Tuesday, October 07, 2008

Kekuasaan Parlemen yang Tergadai

Tercatat hingga kini puluhan anggota DPR RI dari berbagai komisi telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat korupsi. Beberapa di antaranya bahkan tertangkap tangan saat menerima suap dari pihak ketiga. Jumlah ini sangat mungkin akan bertambah mengingat kasus dugaan suap yang menimpa Komisi IX DPR terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior BI kian terkuak. Terlebih setelah PPATK menyampaikan informasi mengenai 400 cek pelawat yang telah dicairkan oleh 41 anggota DPR, baik dicairkan sendiri maupun melalui pihak lain.

Dugaan kasus demi kasus korupsi yang menerpa lembaga perwakilan rakyat ini kian menegaskan hasil survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) yang dalam waktu dua tahun (2006-2007) telah menyimpulkan DPR sebagai lembaga negara terkorup. Pada awalnya, politisi Senayan gerah dengan peringkat korupsi yang disematkan TII. Namun, suara sinis dari para anggota Dewan terhadap hasil penelitian itu pada akhirnya tak terdengar sama sekali, karena sepak terjang KPK yang telah menetapkan beberapa anggota dewan sebagai tersangka korupsi.

Modus

Sejak jatuhnya Orde Baru, Indonesia berada pada rezim kekuasaan sipil yang terbelah. Otoritas sipil tidak lagi berada pada kekuasaan terpusat yang dipersonifikasi dalam diri Soeharto, tetapi menyebar ke berbagai partai politik yang mendapatkan kursi kekuasaan di Senayan.

Dalam struktur kekuasaan politik yang telah terfragmentasi, dalam pengertian menyebar ke berbagai pusat-pusat kekuasaan baru, maka perburuan proteksi, konsesi, dan keistimewaan dari berbagai kelompok kepentingan tidak lagi dilakukan dengan model penukaran loyalitas kepada kekuasaan tunggal. Hal itu hanya bisa diperoleh melalui transaksi atau deal dengan seluruh kelompok kekuasaan yang, dalam konteks DPR, berada di masing-masing fraksi sebagai representasi partai politik.

Hal inilah yang kita lihat dalam kasus skandal korupsi Bank Indonesia. Dalam pengakuan tersangka Hamka Yandhu, semua anggota DPR dari Komisi IX periode 1999-2004 mendapat cipratan dana haram BI. Tidak hanya itu, besarnya jumlah dana yang diterima oleh anggota Komisi IX juga bervariasi, mulai dari Rp 250 juta hingga Rp 1 miliar.

Demikian pula halnya dengan kasus dugaan suap dalam pengalihan hutan lindung di Bintan yang melibatkan Al Amin Nasution sebagai tersangka. Kasus sejenis yang tengah ditangani KPK juga telah menyeret Yusuf Emir Faisal, mantan Ketua Komisi IV DPR RI sebagai tersangka. Dalam pengakuan Azirwan, Sekda Bintan yang juga telah menjadi tersangka, uang suap sudah diberikan secara bertahap kepada DPR, dan bersumber dari calon investor.

Dari penjelasan singkat dua kasus tersebut, kita dapat menarik beberapa kesimpulan awal. Pertama, kasus dugaan suap yang tengah dibongkar KPK bukan hanya melibatkan pelaku yang sifatnya individual, tetapi sudah melibatkan komisi secara kelembagaan. Hal di atas sangat masuk akal, karena untuk mendapatkan keputusan, rekomendasi dan berbagai macam kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu komisi di DPR, sangat mustahil dilakukan hanya dengan menyuap satu orang. Seorang Hamka Yandhu, misalnya, tidak akan pernah bisa mengeluarkan keputusan yang mewakili Komisi IX DPR RI jika tidak mendapatkan persetujuan dari sebagian besar atau semua anggota Komisi.

Kedua, ditetapkannya sebagian kecil anggota DPR sebagai tersangka oleh KPK memang membuat tanda tanya besar. Publik pastinya berharap jika semua anggota Dewan yang terlibat juga diproses secara hukum oleh KPK. Pertanyaannya, mengapa KPK, misalnya, baru menetapkan beberapa tersangka saja, padahal semua anggota Komisi memperoleh bagian suap?

Penjelasan tentang ini sebenarnya mudah. Dalam konteks korupsi di DPR selalu ada satu atau dua orang yang menjadi pelaku lapangan yang berinteraksi langsung dengan pihak ketiga yang memiliki kepentingan dengan komisi di DPR. Bisa dikatakan, Hamka Yandhu dan Anthony Zedra Abidin merupakan penghubung Komisi IX dengan BI, sementara Al Amin Nasution adalah penghubung Komisi IV dengan Pemda Bintan.

Karena interaksi langsung antara pelaku lapangan dan pihak ketiga, maka ketika sebuah skandal suap terungkap, yang pasti akan muncul pertama kali sebagai tersangka adalah mereka. Sementara yang lain lambat laun akan muncul, sebagaimana kita lihat dalam pengakuan Hamka Yandhu kemudian.

Ketiga, skandal suap DPR merupakan praktek kejahatan yang terorganisir. Di dalamnya terdapat struktur, hierarki, dan mekanime yang rapi sehingga akan selalu rumit untuk membongkarnya jika tidak menggunakan pendekatan sebagaimana dilakukan KPK, atau pengakuan dari orang dalam, sebagaimana Agus Condro Prayitno telah lakukan. Sebagaimana kejahatan mafia, dalam praktek korupsi DPR, terdapat pemimpin kejahatan yang perannya adalah mengkoordinasi, menentukan, memerintah dan membagi hasil kejahatan tersebut.

Dalam pengakuan Hamka Yanhu, uang suap dari BI telah dibagikan ke semua anggota Komisi IX DPR dengan jumlah variatif. Dengan demikian, dapat ditebak jika yang mendapatkan jatah paling besar adalah pemimpin rombongan atau aktor utamanya. Tampaknya KPK belum menjangkau sampai ke sana, tetapi dari gelagat yang ada, aktor utama kejahatan suap di DPR adalah incaran utama KPK.

Satu pertanyaan yang kini tersisa, apakah praktek semacam ini juga terjadi di semua komisi di DPR? Jawabannya sangat mungkin. Alasannya sederhana, semua komisi di DPR memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sama. Perbedaannya hanya pada kapasitas atau kemampuan finansial mitra kerja mereka yang beragam, yang juga mempengaruhi besaran suap yang diterima masing-masing anggota Komisi. Jika memang faktanya demikian, lantas apa bedanya wakil rakyat dengan gerombolan perampok? *

Oleh: Adnan Topan Husodo
Disalin dari koran Tempo, 7 Oktober 2008

No comments: