Sudah banyak tulisan atau penelitian yang secara khusus mengupas soal keterkaitan langsung antara peran ekonomi militer dengan berbagai tindak kejahatan, kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada bentuk pelanggaran HAM. Hampir semua kesimpulan kajian tersebut sepakat bahwa peran ekonomi militer, yang secara lebih khusus didefinisikan sebagai bisnis militer harus dilepaskan dari peran kelembagaan militer untuk mendorong semakin profesionalnya militer dalam memposisikan dirinya sebagai alat negara, bukan aktor ekonomi.
Selama ini, alasan klasik yang memberikan justifikasi atas praktek bisnis militer adalah untuk memenuhi kesejahteraan prajurit. Hal ini dikarenakan anggaran negara (APBN) tidak dapat menopang secara keseluruhan kebutuhan itu.
Namun dalam perjalanannya, alasan tersebut ditunggangi oleh berbagai kepentingan individual perwira dan jenderal TNI yang sangat diuntungkan dengan berbagai fasilitas, pendanaan yang melimpah dan posisi yang prestis sehingga usaha untuk mendorong adanya reformasi bisnis militer terkendala oleh berbagai rintangan internal. Jurang kesejahteraan yang lebar antara perwira dengan prajurit kian menegaskan hal itu.
Catatan dari penelitian dan analisis terhadap beberapa dugaan kasus korupsi yang dilakukan ICW pada kurun 2003 dan 2004 juga menemukan berbagai bentuk penyimpangan dalam praktek bisnis militer. Mulai dari penggunaan yang semena-mena dana yayasan untuk kepentingan pribadi (korupsi) dan adanya fasilitas khusus yang diberikan oleh perusahaan kepada perwira TNI yang kesemuanya berujung pada usaha memupuk kekayaan pribadi. Tak heran jika para perwira TNI hidup dalam kemewahan.
Jika selama ini bentuk bisnis militer dibagi kedalam tiga jenis, yang saat ini menjadi konsenterasi pemerintah untuk diselesaikan adalah bisnis formal militer yang mewujudkan dirinya dalam bentuk yayasan.
Sementara untuk jenis kedua bentuk bisnis lainnya, yakni bisnis mantan perwira dan perwira TNI serta bisnis abu-abu TNI selama ini tidak menjadi objek yang telah dijangkau oleh UU No 34 tahun 2004 tentang TNI. Padahal kemungkinan besar, yang selama ini melahirkan berbagai bentuk pelanggaran HAM adalah ekses dari praktek bisnis militer yang abu-abu atau illegal.
Paling kurang ada empat implikasi buruk jika praktek bisnis illegal TNI tidak diperangi. Pertama, lahirnya privatisasi rasa aman terhadap siapapun yang tinggal di Indonesia. Ketika TNI, kesatuan TNI atau anggota TNI telah menjadikan rasa aman sebagai komoditas, maka akan sangat sulit bagi warga negara untuk mendapatkan rasa aman secara cuma-cuma dari negara. Padahal tanggungjawab kelembagaan TNI sebagai alat negara adalah memberikan perasaan aman kepada siapapun tanpa ada pungutan biaya.
Kita tentu masih ingat skandal Freeport yang telah memberikan sejumlah US$ 4,7 juta pada tahun 2001 dan US$ 5,6 juta pada tahun 2002 kepada pemerintah Indonesia cq TNI dan Polri untuk membayar jasa keamanan di Papua.
Yang mengkhawatirkan, uang itu dibayarkan kepada Jenderal Mahadi Simbolon secara teratur dan secara pribadi, bukan kepada perwakilan pemerintah Indonesia (Laporan Global Witness Tahun 2005). Pertanyaannya, sejak kapan dan atas dasar apa Jenderal Mahadi Simbolon mewakili Pemerintah Indonesia menerima 'bantuan' dari PT Freeport?
Kedua, jatuhnya TNI sebagai institusi yang melindungi praktek-praktek kejahatan seperti pelacuran, narkotika, pembalakan liar dan lain sebagainya. Secara lebih ekstrem, anggota TNI juga kemudian dapat terlibat secara langsung sebagai aktor kejahatan yang sempurna. Di satu sisi mereka memiliki legitimasi untuk menggunakan kekerasan, di sisi lain mereka memberikan proteksi terhadap pelaku kejahatan atau bekerjasama dengan pelaku kejahatan.
Ketiga, praktek illegal dalam bisnis TNI telah membuat kontrol publik atas kebijakan TNI sangat lemah. Jika sebuah negara yang demokratis memiliki asumsi kekuasaan sipil sebagai pemegang kekuasaan, maka dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia, representasi sipil dalam melakukan kontrol atas kebijakan TNI menjadi sangat minim karena TNI bisa mengupayakan sumber-sumber pembiayaan lain yang tidak dapat dijangkau oleh DPR lembaga politik maupun BPK sebagai auditor.
Keempat, terjadinya pergesekan yang termanifestasikan dalam bentuk konflik langsung antar aparat penegak hukum (TNI versus Polri). Eskalasi konflik dalam kurun waktu terakhir kian meningkat. Sebagian besar konflik itu dipicu oleh masalah yang ringan, akan tetapi jika kita gali lebih jauh, masalahnya adalah pada adanya klaim atas wilayah kekuasaan masing-masing satuan yang ujung-ujungnya adalah wilayah proteksi dan sumber setoran.
Bicara mengenai kontrol atas anggaran militer tidak semata-mata bicara mengenai berapa nilai atau jumlah yang bisa disediakan dan berapa yang digunakan. Akan tetapi juga berkaitan erat dengan output dan outcomes yang akan dicapai dari struktur pembiayaan yang ada. Dengan demikian, bicara mengenai kontrol anggaran TNI juga berarti berbicara mengenai bagaimana kekuasaan sipil dapat mengendalikan setiap kebijakan, strategi, arah dan operasi TNI secara kelembagaan.
Titik rawan bisnis militer justru ada pada wilayah abu-abu yang ilegal. Disamping telah meruntuhkan moralitas keprajuritan dan etika politik dalam pelaksanaan fungsi hankam TNI, praktek bisnis ilegal telah membuat eskalasi konflik yang kian meningkat antara TNI dan Polri. Meningkatnya tindak kejahatan dan berbagai konflik/ketakutan dapat dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dampak bisnis ilegal TNI selama ini.
Oleh karena itu, tidaklah cukup meletakan agenda reformasi bisnis TNI semata-mata pada wilayah bisnis formal sebagaimana perintah UU No 34 Tahun 2004. Menyelesaikan reformasi bisnis formal TNI adalah keharusan karena merupakan bagian dari mandat UU, akan tetapi jalan terjal menuju TNI yang profesional akan tetap dihadapi jika bisnis illegal TNI (yang sampai sekarang tidak pernah diakui oleh TNI secara kelembagaan) bukan menjadi agenda prioritas Pemerintah dan parlemen. Karena menghentikan praktek bisnis illegal TNI akan sangat strategis dalam mengembalikan supremasi otoritas sipil dalam mengendalikan sepak terjang TNI sebagai alat negara.
****
Oleh: Adnan Topan Husodo
Anggota Badan Pekerja ICW
Tulisan dimuat pada harian Seputar Indonesia, Sabtu, 18 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment