Sulitnya mendorong penegakan hukum bagi pelaku korupsi yang memiliki latar belakang militer memang masih menjadi pekerjaan rumah yang jauh dari selesai. Terkesan selama ini militer merupakan wilayah yang kedap dari hingar bingar dan hiruk-pikuk kampanye pemberantasan korupsi, khususnya pada era Yudhoyono-Kalla.
Meskipun hal ini tidak berarti mengandung hubungan sebab-akibat, dalam pengertian bahwa, di institusi militer relatif sedikit tingkat korupsinya sehingga jarang sekali ada militer aktif diproses secara hukum. Justru sebaliknya, jika ditarik ke dalam sejarah Indonesia, militer merupakan institusi yang tingkat korupsinya relatif tinggi. Hal mana juga menjadi persoalan di beberapa negara dunia ketiga yang memiliki latar belakang sejarah sosial-politik otoriter.
Warisan kekuasaan otoriter yang mengendap kuat dalam jalinan struktur politik Indonesia membuat institusi militer memiliki posisi yang sangat diperhitungkan jika berhadapan dengan mekanisme hukum. Terlemparnya mereka dari kekuasaan politik formal dihilangkannya jatah perwakilan di DPR- tidak mengurangi sifat dan posisi militer yang sangat dianak- emaskan.
Faktornya bukan karena ketidakpatuhan atau pembangkangan atas mekanisme hukum yang berlaku, akan tetapi karena desain hukum yang diwariskan membuat institusi militer memiliki mekanisme tersendiri yang keluar dari tatanan hukum umum. Oleh sebab itu, jika terjadi dugaan tindak pidana korupsi di instansi militer atau dilakukan oleh militer aktif misalnya, kesulitan utama yang dihadapi aparat penegak hukum adalah sistem hukum diskriminatif yang masih berlaku hingga sekarang.
Dalam KUHAP dan UU Peradilan Militer telah diatur sebuah mekanisme koneksitas baik penyelidikan penyidikan maupun pengadilan untuk memproses secara hukum militer aktif yang melakukan tindak pidana. Hal mana keadaan ini selalu dijadikan sebagai tameng bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejagung RI untuk tidak menyeret pelaku korupsi dari militer aktif ke proses hukum pidana biasa, yang sekarang hanya berlaku bagi kalangan sipil.
Merujuk pada UUD 45 hasil amandemen, khususnya pasal 27 yang menjamin adanya kesamaan atau kesetaraan di depan hukum bagi setiap orang, mekanisme koneksitas adalah duri dalam daging untuk mewujudkan tiadanya diskriminasi dalam hukum. Pasalnya mewujudkan demokrasi dalam sebuah negara hukum memiliki prasyarat dasar, yakni ketika perangkat negara dan warga negara biasa diletakan sebagai subjek hukum yang setara.
Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah proses dan perangkat hukum yang akan menjamin bekerjanya hukum secara objektif dan adil dalam situasi dan keadaan apa pun. Dalam konteks inilah mekanisme koneksitas memiliki kesulitan mendasar untuk melahirkan tiadanya diskriminasi dalam hukum.
Kesimpulan itu bukan tanpa alasan. Terdapat beberapa argumentasi untuk menjelaskannya. Pertama, bahwa mekanisme koneksitas untuk memproses secara hukum para militer aktif yang telah melakukan tindak pidana kejahatan, termasuk korupsi, tidak memiliki cukup kekuatan untuk melahirkan putusan yang adil. Oditur militer sebagai pihak yang berperan besar untuk mendorong proses hukum para militer aktif merupakan bagian yang tak terpisahkan dari institusi militer itu sendiri.
Bukan berarti kemudian mencurigai bahwa mereka tidak bekerja dengan baik, akan tetapi beban berat untuk menegakkan citra yang baik institusi militer seringkali dilakukan dengan menutup-nutupi proses yang tengah dilakukan. Oleh karena itu, terkesan kuat yang muncul bukan semangat untuk memberantas kejahatan pidana para militer aktif, akan tetapi melindungi korps dari terpaan isu miring yang berkembang di luar.
Kedua, sifat komando di tubuh militer yang tidak memungkinkan penegakan hukum internal dilakukan secara adil. Meskipun para oditur militer dibekali dengan sejumlah kewenangan, namun sistem komando yang menjadi ciri khas institusi militer tak dapat menjangkau semua pelaku tindak kejahatan, seandainya sifat tindak pidana yang dilakukan adalah terorganisir, sebagaimana sering dijumpai dalam kasus-kasus korupsi.
Sifat hirarki yang kuat akan menimbulkan problem struktural bagi siapa pun yang ditempatkan sebagai oditur militer untuk dapat bekerja secara objektif. Persoalan ini dapat ditemukan dalam kasus dugaan korupsi dalam pembelian helikopter Mi-17 yang sudah disebutkan di awal tulisan.
Dokumen yang dimiliki ICW misalnya menjelaskan bahwa proses pembelian heli ini sebenarnya melibatkan beberapa perwira tinggi militer. Paling tidak dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab utama, khususnya bagi pihak-pihak yang telah memberikan ijin bagi dilakukannya penunjukan langsung dalam pembelian heli dan pembayaran uang muka tunai yang di kemudian hari menimbulkan masalah besar. Namun hingga saat ini, tidak ada satu pun dari mereka yang telah diperiksa, minimal diminta keterangan sebagai saksi.
Dengan berbagai argumentasi di atas, dapat disimpulkan bahwa mengembalikan posisi penegakan hukum, khususnya dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh militer aktif ke dalam mekanisme hukum pidana sipil adalah langkah yang tidak dapat ditawar. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pembaharuan pada aspek tata aturan yang selama ini menegaskan eksistensi penyelidikan penyidikan dan pengadilan koneksitas. Implikasi dari agenda ini adalah memaksa institusi militer untuk lebih transparan dan akuntabel dalam penggunaan anggaran.
Mengingat institusi militer memiliki kewenangan koersif dalam menjalankan peranannya sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, maka justru yang harus diperkuat adalah dikenakannya pasal pemberatan bagi siapa pun militer aktif yang telah melakukan tindak pidana. Pemberatan ini merupakan konsekuensi logis dari adanya otoritas besar yang dipunyai institusi militer dibandingkan dengan warga sipil biasa.
Dengan demikian, penegakan hukum internal yang selama ini berlaku bagi mereka bukan bertujuan untuk menggantikan proses hukum umum yang berlaku bagi semua warga negara. Akan tetapi justru melengkapi proses hukum yang ada. Hal ini bertujuan untuk menegakkan disiplin dan tanggung jawab yang lebih besar bagi siapa pun yang menyandang profesi militer aktif sehingga tidak mudah jatuh dalam penyalahgunaan kekuasaan.
Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja ICW
Tulisan ini diambil dari Suara Pembaruan, 3 Juni 2007
No comments:
Post a Comment