Thursday, December 29, 2005

Pentingnya Ratifikasi Konvensi Antikorupsi

Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 9 Desember 2005 seluruh dunia memperingati Hari Pemberantasan Korupsi. Tanggal tersebut dipilih karena pada tanggal 9 Desember 2003 atau dua tahun yang lalu tepatnya di Merida, Meksiko, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengesahkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Korupsi (United Nation Convenstion Against Coruption) atau disingkat dengan Konvensi Antikorupsi. Kurang lebih 137 negara turut ambil bagian untuk menandatangani konvensi tersebut, termasuk Indonesia.

Kehadiran konvensi antikorupsi menandai sebuah momentum penting diakuinya praktek korupsi sebagai kejahatan global (transnasional). Oleh karenanya, cara memberantas dan mencegah korupsi membutuhkan dukungan yang saling menguntungkan antara satu negara dengan negara yang lain. Kejahatan korupsi bukan lagi urusan domestik negara yang bersangkutan, akan tetapi menjadi persoalan global yang harus ditangani dalam semangat kebersamaan.

Tanpa adanya sikap saling mempercayai dan memberikan dukungan dalam memberantas korupsi, kejahatan yang telah merusak sendi-sendi ekonomi, sosial dan politik ini akan selalu menghantui hubungan antar negara, baik dalam konteks politik maupun ekonomi. Ketidakpercayaan para pebisnis asing terhadap iklim usaha di Indonesia yang dinilai sarat ekonomi biaya tinggi misalnya cukup memberikan bukti bahwa korupsi berdampak pada hubungan ekonomi yang merugikan.

Keengganan Singapura untuk memberikan informasi terhadap para koruptor Indonesia yang kabur ke negara tersebut telah memanaskan hubungan diplomasi yang selama ini terbangun dengan baik. Pendek kata, pemberantasan korupsi tidak akan efektif jika tidak ada dukungan internasional untuk memberantasnya. Para koruptor bisa menyimpan hasil jarahannya di negara lain, secara fisik koruptor juga dapat hidup nyaman di negara lain. Oleh karenanya, konvensi anti korupsi lahir sebagai bentuk keperdulian global terhadap dampak korupsi yang kian mengkhawatirkan.

Semangat global untuk memerangi korupsi sejatinya sudah muncul sebelum lahirnya konvensi antikorupsi PBB. Pada 29 Maret 1996, konvensi antikorupsi antarnegara Amerika (The Organization of American States) atau disingkat OAS ditandatangani di Caracas, Venezuela. Konvensi ini ditandatangani 23 dari 35 negara anggota OAS. Kini, konvensi ini pun diberlakukan di Bolivia, Costa Rica, Ecuador, Mexico, Paraguay, Peru, dan Venezuela yang kemudian ikut meratifikasinya.

Di samping menandatangani konvensi, pada pertemuan di Lima, Peru, Juni 1997, Majelis Umum OAS pun telah mengesahkan Plan Against Corruption. Dengan rencana ini, OAS memberikan dukungan pada negara-negara anggotanya. OAS pun bekerjasama dengan penduduk setempat dan organisasi internasional lainnya --termasuk Bank Dunia, Inter-American Development Bank, dan OECD-- dalam mencegah dan mengontrol korupsi.
Butir-butir semangat pemberantasan korupsi sebagaimana tercantum dalam Konvensi Antikorupsi PBB pada prinsipnya mengatur beberapa hal penting yang harus dipatuhi para peserta. Pertama, para peserta konvensi harus menerapkan peraturan nasional mendasar tentang pencegahan korupsi dengan membangun, menerapkan, memelihara efektifitas, dan mengkoordinasikan kebijakan antikorupsi yang melibatkan partisipasi masyarakat, dan peraturan nasional yang mampu menjamin penegakkan hukum, pengelolaan urusan dan sarana publik yang baik, ditegakkannya integritas, transparansi dan akuntabilitas di sektor publik. Kedua, membangun badan independen yang bertugas menjalankan dan mengawasi kebijakan antikorupsi yang diadopsi oleh Konvensi Antikorupsi.

Ketiga, melakukan perbaikan dalam sistim birokrasi dan pemerintahan masing-masing yang menjamin terbangunnya sistim birokrasi dan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Keempat, setiap peserta wajib meningkatkan integritas, kejujuran dan tanggung jawab para pejabat publiknya, termasuk menerapkan suatu standar perilaku yang mengutamakan fungsi publik yang lurus, terhormat, dan berkinerja baik. Kelima, membentuk sistim pengadaan barang dan jasa pemerintah, manajemen keuangan publik, dan sistim pelaporan untuk tujuan transparansi, peran peradilan yang bersih dalam pemberantasan korupsi. Keenam, melakukan pencegahan korupsi di sektor swasta yang mengedepankan transparansi, sistim akunting dan pelaporan. Ketujuh, melaksanakan pelibatan masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Selanjutnya, negara peserta Konvensi Antikorupsi juga harus melakukan usaha pencegahan pencucian uang, menerapkan kriminalisasi dan penindakan korupsi termasuk pembekuan dan penyitaan harta hasil korupsi, memberikan perlindungan saksi, ahli dan korban, menerapkan sistim ganti rugi bagi korban korupsi, melaksanakan pembangunan kerja sama pemberantasan korupsi, termasuk dengan institusi-institusi keuangan, menerapkan sistim kerahasiaan bank yang tidak menghambat pemberantasan korupsi, mengatur yurisdiksi dalam penanganan perkara korupsi, melaksanakan kerja sama internasional memberantas korupsi termasuk hal-hal yang terkait dengan pemberian bantuan hukum dan teknis, ekstradisi, pengembalian aset (asset recovery), dan sebagainya.

Yang patut disayangkan, meskipun Indonesia sudah menandatangani Konvensi Antikorupsi PBB pada 18 Desember 2003, hingga kini Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut. Seharusnya sebagai negara yang paling parah dalam perihal korupsinya, Indonesia tidak perlu berpikir dua kali untuk tidak atau meratifikasinya. Karena dengan meratifikasi konvensi tersebut, ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan.

Pertama, Indonesia telah menunjukan komitmen dan keseriusan yang tinggi kepada masyarakat Internasional dalam memberantas korupsi. Sebagaimana kita ketahui, masyarakat Internasional (studi PERC 2005 dan TI 2005) selama ini masih menganggap Indonesia adalah negara terkorup sehingga tidak aman untuk dijadikan tempat berinvestasi yang menguntungkan.

Kedua, dengan meratifikasi konvensi tersebut, Indonesia dapat menerapkan standar internasional dalam memberantas korupsi, baik menyangkut legal framework dan strateginya. Jikapun ada usaha-usaha untuk memperdayai agenda pemberantasan korupsi dengan melumpuhkan berbagai peraturan antikorupsi, dunia Internasional dapat mendesak Indonesia untuk mengamandemennya sebagaimana pernah dilakukan pada UU Pencucian Uang.

Ketiga, Indonesia dapat mendesak dunia Internasional untuk melakukan kerjasama pemberantasan korupsi menyangkut isu-isu yang berkaitan dengan upaya ekstradisi koruptor, penerapan mutual legal assistance, asset recovery dan sebagainya. Meskipun ada usaha dari pemerintah melalui mekanisme komunikasi government to government sebagaimana sedang dilakukan kepada Singapura, Swiss, Cina dan Hongkong untuk mengembalikan harta negara yang dilarikan ke luar negeri, namun usaha tersebut tidak dalam kerangka payung hukum internasional sehingga efektifitasnya menjadi tidak bisa diandalkan. Dengan demikian, sesusungguhnya tidak ada alasan bagi Pemerintah Indonesia untuk tidak meratifikasi konvensi antikorupsi.