Thursday, December 29, 2005

Peran Strategis Masyarakat dalam Memberantas Korupsi

Tesis yang menyebutkan bahwa aktor utama korupsi adalah pemerintah dan pengusaha, sementara masyarakat adalah korbannya hingga saat ini belum dapat terbantahkan. Landasan faktualnya memberikan legitimasi bahwa kolaborasi antara pemerintah dengan pengusaha bukanlah sesuatu yang direkayasa, tapi nyata dan selalu tetap hidup dalam ruang yang bernama kekuasaan.

Hampir sebagian besar -jika tidak semua- kasus korupsi yang terungkap selalu menempatkan dua aktor itu sebagai biang keladi yang saling berkaitan. Entah relasinya berwujud simbiosis mutualisme ataupun parasit mutualisme. Yang terakhir ini perlu dipahami dalam konteks korupsi yang dimensinya adalah pemerasan, seperti yang sudah terungkap dalam kasus Probosutedjo.

Jikapun masyarakat kemudian terseret dalam arus kehidupan koruptif, hal itu semata-mata karena upaya terpaksa yang dilakukan untuk bisa memperoleh hak-haknya. Kebiasan untuk membayar lebih dari harga yang ditetapkan peraturan kepada petugas dalam pengurusan ijin seperti SIM, KTP, STNK dan lain sebagainya merupakan wujud dari ketidakberdayaan masyarakat untuk melawan sistem yang korup.

Untuk memperoleh Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 100 ribu/bulan, masyarakat yang sudah miskin terpaksa tunduk pada mekanisme penyunatan/pemotongan. Karena jika mereka tidak mengikuti, jangan berharap mereka dimasukan sebagai kelompok masyarakat miskin yang nantinya berhak memperoleh BLT. Celakanya, ketidakberdayaan masyarakat untuk melawan sistem koruptif itu harus dibayar mahal, yakni berkembang-biaknya sistem korupsi dalam kehidupan birokrasi (baca: pelayanan publik).

Dengan demikian, salah satu upaya yang sangat stategis untuk memberdayakan masyarakat dalam melawan korupsi adalah dengan memberikan mereka senjata untuk melawannya. Bahkan pada tingkat yang lebih maju, masyarakat tidak hanya dapat bertindak defensif dalam menghadapi sistem yang korup, tapi bisa secara ofensif berperan untuk memberantas korupsi.

Oleh karena itu, tidak seharusnya Pemerintah hanya mengandalkan aparat penegak hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi. Memberikan arena dan peran masyarakat yang lebih luas dalam memberantas korupsi sama artinya dengan meringankan beban pekerjaan berat yang dipanggul aparat penegak hukum. Karena nyatanya seringkali semangat, komitmen dan upaya yang serius dalam memberantas korupsi justru hanya muncul dari masyarakat sendiri.

Namun sayangnya berbagai kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan strategi pemberantasan korupsi belum mendukung adanya peran serta masyarakat yang lebih strategis. Padalah, paling tidak selama ini masyarakat –tanpa didukung dengan kebijakan Pemerintah yang menguntungkan- telah memainkan perannya dalam pemberantasan korupsi di berbagai gradasi.

Pertama, peran sebagai feeder atau penyuplai informasi. Tidak sulit untuk mengatakan bahwa selama ini masyarakat telah mengambil inisiatif untuk melaporkan, membeberkan dan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum terhadap kemungkinan terjadinya praktek korupsi. Meskipun juga tidak tepat untuk mengatakan bahwa BPK, BPKP, Inspektorat maupun aparat penegak hukum tidak punya kontribusi sama sekali dalam menyuplai atau mencari informasi atau data yang berhubungan dengan dugaan korupsi.

Data terakhir di KPK menyebutkan kurang lebih telah masuk sembilan ribu pengaduan masyarakat di seluruh Indonesia ke KPK. Meskipun setelah diteliti hanya sekitar seribuan kasus saja yang bisa dikategorikan korupsi, namun angka itu sudah cukup untuk dijadikan ukuran betapa harapan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi sangat tinggi.

Dalam situasi dimana masyarakat tidak memiliki peluang besar untuk mengakses informasi secara bebas di lembaga publik (pemerintah), laporan-laporan terjadinya kasus korupsi terus mengalir. Ini menandakan bahwa potensi masyarakat untuk menjadi aktor strategis dalam memberantas korupsi sangat besar. Dengan demikian mudah ditebak ketika kebebasan memperoleh informasi telah menjadi produk kebijakan yang memaksa semua pejabat publik untuk membuka akses informasinya kepada masyarakat, praktek korupsi pastinya akan dapat diminimalisir.

Kedua, peran sebagai trigger atau pemicu. Rendahnya inisiatif aparat penegak hukum dalam membongkar kasus-kasus korupsi telah melahirkan kekecewaan panjang dari masyarakat. Kebekuan ini kadangkala diterobos dengan memberikan informasi adanya dugaan korupsi kepada media massa supaya diketahui masyarakat luas. Strategi ini menjadi sangat penting untuk membentuk opini atau persepsi masyarakat bahwa di satu tempat diduga kuat terjadi praktek korupsi. Situasi ini diharapkan akan dapat memaksa aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan yang konkret. Meskipun diakui strategi tersebut mengandung resiko besar, misalnya dituntut dengan pencemaran nama baik, namun upaya itu tetap tidak bisa ditinggalkan.

Ketiga, peran sebagai controller (pengawas). Sudah bukan rahasia umum lagi jika laporan masyarakat tentang terjadinya kasus korupsi sering tidak ditanggapi dengan baik oleh aparat penegak hukum. Keluhan masyarakat bahwa informasi atau data yang mereka sampaikan hanya dijadikan sebagai alat oleh aparat penegak hukum untuk memeras juga tidak sedikit jumlahnya. Istilah di 86-kan kemudian menjadi populer sebagai bahan untuk menyindir aparat karena lamban atau setengah hati dalam mengusut sebuah laporan.

Dengan segala keterbatasan, masyarakat nyatanya tetap memiliki energi yang luar biasa untuk mengawal proses pengusutan kasus korupsi (case tracking) yang sedang dilakukan oleh aparat. Kegiatan unjuk rasa, dengar pendapat, diskusi publik, audiensi dan lain sebagainya merupakan sarana yang kerap digunakan kelompok masyarakat untuk mendorong percepatan penanganan korupsi. Memastikan bahwa pemberantasan korupsi berjalan sesuai dengan harapan merupakan langkah yang tidak mungkin diabaikan ditengah-tengah situasi aparat penegak hukum yang belum banyak berubah.

Apa yang dilakukan Kejati Nusa Tenggara Barat, Mohammad Ismail dengan mengajak kelompok masyarakat dalam setiap gelar perkara, khususnya kasus korupsi merupakan langkah maju yang seharusnya menjadi kebijakan penting di institusi Kejaksaan Agung. Apalagi, Kejati NTB telah memerintahkan semua Kejari di NTB untuk melaksanakan kebijakan yang sama (Koran Tempo, 21/12/05).

Pengakuan bahwa masyarakat dijadikan sebagai pihak dalam membongkar terjadinya praktek korupsi akan memberikan kontribusi yang signifikan untuk mempercepat proses penanganannya. Selain itu, peran masyarakat dalam mengawasi kinerja aparat penegak hukum juga telah diakomodasi, meskipun baru sebatas wilayah NTB saja. Oleh karenanya, kebijakan ini seharusnya menjadi bagian utuh dari komitmen Pemerintah dalam memberantas korupsi secara nasional.