Hari-hari belakangan ini ramai diberitakan baiat antikorupsi calon legislatif (caleg) oleh beberapa partai politik (parpol) peserta pemilu.Ritual politik berupa ikrar antikorupsi caleg hendak menyampaikan pesan bahwa kader partai politik yang akan menjadi anggota legislatif disumpah dan bersumpah tidak akan melakukan praktek korupsi pada saat mereka menjabat.
Baiat antikorupsi semacam ini sepertinya menjadi lebih relevan dalam konteks banyaknya anggota legislatif yang diproses secara hukum oleh KPK, kejaksaan dan kepolisian karena diduga kuat terlibat korupsi. Atas berbagai inisiatif untuk mendorong agar tercipta sebuah keadaan yang bebas dari praktek korupsi, tentu siapa pun wajib mendukung secara penuh. Justru akan terasa aneh jika ada pihak yang tidak menerima baiat antikorupsi caleg sebagai tradisi baru yang harus ditumbuhkembangkan.
Walau demikian,tidak serta-merta baiat antikorupsi caleg dapat diterima sebagai sebuah jaminan bahwa kelak ketika para caleg itu terpilih sebagai anggota Dewan, mereka tidak melakukan korupsi. Apalagi baiat antikorupsi ini dilakukan pada saat menjelang pemilu. Dengan begitu, kesan kampanyenya menjadi lebih menonjol. Sulit untuk tidak menilai bahwa kontrak politik antikorupsi itu berkaitan langsung dengan praktik kampanye mengingat prasyarat untuk mewujudkannya tidak disiapkan dengan baik.
Prasyarat yang dimaksud adalah reformasi di internal parpol yang menjadi ”rumah” bagi para caleg. Bagaimana mungkin seorang caleg yang telah berikrar antikorupsi dapat kita percaya jika dalam memperoleh posisinya sebagai caleg jadi, dia harus menyetorkan sejumlah uang ke kas partai atau ke elite partai?
*** Relasi caleg dengan partai politik adalah relasi dominatif, dalam arti bahwa perangai atau kebiasaan caleg ketika menjabat sebagai politisi atau pejabat publik sangat ditentukan oleh kebijakan di tingkat internal partai politik.
Untuk menggambarkannya, coba kita longok sebentar kasus Agus Condro yang segera dipecat PDIP karena mengaku telah menerima cek perjalanan beberapa lama seusai pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Di satu sisi, pemecatan itu sepertinya ingin menciptakan sebuah persepsi di mata publik bahwa PDIP antipraktik suap; sehingga ketika Agus Condro sebagai kader PDIP mengaku telah menerima uang, langkah cepat yang diambil partai adalah memecatnya.
Barangkali hal ini akan terlihat sungguh-sungguh andaikata kader PDIP lain yang disebut-sebut oleh Agus juga menerima cek perjalanan diproses secara internal oleh partai. Akan tetapi,karena yang disebut oleh Agus Condro adalah para elite partai, sementara Agus adalah kader biasa, maka kebijakan partai atas para kader yang terlibat korupsi menjadi sangat tidak konsisten.
Walhasil Agus dipecat,sementara kader lain yang disebut Agus juga menerima cek perjalanan justru menjadi caleg jadi untuk Pemilu 2009. Gambaran di atas sekaligus menjelaskan bahwa dalam pengambilan keputusan, parpol masih sangat dikuasai oleh segelintir elite partai (oligarkis). Dominasi elite parpol dalam pengambilan keputusan juga dapat dilihat dari penentuan nomor jadi caleg.
Saat ini sudah muncul beberapa pengakuan dan berkembang konflik internal di tubuh parpol peserta pemilu karena isu adanya jual beli kursi dalam penentuan nomor urut caleg. Pertanyaannya kemudian, jika untuk mendapatkan nomor jadi,caleg harus menyetorkan sejumlah dana ke parpol,apakah saat mereka menjabat sebagai anggota legislatif, mereka masih ingat dengan baiat antikorupsi yang sudah diikrarkan pada saat pemilu? Baiat antikorupsi di tengah tabiat korupsi yang tumbuh subur di tubuh parpol menciptakan sebuah ironi.
Bahwa kontrak politik itu eksis, sebagai bentuk pengucapan atau penandatanganan ikrar adalah benar adanya.Akan tetapi secara bersamaan, parpol dan para kadernya banyak terlibat kasus korupsi adalah hal lain yang tidak bisa diabaikan. Karena itu, jika parpol ingin agar baiat antikorupsi itu dipercaya oleh publik sebagai langkah awal untuk tidak melakukan korupsi di masa depan, parpol juga harus menunjukkan perubahan fundamental di internal organisasinya.
Pasalnya, antara praktek korupsi anggota legislatif dengan masalah ideologi antikorupsi di parpol memiliki hubungan yang jelas.Dalam arti, jika parpol tidak memiliki platform antikorupsi yang kuat, sulit untuk meyakini bahwa para kadernya di legislatif akan memiliki semangat yang sama. Demikian sebaliknya, jika parpol sadar bahwa gerakan antikorupsi harus dimulai dari dalam parpol, maka secara otomatis hal itu akan dikembangkan oleh para kadernya, baik yang berada di parlemen maupun pada jabatan-jabatan publik lain. Singkatnya, barang yang busuk itu pasti lahir dari proses yang busuk dan barang yang baik akan lahir dari proses yang baik juga.
*** Lantas, bagaimana kita dapat mengukur bahwa parpol telah melakukan perubahan fundamental dalam dirinya,sehingga baiat antikorupsi tidak jatuh pada pencitraan semata? Ada dua ukuran sederhana yang bisa digunakan untuk menilai semangat antikorupsi di tubuh parpol. Pertama, apakah parpol peserta pemilu bersikap tegas untuk tidak mencalonkan sebagai caleg terhadap para politisi yang sedang terlibat dalam kasus korupsi.
Dalam perhitungan dan penelurusan ICW, masih banyak calon legislatif yang bermasalah atau diduga terlibat kasus korupsi pada saat menjabat sebagai anggota legislatif tapi justru bertengger di posisi nomor jadi. Kedua,komitmen parpol terhadap gerakan antikorupsi seharusnya ditunjukkan oleh peserta pemilu dengan membuka akses informasi terhadap laporan dana kampanye sebagai wujud adanya transparansi dan akuntabilitas dana kampanye para peserta pemilu.
Bagaimanapun, kita harus ingat bahwa korupsi yang dilakukan oleh kader tak luput dari tuntutan untuk memberikan setoran kepada parpol. Jika kedua hal di atas tidak menjadi bagian dari kebijakan internal parpol, maka sangat mungkin baiat antikorupsi akan digerus oleh tabiat korupsi para politikus.(*)
Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
Disalin dari Koran Seputar Indonesia, 19 September 2008
No comments:
Post a Comment