Friday, January 06, 2006

KPK, Pendekar Tanpa Kawan?

Kesendirian menyelimuti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam usianya yang kedua. Perasaan tidak dibantu dan tidak didukung oleh institusi penegak hukum lainnya menjadi kesimpulan pimpinan KPK, sebagaimana telah diutarakan pada refleksi 2 tahun kelahiran KPK beberapa waktu lalu. Menurut pimpinan KPK, KPK itu dapat diibaratkan sebagai lilin. KPK tengah berusaha menyinari lingkungan yang gelap pekat dengan dirinya sendiri. Dan pada satu ketika, lilin itu akan redup karena melemahnya energi yang dipancarkan, dan perlahan-lahan mati karena kehilangan daya.

Situasi seperti diatas tentunya tidak kita inginkan. Oleh karenanya, dalam kondisi negara yang darurat korupsi, masyarakat yang haus akan keadilan tidak membutuhkan lilin. Lilin teramat kecil dan lemah untuk dijadikan alat penerang. Sebaliknya masyarakat membutuhkan matahari yang panasnya menyengat dan mampu membakar semak belukar korupsi yang telah menjalar ke berbagai sudut kehidupan. Jika KPK menganggap dirinya lilin, ini artinya KPK telah mengkerdilkan dirinya sendiri.

Barangkali para pengambil kebijakan di KPK perlu melihat kembali pada sejarah dibentuknya lembaga itu. Semangat dibentuknya KPK lebih disebabkan oleh faktor tidak berfungsinya instrumen hukum konvensional (kejaksaan dan kepolisian) dalam memerangi korupsi yang sudah sedemikian akut.

Tak dapat dipungkiri penanganan kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan dan kepolisian selama ini telah menjadi ajang korupsi baru sehingga muncul banyak SP3 tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Motif penanganan kasus korupsi tidak untuk memberantasnya, melainkan untuk mendapatkan keuntungan (personal gain) dari proses tersebut melalui pemerasan, suap-menyuap dan negosiasi. Dengan demikian, jika KPK menganggap bahwa selama dua tahun ini mereka kesepian, tidak ada kawan dalam memberantas korupsi, hal itu adalah konsekuensi yang logis –sekaligus wajar-.

Beruntung KPK masih didukung oleh masyarakat luas, sehingga rasa kesendirian tidak terlalu mencekam. Dukungan itu telah diperlihatkan dalam berbagai bentuk, mulai dari memberikan laporan kasus-kasus korupsi ke KPK, aksi turun ke jalan mendukung KPK hingga memberikan berbagai masukan yang sifatnya strategis maupun teknis dalam usaha memberantas korupsi. Kepercayaan masyarakat terhadap KPK perlu dipelihara, dipupuk dan dijaga agar dapat menjadi sebuah kekuatan baru dalam melawan rezim korupsi.

Namun demikian, kritik dan keluhan masyarakat atas kinerja KPK juga menjadi bagian yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Yang saat ini dibutuhkan oleh masyarakat adalah tampilnya KPK dalam performa yang maksimal sehingga mampu mencairkan kebekuan usaha memberantas korupsi yang hampir membatu. Dengan bermodal wewenang dan kekuasaan yang besar, seharusnya KPK bisa menunjukan kinerjanya melebihi apa yang sudah dilakukan saat ini. Terlepas dari keberhasilan KPK melakukan beberapa gebrakan, harus diakui bahwa KPK memiliki beberapa kelemahan mendasar yang perlu diperbaiki.

Pertama, lemahnya peranan KPK sebagai agenda setter dalam memberantas korupsi. Hal pertama ini bisa diterjemahkan sebagai sebuah situasi dimana KPK belum memiliki agenda yang jelas, terarah dan strategis dalam mendorong pemberantasan korupsi. Penanganan kasus korupsi Gubernur Aceh, Harun Let-Let, anggota KPU dan yang terbaru Theo Toemion menunjukan pola yang acak dan lepas kaitan antara satu dan lainnya. Belum lagi jika bicara dimensi pengaruh atau dampak yang ditimbulkan dari pilihan-pilihan terhadap sasaran tembak tersebut.

Benar bahwa KPK membutuhkan cerita sukses dalam memberantas korupsi sebagaimana telah ditunjukan pada kasus Puteh dan Harun Let-Let. Tapi cerita sukses selalu dimulai dari pembuatan skenario yang serius, terarah dan runtun sehingga tidak keluar dari hukum logika. Terkesan yang dilakukan KPK saat ini terlalu banyak improvisasi, mengikuti irama ruang dan waktu yang bergerak tanpa kendali.

Kedua, lemahnya peranan KPK dalam melakukan koordinasi dan supervisi terhadap aparat penegak hukum lain. Hal kedua ini paling menyita banyak perhatian masyarakat karena begitu banyak kasus yang macet di kejaksaan dan kepolisian. Tugas KPK adalah membuat proses hukum yang tengah berjalan menjadi lancar dan cepat sesuai aspirasi masyarakat dan standar kinerja internal yang sudah ditetapkan oleh aparat penegak hukum sendiri.

Oleh karena itu, tidak bergeraknya penanganan kasus korupsi (baik dari sisi kuantitas maupun kualitas) menunjukan lemahnya koordinasi dan supervisi yang dimaksud. Mengandalkan kontrol atas proses hukum yang sedang berjalan melalui metoda korespondensi belaka tidak hanya menunjukan miskinnya ide, sekaligus terperangkapnya KPK untuk menggunakan cara-cara yang konvensional dan sederhana dalam memberantas korupsi.

Yang lebih memprihatinkan, terjadinya benturan dan mispersepsi (diwakili kasus Khairiansyah) antara KPK dan Kejaksaan dalam mengusung agenda pemberantasan korupsi patut dicermati sebagai sebuah kekeliruan mendasar yang tidak boleh terulang. Situasi yang terkesan saling menegasikan, menjatuhkan dan suasana vis a vis tidak hanya membuat agenda pemberantasan korupsi menjadi berantakan, tapi juga membuat para koruptor dapat tertawa lebar-lebar.

Ketiga, lemahnya peranan KPK dalam melakukan upaya dan terobosan hukum. Sudah sering dikatakan bahwa produk hukum adalah cermin dari tarik-menarik dan pertarungan kepentingan yang ada dalam arena politik. Tak heran jika beberapa produk peraturan yang dibuat untuk mendorong pemberantasan korupsi pada akhirnya membelenggu, membatasi ruang gerak dan seringkali justru memandulkan. Maka dari itu, produk hukum tidak hanya dilihat dalam bungkusnya yang legal-formal, tapi juga dalam bingkai dan frame politik tertentu yang merepresentasikan kekuatan politik dominan.

Jika KPK selama ini mengeluh mereka kekurangan tenaga penyidik yang handal dan profesional karena hambatan yang tertulis dalam KUHAP, maka keluhan itu tidak akan berguna sama sekali jika KPK kemudian tidak melakukan usaha apapun. Menunggu hingga KUHAP direvisi misalnya sama artinya dengan menyia-nyiakan kesempatan untuk melakukan pemberantasan korupsi. Dalam situasi demikian, menjadi sangat penting hadirnya pemikiran progresif sekaligus berani, setidaknya untuk bergesekan dengan aturan main yang ada. Pendek kata, inskonstusional sebagai cara berpikir subversif harus ditransformasikan menjadi ekstrakonstitusional sebagai cara berpikir progresif. Jangan sampai kemudian muncul tudingan bahwa KPK menutupi kelemahannya dengan berlindung pada bilik-bilik peraturan yang ada.

Cara berpikir progresif itu sekaligus dapat menjawab teka-teki apakah KPK akan berani masuk pada wilayah-wilayah rawan yang selama ini hampir tidak pernah dapat disentuh oleh hukum semisal instiusi militer, istana dan cendana. Jika beberapa gebrakan tersebut tidak muncul dalam periode tahun ketiga KPK, maka mau tidak mau masyarakat harus menurunkan tingkat harapan kepada KPK pada titik yang lebih realistis.

*****

No comments: