Keberhasilan pemberantasan korupsi sangat ditentukan oleh ada-tidaknya dukungan politik penguasa.Adanya dukungan politik penguasa acap kali diwujudkan dalam berbagai bentuk kebijakan. Namun, pada intinya,dukungan politik itu adalah usaha memberikan ruang, keadaan,dan situasi yang mendukung program pemberantasan korupsi bekerja sangat efektif.
Sekaligus mendorong partisipasi yang lebih besar bagi masyarakat untuk bersama-sama memberantasnya. Karena itu,menempatkan posisi politik dalam program pemberantasan korupsi berarti melihat perilaku korupsi sebagai musuh besar,sekaligus berstatus luar biasa karena pelaku, dampak,dan kerugian yang ditimbulkannya sudah sedemikian mengkhawatirkan.
Dengan demikian, program pemberantasan korupsi menjadi benar-benar memiliki daya untuk menyelesaikan persoalannya. Memiliki elan yang kokoh untuk tidak kompromi dengan berbagai bentuk kepentingan yang dapat mengganggu program pemberantasan korupsi.
Satu hal yang patut diambil pelajaran adalah kasus Paul Wolfowitz, Presiden Bank Dunia, yang kini terancam kehilangan posisi karena telah mengistimewakan kekasihnya. Sebagai bos di Bank Dunia,dia menggunakan kewenangannya untuk menaikkan gaji Shaha Riza,staf Bank Dunia secara fantastis.
Sistem di Bank Dunia melihat bahwa kasus ini merupakan tindakan tidak terpuji, mengganggu integritas dan efektivitas Bank Dunia, serta telah menghancurkan kepercayaan atas kepemimpinannya.
Hikmah yang dapat kita petik dari kasus ini adalah kemampuan sistem di Bank Dunia untuk melihat sebuah kejadian ’’kecil’’ sebagai masalah besar. Dalam arti,sistem yang dibentuk bertujuan mencegah sekaligus tidak memberikan kesempatan untuk berkompromi dengan segala macam jenis skandal. Pendekatan seperti ini merupakan kunci bagi pemberantasan korupsi yang berhasil.
Sistem yang dibangun atas dasar etika politik yang mengatur perilaku pejabat dalam bertindak dan mengambil putusan merupakan dasar yang kuat untuk mengantisipasi segala macam perilaku menyimpang. Dengan demikian, memberantas korupsi tidak harus menunggu penegakan hukum dimulai. Memberikan hukuman dari sisi etik, sebagaimana yang dialami Paul Wolfowitz,merupakan langkah konkret bagi upaya yang sungguh-sungguh dalam menegakkan pemerintahan yang bersih (clean government).
Becermin dari kasus Paul Wolfowitz, miris rasanya jika kita menengok ke dalam (baca: Indonesia). Dari berbagai sendi pemerintahan yang merupakan pilar utama bagi pemberantasan korupsi,sedikit sekali pihak yang serius menginginkan korupsi diberantas. Penyikapan, komentar, dan pendekatan dalam melihat sebuah kejahatan korupsi menunjukkan rapuhnya dukungan bagi program pemberantasan korupsi.
Kita bisa memulai dengan melihat presiden dan wakil presiden sebagai contoh kasus di wilayah eksekutif. Meskipun pernyataan Presiden SBY kerap menegaskan kemauan yang kuat untuk memberantas korupsi, penilaian itu akan kembali pada sebuah pertanyaan, apa yang telah dilakukan? Sejak terbongkarnya skandal pencairan dana Tommy Soeharto senilai Rp90 miliar yang diduga keras mudah terjadi karena atas bantuan dari Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham),SBY tidak pernah menyampaikan sepatah kata pun, apalagi tindakan cepat dan konkret. Bahkan,meminta keterangan dan pertanggungjawaban atas penyalahgunaan kewenangan kedua pembantunya pun tak ada dalam catatan publik.Memang kemudian, mereka dicopot sebagai menteri.Akan tetapi,faktor pendorongnya bukan pada usaha untuk menegakkan etika pejabat,melainkan dorongan dan tekanan politik.
Coba bandingkan dengan penyikapan Bank Dunia atas kasus Paul Wolfowitz. Padahal,secara kasatmata, dua skandal itu berbeda kualitasnya. Akan tetapi,Bank Dunia melihat bahwa tindakan presidennya telah menumbuhkan bibit-bibit kerusakan yang dapat mencoreng integritas Bank Dunia.Karena itu,kejadian tersebut patut menjadi agenda besar dalam rangka mendesak adanya pergantian kepemimpinan. Memang benar bahwa secara legal formal,Paul Wolfowitz belum terbukti melakukan korupsi, kolusi,atau nepotisme (KKN). Namun, nilai-nilai etika yang berkembang dan menjadi pedoman perilaku pejabatnya telah bekerja dengan sendirinya. Di Indonesia,semua berkelit dan berlindung di balik proses hukum. Alasan yang kerap dikedepankan, selama proses hukum,belum membuktikan seseorang terlibat KKN. Maka,tidak pernah dapat diambil tindakan apa pun atas kesalahan yang dilakukannya.
Bahkan,yang lebih memprihatinkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah dalam sebuah pernyataan yang disampaikannya kepada media,menyebut bahwa apa yang dilakukan Hamid Awaluddin,eks Menkumham adalah tindakan yang benar.Bukan kecaman apalagi punishment, tapi perlindungan yang diberikan. Padahal,berbagai pelanggaran atas berbagai undangundang nyata-nyata ditemukan dalam kasus itu.Akan tetapi,fakta politik bicara lain.Lantas,apa yang mau kita harapkan dari program pemberantasan korupsi Pemerintah?
Contoh lainnya adalah DPR sebagai lembaga legislatif.DPR yang seharusnya menjadi pilar kekuasaan di luar eksekutif yang dapat menyokong sekaligus mendukung secara politik agenda pemberantasan korupsi juga tidak luput dari skandal.
Kasus Rokhmin Dahuri yang kini ditangani Pengadilan Tipikor telah menyingkap fakta bahwa sebagian dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengalir kepada orang-orang di DPR.Tindakan yang dapat dikategorikan gratifikasi sebagaimana Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak jelas penyelesaiannya hingga kini.
Secara internal,DPR melalui pimpinan telah meminta Sekretariat Jenderal DPR untuk mengklarifikasi perkembangan yang terjadi dalam pengadilan Rokhmin Dahuri.Akan tetapi,kesimpulan awal yang bisa diambil menyebutkan bahwa tidak ditemukan dalam catatan resmi Sekretariat Jenderal DPR bahwa ada anggota DPR telah menerima dana dari DKP. Badan Kehormatan (BK) DPR yang dibentuk untuk menegakkan dan menjaga etik para anggotanya juga, tampaknya,lebih nyaman menunggu laporan.
Padahal,dalam tata tertib DPR, BK tidak dilarang mengambil langkah proaktif untuk membentuk panel khusus dalam rangka memeriksa skandal itu. Lagi-lagi, tameng yang dipakai adalah proses hukum adanya dugaan gratifikasi belum rampung dikerjakan oleh KPK. Dari kedua contoh kasus di atas,kita dapat melihat bahwa proses hukum menjadi kata kunci untuk berlindung dari segala macam skandal yang terjadi. Benar atau tidaknya pejabat publik melakukan sesuatu hanya dapat diukur melalui legalitas hukum.
Barangkali karena mereka mengerti betul jika proses hukum merupakan mekanisme yang rumit,berbelit,susah,dan dapat muncul berbagai macam kemungkinan.
Kita barangkali memang terlalu banyak bicara soal pemberantasan korupsi,tapi tidak memberikan alternatif jalan untuk menyelesaikannya. Tanpa penegakan etika pejabat negara,proses hukum hanyalah ’’kambing hitam’’ yang di dalamnya penuh dengan aral merintang,batu terjal,dan kesulitankesulitan tertentu yang dapat membuat orang yang sebenarnya bersalah dalam kacamata sistem dan etika politik,akan tetapi bisa menjadi benar dalam kacamata hukum.
(*) ADNAN TOPAN HUSODO Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo Sore, 15 Mei 2007
No comments:
Post a Comment