Semangat dasar dari lahirnya Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) adalah prinsip keterbukaan yang lebih luas dari aparatur negara kepada masyarakat. Keterbukaan ini diharapkan menjadi landasan baru untuk mendesain ulang tata hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam koridor sistem sosial-politik yang lebih demokratis.
Pola hubungan yang kian terbuka dari pemerintah kepada masyarakatnya memiliki makna yang sangat berarti untuk mengembalikan posisi yang asimetris ke dalam sebuah relasi yang setara. Keterbukaan berarti meletakkan tata hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat yang bukan lagi top-down, melainkan bottom-up. Menggeser karakter kekuasaan yang instruktif menjadi komunikatif.
Dalam konteks ini, masyarakat tidak lagi dianggap sebagai obyek kebijakan belaka, tapi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses penyusunan dan perumusan kebijakan. Pendek kata, peran dan keterlibatan masyarakat sebagai salah satu pilar governance dalam mewarnai roda kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sangat diperhitungkan di dalam orde yang semakin terbuka.
Karena itu, dengan semangat keterbukaan yang akan lahir melalui UU KMIP, diharapkan akan terbentuk sebuah sikap dan watak yang transparan dari pejabat publik kepada masyarakatnya, terutama dalam proses perumusan dan pengambilan kebijakan. Hal ini mengingat pengetahuan dan informasi yang mudah diakses oleh masyarakat akan dapat meminimalkan berbagai potensi penyimpangan dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.
Maka menjadi sangat ironis ketika Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menyepakati rapat Panitia Kerja RUU KMIP yang dilakukan secara tertutup. Hal ini tidak sekadar menunjukkan sikap yang plinplan, tapi juga mencerminkan adanya pengingkaran atas semangat dasar yang menjadi roh RUU KMIP.
Keputusan yang menyebutkan bahwa rapat Panitia Kerja RUU KMIP dilakukan secara tertutup telah membawa pada kesimpulan bahwa proses pembahasan RUU KMIP antara DPR dan pemerintah tidak berada dalam makna keterbukaan yang sesungguhnya. Karena nyatanya masih ada ruang-ruang gelap yang dipertahankan sebagai sarana untuk keluar dari tuntutan akuntabilitas.
Gawatnya, ketertutupan yang telah disepakati itu berlindung pada alasan mandat peraturan. Memang benar bahwa tata tertib DPR RI mengatakan rapat panitia kerja dilakukan secara tertutup. Tapi terdapat aturan pengecualian ketika sebuah rapat dapat dilakukan secara terbuka jika disepakati bersama. Dengan kata lain, rapat panitia kerja yang dilakukan secara terbuka tidak akan membawa implikasi cacat hukum terhadap hasilnya, sebagaimana pihak pemerintah memberikan alasan mengapa harus tertutup.
Bagaimana mungkin sebuah pembahasan RUU KMIP, yang mengamanatkan adanya keterbukaan, dilakukan secara tertutup. Mustahil sebuah proses perumusan dan pengambilan kebijakan yang dilakukan secara tertutup akan menghasilkan kebijakan yang berkualitas, populis, dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Alih-alih melahirkan pemerintahan yang transparan, ketertutupan justru mendominasi pembahasan RUU KMIP.
Perlu dipahami bahwa proses perumusan kebijakan yang dilakukan secara tertutup akan menimbulkan beberapa konsekuensi negatif. Pembahasan RUU KMIP yang tertutup akan membunuh semangat dasar RUU KMIP yang mengandaikan adanya keterbukaan. Dapat dikatakan, keputusan ironis untuk membahas secara tertutup RUU KMIP adalah lonceng kematian janin transparansi yang dibunyikan oleh rahimnya sendiri.
Ketertutupan atas pembahasan RUU tersebut dapat menggerogoti legitimasi hasil-hasilnya. Padahal legitimasi atas kebijakan yang diputuskan sangat penting untuk menjamin fungsi sebuah peraturan ketika telah disahkan. Yang sering kita lupa, begitu banyak peraturan yang telah dibuat, tapi gagal dalam implementasinya. Dikhawatirkan, ketika pembahasan rapat Panitia Kerja RUU KMIP dilakukan secara tertutup, undang-undang ini akan bernasib sama dengan berbagai peraturan yang lahir dalam keadaan tanpa daya.
Pembahasan RUU yang tertutup juga akan memupus ruang partisipasi masyarakat untuk melakukan pengawasan dan memberikan usul atau masukan atas berbagai isu yang akan dibahas dalam RUU KMIP. Padahal pengawasan masyarakat menjadi sesuatu yang penting, mengingat proses pembahasan peraturan perundang-undangan kerap kali diwarnai berbagai kepentingan yang dapat mengandaskan substansi adanya sebuah peraturan.
Tak aneh jika kemudian banyak peraturan yang telah ditetapkan, tapi kosong dalam pelaksanaannya. Hal ini wajar mengingat proses perumusan kebijakan kerap disandera oleh berbagai kepentingan yang mudah masuk ketika kontrol dari masyarakat tidak berjalan sama sekali.
Demikian pula seharusnya dalam menyusun sebuah kebijakan, DPR RI dan pemerintah bersedia menampung sebanyak mungkin pendapat dari semua pihak. Dengan usaha sungguh-sungguh untuk menjaring aspirasi yang berkembang di luar parlemen, postur UU KMIP dapat mencerminkan sikap yang akomodatif atas berbagai kepentingan. Yang harus dipahami, semakin kaya masukan yang diberikan, kelak akan semakin hidup sebuah peraturan itu ketika sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Namun, jika pembahasan RUU KMIP dilakukan secara tertutup, akan muncul berbagai kemungkinan, semisal benturan kepentingan dan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tentunya kita masih ingat fakta bahwa beberapa undang-undang yang telah disahkan DPR ternyata didanai oleh kelompok kepentingan tertentu. Praktek cukong dalam pembahasan undang-undang merupakan bahaya besar karena proses penyusunannya kemudian akan mengikuti alur kepentingan pemberi dana, bukan mengabdi pada kehendak masyarakat.
Selain itu, rapat Panitia Kerja RUU KMIP yang tertutup dapat membawa preseden buruk bagi proses pengambilan kebijakan lainnya di DPR. Dalihnya, jika pembahasan undang-undang mengenai kebebasan memperoleh informasi saja dilakukan secara tertutup, apalagi undang-undang lain yang tidak menyentuh substansi transparansi. Karena itu, penting bagi DPR dan pemerintah untuk becermin dari pembahasan RUU Kewarganegaraan yang dilakukan secara terbuka.
Karena secara substansial RUU KMIP mengusung semangat keterbukaan, pembahasan RUU ini seharusnya bersifat terbuka sehingga dapat menjadi inspirasi yang positif bagi proses perumusan kebijakan pada isu dan sektor yang lain. Bukan sebaliknya, menjadi faktor pendorong berkembangnya sikap yang lebih tertutup bagi proses-proses perumusan dan penyusunan kebijakan publik lainnya.
Tulisan ini dimuat oleh Koran Tempo, 29 Mei 2007
No comments:
Post a Comment