun mengakui kinerja KPK mengingat dalam periode kampanye Pilpres 2009 kemarin, materi kampanye keberhasilan pemberantasan korupsi Pemerintahan SBYKalla justru menonjolkan sisi KPK. Akan ada beberapa risiko besar jika secara politik,KPK tidak mendapatkan dukungan dan terus dilemahkan. Pertama,Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia untuk tahun 2009 dan selanjutnya tidak akan sebaik capaian IPK 2008 atau bahkan merosot ke titik paling rendah.

Sebagaimana kita tahu, kontribusi KPK dalam mendongkrak IPK Indonesia dari 2,3 pada tahun 2007 menjadi 2,6 pada 2008 merupakan hal yang tidak dapat dibantah. Oleh karena itu, menjadi sangat ironis jika target capaian IPK oleh SBY pada masa kedua kekuasaannya lebih tinggi daripada capaian IPK 2008,akan tetapi pada saat bersamaan,faktor-faktor yang mendukung peningkatan IPK tidak didukung secara politik.

Saya khawatir SBY terlalu percaya diri dengan agenda reformasi birokrasinya sehingga tidak menganggap sama sekali KPK sebagai pemberi kontribusi terbesar dalam mendongkrak IPK Indonesia 2008. Kedua, merosotnya IPK adalah indikator buruknya kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia. Lemahnya penegakan hukum, tiadanya kepastian hukum,berjangkitnya suap dalam praktek berusaha, panjangnya mata rantai birokrasi perizinan, tingginya ongkos ekonomi dan rendahnya integritas aparat pemerintah menjadi faktor kunci buruknya citra Indonesia.

Padahal diberantasnya semua faktor di atas adalah kunci untuk meningkatkan daya saing ekonomi nasional.KPK secara langsung maupun tidak langsung berjasa untuk mengubah citra Indonesia yang negatif. Oleh karena itu, jika SBY memiliki komitmen dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, seharusnya hal itu juga didukung oleh komitmen dalam memberantas korupsi.

Kini,semua bola panas yang menghantam KPK menggelinding ke Istana Negara. Sikap kenegarawanan seorang SBY tengah diuji menjelang pelantikannya sebagai Presiden untuk periode kedua. Nasib KPK ke depan berada dalam genggamannya.(*)

Oleh: Adnan Topan Husodo

Tulisan disalin dari Koran Seputar Indonesia, Kamis, 17 September 2009

Tuesday, September 15, 2009

Rezim Kerahasiaan Birokrasi

Kita sudah sepakat bahwa negara ini dikelola dengan cara-cara demokratis. Prinsip dari demokrasi sebagai sistem yang mengatur tata kelola negara adalah partisipasi yang luas dari publik untuk terlibat dalam setiap proses pengambilan kebijakan. Demikian halnya, konsep partisipasi juga berarti adanya mekanisme pengawasan publik atas penyelenggaraan negara.

Oleh karenanya, jaminan berfungsinya partisipasi yang efektif adalah transparansi. Dengan menerapkan prinsip transparansi, publik memiliki hak untuk mengakses segala macam informasi menyangkut kebijakan publik. Dokumen anggaran negara, laporan pertanggungjawaban pejabat publik, kontrak kerja antara pemerintah dengan swasta dan berbagai jenis informasi lainnya seharusnya dapat diakses dengan mudah untuk menjalankan fungsi pengawasan publik. Pada konteks ini, lahirnya UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menandai lahirnya komitmen besar negara untuk lebih terbuka terhadap warganya.

Akan tetapi, situasi politik seringkali tidak mendukung langkah perubahan. UU KIP yang seyogyanya berlaku efektif pada tahun 2010 terancam mandul seiring dengan dibahasnya RUU Rahasia Negara oleh DPR dan Pemerintah. Kontra wacana keterbukaan informasi publik dalam RUU Rahasia Negara telah menghadirkan sebuah ancaman terhadap hidup dan tumbuhnya konsep partisipasi dan transparansi publik. Apalagi jika materi RUU Rahasia Negara menegasikan aturan mendasar dari UU KIP.

Kerahasiaan dalam bingkai KIP


Gerak cepat Komisi I DPR RI yang intens mengadakan rapat dalam rangka membahas RUU Rahasia Negara menyisakan tanda tanya besar. Komitmen politik dalam membuka akses publik yang sebelumnya melekat pada UU KIP kini nyaris tak jelas wujudnya oleh karena semangat DPR-Pemerintah untuk menyelesaikan RUU Rahasia Negara menjadi UU.

Pembahasan RUU Rahasia Negara tentu patut kita sayangkan karena secara substansial, kita baru akan menuju tahap awal era keterbukaan informasi publik. Terkesan, DPR hanya ingin mencapai target program legislasi nasional (Prolegnas) tanpa memperhitungkan aspirasi publik atas penolakan UU Rahasia Negara dan implikasi lahirnya UU Rahasia Negara terhadap kebebasan publik untuk mendapatkan informasi.

Paling tidak tersisa beberapa masalah esensial yang terus menjadi perdebatan publik hingga saat ini. Masalah itu antara lain signifikansi UU Rahasia Negara dalam bingkai kebebasan informasi publik. Sebenarnya konsep rahasia negara bukan sesuatu yang ditolak mentah-mentah oleh kalangan masyarakat sipil yang memperjuangkan demokratisasi. Pentingnya mengamankan informasi strategis negara ataupun informasi penting lainnya yang harus dirahasiakan merupakan suatu hal yang tidak keliru.

Akan tetapi dalam kerangka demokrasi, semestinya hal-hal yang diklasifikasikan rahasia oleh negara karena nilai strategisnya masuk dalam pengertian informasi yang dikecualikan. Bukan kemudian diatur sendiri dalam sebuah UU yang tegas-tegas memunculkan rezim kerahasiaan baru. Sebenarnya dalam UU KIP, nomenklatur pengecualian telah diatur, yakni pasal yang mengatur tentang pembatasan informasi yang bisa diakses oleh publik demi kepentingan negara.

Kerahasiaan Siapa?

Dalam rangka mengefektifkan agenda pemberantasan korupsi, Indonesia bersama-sama masyarakat internasional turut mengambil peran aktif dengan meratifikasi United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Sebagai strategi nasional, pada awal pemerintahan SBY-Kalla, telah lahir pula kebijakan Inpres No 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi yang didalamnya sangat menekankan pentingnya nilai transparansi. Bahkan secara konkret, Inpres No 5 Tahun 2004 memberikan kewajiban bagi aparat negara untuk mempercepat pemberian informasi kepada publik atas hal yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi.

Jika RUU Rahasia Negara dipaksakan lahir hanya untuk mengakomodasi kepentingan pihak tertentu saja, dampak terburuknya adalah mandegnya agenda reformasi birokrasi yang dicanangkan pemerintah, sekaligus berarti terhambatnya agenda pemberantasan korupsi nasional. Sebagaimana kita tahu, masalah terbesar dari maraknya korupsi di Indonesia adalah karena budaya aparatur negara yang sangat tertutup. Lahirnya UU KIP bertujuan merombak sifat birokrasi yang penuh dengan rahasia. Oleh karena itu, keberadaan UU Rahasia Negara akan dijadikan alat legitimasi bagi birokrasi negara untuk menutup akses informasi kepada publik. Ini artinya eksistensi UU KIP kemungkinan besar akan kehilangan ruhnya.

Kontraproduktif

Jika kita coba cermati lebih dalam beberapa materi yang ada dalam RUU Rahasia Negara, akan ditemukan beberapa poin krusial yang potensial menjadi kontraproduktif dengan agenda pemberantasan korupsi. Karena untuk hal-hal yang elementer sekalipun seperti laporan pembelanjaan dan alokasi anggaran negara, hal ini telah dikategorikan sebagai informasi yang dirahasikan.

Menurut analisis ICW, setidaknya terdapat 12 pasal krusial yang kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi. Salah satu hal yang punya implikasi serius terhadap upaya pemberantasan korupsi adalah pengaturan mengenai rahasia negara dalam konteks pengadaan di instansi militer/Departemen Pertahanan.

Seperti kita tahu, sebenarnya tanpa diatur dalam UU Rahasia Negara, praktek pengadaan yang terjadi di instansi militer sangatlah tertutup. Tak heran jika indikasi terjadinya skandal korupsi dalam proyek pengadaan alutsista semisal kasus helikopter MI-17, Tank Scorpion dan lain sebagainya kerap muncul. Akan tetapi pengusutan korupsi dalam proyek-proyek yang berkaitan langsung dengan alutsista sering menemui jalan buntu karena tembok kerahasiaan di tubuh militer. Jika kondisi yang demikian diperkokoh dengan UU Rahasia Negara, kita tidak memiliki celah sedikitpun untuk mengontrol penggunaan anggaran negara di instansi militer, maupun di instansi pemerintah lainnya.

Demikian halnya, karena setiap informasi yang diklasifikasikan rahasia negara dalam RUU Rahasia Negara tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan, berbagai macam kasus korupsi yang berkaitan dengan hal itu dipastikan akan macet penanganannya. Bagaimana mungkin penyidik akan meneruskan kasus korupsi di Pengadilan jika dokumen atau informasi yang dimiliki tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan.

Kerangka Rahasia Negara yang demikian juga berarti adanya pemberian kekebalan/impunitas bagi penyelenggara negara terhadap proses hukum. Jika budaya korupsi yang masih kuat ditopang dengan regulasi khusus yang mengatur kerahasiaan, maka RUU Rahasia Negara hanya akan memperkuat sistem kerahasiaan birokrasi (bureaucratic secrecy) yang akhirnya akan melembagakan korupsi dalam struktur pemerintahan. ***

Oleh: Adnan Topan Husodo

Tulisan disalin dari harian Jakarta, 4 September 2009

Saturday, September 12, 2009

Menjaga Integritas KPK

Jika kepemimpinan KPK harus diisi oleh orang-orang yang memiliki sifat setengah malaikat, hal ini bisa dibilang tidak berlebihan. Secara objektif, tidak terlalu sulit mencari karakter semacam ini, sepanjang kesempatan luas diberikan kepada mereka yang memilikinya.
KPK memang membutuhkan kualifikasi orang yang berintegritas tinggi, absen dari cacat latar belakang, dan memiliki komitmen besar untuk memberantas korupsi. Sedikit saja kita keliru menentukan siapa yang duduk di tampuk kekuasaan KPK, daya rusaknya bukan hanya akan menghancurkan kepercayaan publik terhadap institusi ini, melainkan juga melunturkan semangat dalam melawan korupsi.

Sebagaimana kita ketahui, KPK adalah lembaga penegak hukum yang memiliki wewenang besar. Sebagai institusi independen yang bersifat 'superbody', KPK berdasarkan mandat UU bisa melakukan penyadapan, mengambil-alih kasus korupsi dari penegak hukum lain, memeriksa pejabat negara tanpa melalui mekanisme izin pemeriksaan presiden, tidak boleh menghentikan proses penyidikan, dan sederet otoritas lainnya yang prestisius, sekaligus rentan dengan penyimpangan.

Perilaku Ajun Komisaris Polisi (AKP) Suparman, mantan penyidik KPK yang diproses secara hukum karena melakukan pemerasan dalam penanganan kasus korupsi adalah contoh kecil dari rawannya penyimpangan wewenang, yang diberikan kepada KPK. Oleh karena itu, kekuasaan KPK yang besar juga harus diimbangi dengan kontrol yang ketat, baik dalam konteks internal maupun eksternal. Masalahnya, di tengah kekuasaan yang besar itu, muncul laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan mantan pimpinan KPK, Antasari Azhar. Tidak tanggung-tanggung, dalam laporan ICW kepada KPK, paling tidak Antasari diduga kuat telah melakukan 17 pelanggaran kode etik.

Dengan jumlah dugaan pelanggaran sebesar itu, kita tentu dapat menduga bahwa ada yang tidak beres dari sisi mekanisme check and balances di internal KPK. Semestinya jika sistem kontrol internal berjalan baik, satu kali saja pelanggaran dilakukan pimpinan KPK, secara otomatis hal itu langsung bisa dideteksi dengan cepat.

Pengawas internal KPK
Pertanyaan yang bisa diajukan adalah, mengapa sejak awal Pengawas Internal (PI) KPK tidak dapat mendeteksi adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh ketuanya? Pertanyaan lainnya, mengapa pimpinan KPK yang lain juga tidak mengetahui hal itu, padahal konsep kepemimpinan KPK adalah kolektif-kolegial?

Untuk pertanyaan pertama, hipotesis yang bisa diajukan adalah bahwa PI KPK memang tidak dapat menyentuh pimpinan KPK sebagai bagian dari domain pengawasan mereka. Artinya, PI KPK hanya memiliki wewenang untuk beroperasi dan memiliki cakupan objek pengawasan pada level pegawai KPK saja. Jika benar demikian adanya, tentu kondisi ini sangat memungkinkan pimpinan KPK melakukan penyimpangan tanpa dapat dideteksi oleh mekanisme pengawasan internal.

Sebenarnya, desain pengawasan yang hanya bersandar pada mekanisme internal memang tidak pernah cukup. Seberapa pun kuat dan ketat mekanisme kontrol internal dibuat, pada kenyataannya, sulit untuk menyentuh pucuk pimpinan lembaga. Kritik KPK terhadap kinerja lembaga pengawas internal pemerintah adalah bukti konkretnya. Meskipun hal ini sebenarnya logis karena dari sisi hierarki, pengawas internal berada di bawah kendali pimpinan lembaga.

Demikian halnya di KPK, PI KPK menjalankan tugasnya atas mandat pimpinan KPK. Jika wewenang untuk mengontrol pimpinan KPK tidak diberikan, secara otomatis PI KPK hanya bertugas mengawasi kode etik pegawai KPK. Demikian pula, tampaknya mekanisme kontrol yang seharusnya dibangun antarpimpinan KPK tidak berjalan dengan baik. Adalah preseden buruk ketika ketua KPK dianggap memiliki wewenang dan posisi yang lebih tinggi dibandingkan pimpinan KPK yang lain. Sebagaimana telah disampaikan, konsep kepemimpinan KPK adalah kolektif-kolegial. Hal ini berarti antara satu pimpinan dan yang lain tidak ada yang lebih tinggi atau dominan.

Jika dalam praktiknya ternyata ketua KPK lebih dominan sehingga mudah melakukan pelanggaran kode etik, tentu masalahnya harus dilihat pada karakter masing-masing pimpinan KPK. Pada soal ini, lagi-lagi jalanÿ20keluarnya adalah pentingnya menekankan pada kualifikasi pimpinan KPK, yang tegas dan berani mengambil risiko untuk berbenturan dengan pimpinan KPK yang lain jika terjadi kekisruhan internal, apalagi jika masalahnya sudah dalam bentuk pelanggaran kode etik.

Komite Etik
Dengan modal kewenangan yang besar, KPK tidak dapat mengandalkan mekanisme pengawasan internal dan konsep kepemimpinan kolektif-kolegial. Faktanya, dua instrumen di atas gagal mengantisipasi terjadinya pelanggaran kode etik oleh ketua KPK. Padahal, bocornya kontrol internal merupakan gejala buruk bagi integritas KPK secara keseluruhan.
Oleh karena itu, kekuasaan di KPK harus dikendalikan melalui mekanisme yang lebih transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi publik luas. Jika selama ini publik hanya diposisikan sebagai pelapor kasus korupsi oleh KPK, sudah saatnya publik dirangkul untuk menjadi bagian dari sistem pengawasan KPK.

Caranya, dengan membentuk Komite Etik yang bersifat permanen, tidak ad hoc sebagaimana dalam konteks sekarang. Jika saat ini Komite Etik dapat dibentuk sewaktu-waktu kalau dibutuhkan oleh pimpinan KPK untuk menyelidikan terjadinya pelanggaran kode etik, Komite Etik ke depan harus diposisikan sebagai representasi publik untuk menjalankan peran pengawasan terhadap KPK.

Karena merupakan perwakilan masyarakat, tentu saja komposisi Komite Etik dimaksud harus mencerminkan keterwakilan publik di dalamnya. Supaya peran pengawasan yang dilakukan Komite Etik berjalan efektif, unsur KPK harus dibuat minoritas. Artinya, pihak KPK yang duduk dalam Komite Etik tidak boleh sama atau melebihi jumlah anggota Komite Etik dari kalangan masyarakat.

KPK dapat memiliki tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai latar belakang, seperti LSM, ormas, akademisi, jurnalis, peneliti, dan sebagainya melalui sebuah proses seleksi yang ketat. Hal ini untuk menjaga supaya anggota Komite Etik benar-benar memiliki kualitas yang prima serta integritas yang memadai untuk mengawal KPK.

Dengan adanya Komite Etik, diharapkan perilaku menyimpang dan kejadian yang dapat merusak citra dan integritas KPK dapat dihindari. Bukan hanya itu, Komite Etik akan mendekatkan komunikasi KPK dengan publik luas, termasuk untuk mendesain strategi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Oleh: Adnan Topan Husodo

Tulisan disalin dari Republika, Sabtu, 12 September 2009

Friday, September 04, 2009

Pengganti Antasari Azhar

Posisi Antasari Azhar (AA) sebagai Ketua KPK sudah bisa dipastikan melayang karena statusnya sebagai terdakwa. Sesuai dengan UU KPK No 30 Tahun 2002, dalam Pasal 32 ayat 1 huruf (3) dinyatakan bahwa pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan jika menjadi terdakwa karena melakukan tindak kejahatan.

Setelah pimpinan KPK berhenti permanen, mekanisme pengganti sesuai dengan prosedur Pasal 29, 30, dan 31 UU KPK adalah dengan seleksi dua tahap. Tahapan pertama, Presiden membentuk panitia seleksi yang tugasnya menjaring calon pimpinan KPK. Tahap kedua, Presiden, berdasarkan hasil seleksi panitia seleksi, menyerahkan daftar calon pimpinan KPK kepada DPR untuk dipilih.

Wacana untuk secepatnya mengganti AA paling tidak terbagi pada tiga perdebatan. Pertama, pengganti AA haruslah calon yang berasal dari unsur Kejaksaan Agung karena AA berlatar belakang jaksa. Wacana ini disorongkan oleh Kejaksaan Agung yang kini sudah mempersiapkan dua orang pengganti AA dari unsur jaksa. Kedua, yang diganti bukan hanya AA, melainkan semua pimpinan KPK.

Gagasan ini dikemukakan oleh kalangan DPR.Ketiga, Presiden tidak perlu menyerahkan daftar calon pengganti AA karena Pimpinan KPK yang sekarang sudah cukup memadai untuk menjalankan kerja-kerja pemberantasan korupsi.Ide ini diwacanakan oleh kelompok masyarakat sipil.

Haruskah Unsur Kejaksaan?


Sebenarnya, dalam UU KPK tidak pernah disebutkan secara eksplisit bahwa unsur pimpinan KPK salah satunya harus berasal dari kejaksaan. Pasalnya, desain UU hanya mengatur bahwa calon pimpinan KPK merupakan representasi dari individu-individu yang memiliki kemampuan untuk menjadi pimpinan KPK, bukan representasi kelembagaan penegak hukum atau representasi aparat penegak hukum.

Faktanya, pada seleksi calon pimpinan KPK jilid II, AA dan calon pimpinan KPK lainnya yang kebetulan dari unsur jaksa mendaftarkan diri atas nama pribadi,tidak disodorkan oleh Kejaksaan Agung. Bahwa kemudian berkembang wacana bahwa unsur kejaksaan–– bersama dengan unsur kepolisian–– arus masuk sebagai salah satu pimpinan KPK, ini semata-mata tafsir bebas dari anggota panitia seleksi calon pimpinan KPK.

Argumentasinya sederhana, jaksa mengetahui masalah teknis penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi sehingga salah satu pimpinan KPK harus ada yang berasal dari unsur kejaksaan. Pada titik ini, ada masalah paradoksal yang sangat mengganggu. KPK sebagai lembaga penegak hukum korupsi memiliki tugas utama untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.

Dengan demikian, asumsi awal diktum ini dibuat menegaskan satu hal bahwa aparat penegak hukum konvensional seperti jaksa dan polisi korup merupakan bagian penting dari persoalan yang harus dibereskan KPK. Oleh karena itu, sangat tidak mungkin KPK dapat memberantas korupsi di tubuh penegak hukum lain jika salah satu unsur pimpinannya berasal dari lembaga yang dikenal subur dengan korupsinya.

Catatan kinerja KPK telah menunjukkan dengan tegas bahwa masuknya unsur jaksa dalam pimpinan KPK justru menjadi penghambat usaha pembersihan yang serius lembaga penegak hukum lain dari penyakit korupsi. Memang benar bahwa KPK telah berhasil menangkap Urip Tri Gunawan (UTG),seorang jaksa di Kejaksaan Agung dalam kasus suap.

Akan tetapi ketika kasus itu hendak dikembangkan kemungkinannya lebih jauh akan keterlibatan pihak-pihak lain yang lebih besar kekuasaannya di Kejaksaan Agung, KPK menghadapi kesulitan yang serius.Padahal, pada saat itu, nama-nama petinggi Kejaksaan Agung sudah muncul satu per satu.Akan tetapi nyatanya, proses hukum tidak pernah menyentuh mereka.

Beberapa di antaranya kemudian hanya diberi sanksi administrasi,yakni dimutasi. Paradoks lain adalah bahwa figur pimpinan KPK haruslah benar-benar terjamin integritasnya. Sosok AA yang dipilih DPR sebagai Ketua KPK sejak awal diketahui catat rekam jejak.Penelusuran ICW dan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menyimpulkan bahwa AA tak layak sama sekali menjadi Ketua KPK karena integritasnya yang meragukan.

Pendek kata, dalam situasi seperti sekarang, sulit sekali mendapatkan jaksa yang benar-benar bersih sehingga layak menjadi calon pimpinan KPK. Sangat mungkin jika dua nama yang sudah disiapkan Kejaksaan Agung memiliki masalah yang tidak jauh berbeda dengan AA.

Ambisi DPR

Di satu sisi Kejaksaan Agung tampaknya memiliki ambisi untuk “mengendalikan” KPK,di sisi lain secara politik DPR juga memiliki hasrat besar untuk tetap mengontrol KPK. Pascalengsernya AA sebagai Ketua KPK, suhu politik di DPR memanas karena mereka seakan- akan kehilangan kendali sepenuhnya terhadap KPK.Sebagaimana diketahui, AA merupakan anak emas DPR.

Sementara itu, KPK pasca-AA terus membongkar kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan anggota DPR. Resistensi DPR terhadap KPK diperlihatkan dalam banyak hal, salah satunya mendorong wacana agar seluruh pimpinan KPK diganti. Gagasan di atas secara yuridis sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Dalam UU KPK, tidak ada satu pasal pun yang mengatur bahwa jika salah satu pimpinan KPK bermasalah, seluruhnya harus menanggung akibat. Hantam kromo ala DPR bisa jadi dilatarbelakangi motif untuk kembali mengendalikan KPK. Tujuannya cukup jelas, supaya sepak terjang KPK dalam memberantas korupsi memiliki batas-batas toleransi yang jelas. Mana kasus korupsi yang boleh ditangani dan mana yang menjadi wilayah terlarang KPK.

Jika kita kembali pada mekanisme UU KPK,untuk mencari pengganti AA dibutuhkan waktu yang cukup panjang.Akan tetapi ini lebih baik karena berarti DPR yang sekarang tidak dapat menentukan siapa pengganti AA. Karena andai DPR yang saat ini masa tugasnya tersisa kurang lebih 1 bulan diberi otoritas kembali untuk menentukan pengganti AA,sangat mungkin kita akan mengulangi kesalahan.

Meskipun mekanisme seleksi pimpinan KPK oleh DPR merupakan sesuatu yang ideal dari kaca mata sistem checks and balances, dalam kondisi di mana DPR merupakan lembaga yang paling korup, memberikan kewenangan kepada mereka untuk memilih pimpinan KPK sama artinya dengan memberikan senjata kepada orang yang tidak tepat.

Sekeras apa pun warning dan protes dari kelompok antikorupsi agar DPR tidak memilih AA faktanya tidak digubris sama sekali. Kini ketika kondisinya semakin membuktikan betapa salahnya DPR menetapkan AA sebagai Ketua KPK, mereka tidak mau bertanggung jawab sama sekali.

Mungkin memang Presiden perlu mengabaikan tuntutan DPR periode sekarang supaya segera mencari pengganti AA.Akan lebih baik jika DPR periode mendatang yang meneruskan tugas untuk memilih calon pimpinan KPK baru. Paling tidak, DPR baru belum tercemari oleh masalah korupsi. Kita berharap DPR terpilih akan memilih calon-calon pimpinan KPK yang cakap sehingga tugas memberantas korupsi akan lebih mudah dilaksanakan.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator
Indonesia Corruption Watch (ICW)


Tulisan disalin dari Seputar Indonesia, 5 September 2009