Tuesday, December 20, 2005

Dilema Whistle Blower

Ironis. Khairiansyah, mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menjadi tokoh sentral atas terbongkarnya dugaan skandal suap di KPU saat ini menghadapi masalah pelik. Peranan vitalnya dalam memberikan informasi bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berujung pada penangkapan beberapa anggota KPU tidak pararel dengan nasib dirinya. Kini ia menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi Dana Abadi Umat (DAU).

Memang dalam prinsip hukum, semua orang harus diperlakukan sama. Suatu kesalahan atau kejahatan tidak akan serta merta terhapus karena jasa yang pernah dilakukan pada masa atau peristiwa yang lain. Sanksi hukum berlaku pada setiap perbuatan yang masuk kategori pidana tanpa terkecuali. Namun prinsip tidak pandang bulu juga mensyaratkan penerapan pada semua kondisi.

Ketika pada tindak kejahatan yang sama ada perlakuan hukum yang berbeda terhadap para pelakunya, sulit untuk tidak mengatakan adanya diskriminasi hukum. Dalam kasus DAU, Khariansyah dapat dikatakan mendapat perlakuan diskriminatif oleh aparat penegak hukum. Pasalnya, beberapa orang yang berlatar politisi maupun tokoh masyarakat yang telah menerima DAU hingga kini tidak dijadikan tersangka oleh kejaksaan.

Seharusnya dalam situasi dimana pemberantasan korupsi sangat mengandalkan adanya kemauan dari para saksi/pelapor untuk memberikan informasi dan keterangan yang memudahkan terbongkarnya sebuah perkara, prioritas penanganan kasus tidak diarahkan pada para pelapor atau saksi yang kebetulan menjadi pelaku tindak pidana korupsi. Melainkan kepada aktor-aktor kunci yang biasanya menduduki pos-pos penting dalam jabatan publik. Karena by nature, korupsi merupakan praktek penyimpangan kekuasaan yang terjadi dilevel atas dan merembes ke tingkat bawah. Korupsi tidak bisa terjadi sebaliknya, dari tingkat bawah ke level atas.

Namun nyatanya cerita tentang Khairiansyah adalah drama klasik yang juga pernah diperankan oleh Endin Wahyudin, Romo Frans Amanue, Hidayat Monoarfa, Hidayatullah, Sainah, Leonita dan sederet nama lainnya dengan cerita penutup masing-masing -yang sebagian besarnya tragis. Diluar Khairiansyah, keenam nama terakhir itu merupakan bagian dari saksi dan pelapor yang harus menghadapi proses hukum karena laporan dan kesaksian mereka. Endin Wahyudin berujung pada vonis bersalah telah melakukan pencemaran nama baik. Romo Frans Amanue lebih beruntung karena berkas putusan pengadilan yang menghukumnya atas pencemaran nama baik musnah terbakar saat kantor Pengadilan Negeri Larantuka, Kabupaten Flores Timur dibakar massa.

Sementara itu, Hidayat Monoarfa harus menghadapi masa-masa koma karena pemukulan orang tak dikenal saat akan menjadi saksi korupsi DPRD di Sulawesi Tengah. Hidayatullah, salah seorang pelapor dugaan korupsi Kepala Daerah di Kabupaten Muna dan Propinsi Sulawesi Tenggara harus menerima kenyataan rumahnya dibom oleh orang tak dikenal sebanyak dua kali.

Tragisnya, cerita diatas terjadi pada saat rezim korup Orde Baru sudah tumbang. Rentang peristiwa antara satu kasus yang dihadapi saksi pelapor dengan kasus lainnya justru terjadi pada periode Orde Reformasi, dimana harapan dan cita-cita pemberantasan korupsi itu diletakan. Lantas, apa sebenarnya yang membedakan antara Orde Baru yang sudah lama dengan Orde Baru yang reformis? Seharusnya ada batas dan garis yang tegas diantara keduanya. Penumbangan sebuah rezim seharusnya pararel dengan penumbangan struktur, budaya dan cara berpikir yang kolot, otoriter dan korup.

Melawan Teror

Satu hal pasti yang diharapkan dari teror terhadap saksi/pelapor adalah ketakutan dan kematian atas kejujuran dan hati nurani mereka. Oleh karena itu, pihak yang berkepentingan akan selalu menyebarkan rasa ketakutan melalui berbagai cara. Baik melalui tuntutan hukum, kekerasan fisik, teror psikis maupun teror yang tak kalah gawatnya, dengan uang. Saksi pelapor yang bungkam merupakan hasil yang diharapkan. Sebaliknya, saksi pelapor yang mau bicara adalah petaka bagi mereka. Karena saksi pelapor yang bicara sama artinya dengan terbongkarnya setengah kebenaran dari adanya peristiwa, skandal atau kasus.

Untuk menghadapi teror semacam itu, barangkali kita harus belajar dari Sainah. Ia adalah saksi utama kasus Tommy Soeharto yang atas keberanian dan kejujurannya, anak mantan orang nomor satu di Indonesia itu harus terbang ke Nusakambangan untuk menjalani hukuman pidana karena kepemilikan senjata api tanpa ijin. Padahal dalam persidangan, Tommy Soeharto sempat menyebar ancaman.

Sainah bukanlah siapa-siapa. Ia hanyalah pembantu rumah tangga yang sehari-hari bekerja untuk Hetty, pemilik Apartemen Cemara tempat dimana Tommy sering singgah. Barangkali Sainah secara material tidak memiliki kekayaan yang berlimpah. Namun ia adalah sedikit orang yang memiliki kekayaan yang sesungguhnya, yakni kejujuran dan keberanian. Tanpa dibekali oleh pengetahuan yang cukup atas hukum dan perlindungan yang pasti dari negara, Sainah dengan lugas mengungkap semua apa yang dilihat dan diketahuinya di pengadilan.

Sesungguhnya, masih banyak Sainah-Sainah yang lain. Akan tetapi terlalu sedikit orang yang seberani dirinya. Kita tentu tidak menyalahkan mereka. Para saksi dan pelapor tetap memiliki hak untuk hidup aman dan nyaman. Setiap orang tidak akan mau melewati hidup sehari-hari dengan ketidakpastian, ancaman dan intimidasi karena melaporkan atau menjadi saksi atas sebuah perkara pidana. Sungguh sebuah periode yang mengherankan dimana orang yang ingin berbuat jujur dan mau mengungkapkan peristiwa kejahatan harus menghadapi saat-saat tersulit dalam hidup mereka.

Oleh karena itu, tidak mungkin tidak untuk membongkar sebuah skandal kejahatan, kita membutuhkan payung hukum bagi mereka yang menjadi saksi, pelapor maupun korban. Kita harus sadar dan yakin bahwa setiap informasi dan keterangan dari orang yang menyaksikan, melihat dan mengetahui secara langsung sebuah peristiwa kejahatan sangatlah dibutuhkan untuk mengungkapkan peristiwa sebenarnya.

Akan tetapi, kita juga harus menjamin bahwa apa yang disampaikan saksi pelapor tidak akan berimplikasi buruk atas masa depan dan nasib mereka. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban dari negara untuk memberikan perlindungan hukum atas mereka melalui UU Perlindungan Saksi Pelapor. Lahirnya UU perlindungan Saksi Pelapor merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar kejahatan yang sistematis, terorganisir, melibatkan orang kuat yang selama ini menjadi hambatan bagi perubahan di berbagai sektor dapat dibongkar.

Jika memang Pemerintah SBY dan DPR memiliki komitmen politik yang kuat untuk melindungi dan menjamin peran serta warga masyarakat dalam memberantas kejahatan (korupsi), tidak ada lagi cara lain kecuali dengan memberikan perlindungan hukum atas mereka yang menjadi saksi dan pelapor. Percayalah, lahirnya UU Perlindungan Saksi Pelapor akan mempercepat dan memudahkan pembongkaran sebuah skandal kejahatan yang seringkali ditutup-tutupi karena melibatkan orang kuat dibelakangnya.

****