Thursday, April 19, 2007

Komisi Pencegahan Korupsi

  • Usaha berbagai pihak untuk mengembalikan pemberantasan korupsi pada pola-pola lama yang konvensional masih gencar dilakukan. Mereka tak hanya berasal dari pelaku korupsi yang tidak senang dengan menguatnya upaya pemberantasan korupsi, tapi juga dari para pembela hukum koruptor sekaligus aparat penegak hukum yang merasa kekuasaannya perlahan-lahan digerogoti karena terjadinya pergeseran dan pembagian kewenangan. Upaya itu dapat dikatakan sistematis mengingat dilakukan secara bergelombang, terus menerus, dengan ritme, nada, dan pandangan yang hampir sama.

    Dipangkasnya eksistensi dan kewenangan luar biasa Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penindakan kasus-kasus korupsi melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Konstitusi adalah salah satu caranya. Hebatnya, yang mengajukan hal itu tak hanya para terdakwa yang diseret oleh KPK ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), tapi juga elemen lain yang sebenarnya tidak punya kaitan sama sekali dengan kasus korupsi yang ditangani oleh KPK. Bukan hanya KPK yang terus digembosi, juga Pengadilan Tipikor.

    Di samping memanfaatkan celah hukum lewat mekanisme judicial review, usaha lain yang by design ingin menghadang pemberantasan korupsi dilakukan melalui revisi terhadap Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi). Dari draf yang telah dirumuskan tim khusus bentukan pemerintah, pasal krusial yang nantinya akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi adalah dihapuskannya eksistensi hakim ad hoc.

    Meskipun tidak secara eksplisit diusulkan pembubaran Pengadilan Tipikor, dengan ditiadakannya eksistensi hakim ad hoc korupsi, Pengadilan Tipikor akan bubar dengan sendirinya. Hal ini ditambah dengan kekhawatiran gagalnya DPR-pemerintah dalam membuat UU Pengadilan Tipikor sebagaimana mandat putusan MK.

    Sukar untuk tidak mengatakan bahwa gagasan di atas merupakan agenda besar pembusukan terhadap cara-cara luar biasa dalam memberantas korupsi. Harus diakui bahwa beberapa anggota Tim Perumus Revisi UU Korupsi merupakan pengacara kasus korupsi, sekaligus saksi ahli yang kerap meringankan pelaku korupsi di pengadilan. Hal ini tentu saja menimbulkan conflict of interest yang sangat kuat.

    Karena itu, akan lebih baik anggota tim yang saat ini sedang vakum dikocok ulang oleh pemerintah untuk mengembalikan semangat pemberantasan korupsi, sekaligus menghilangkan peluang yang teramat besar bagi terjadinya perselingkuhan kepentingan orang-orang yang terlibat dalam perumusan revisi UU Korupsi.

    Tidak hanya berhenti pada usaha-usaha di atas, nafsu untuk menggembosi pemberantasan korupsi juga dilakukan dengan membangun opini publik. Tidak tanggung-tanggung, delegitimasi atas cara-cara luar biasa dalam memberantas korupsi justru datang dari seorang pemimpin lembaga penegak hukum. Korupsi bukanlah kejahatan luar biasa, demikian kira-kira pendapatnya. Dari pernyataan ini, secara implisit dapat disimpulkan pengertian yang lain, yakni karena korupsi bukan kejahatan luar biasa, cara-cara luar biasa tidak diperlukan. Karena tidak diperlukan, KPK dan Pengadilan Tipikor layak dibubarkan. Jikapun tidak dibubarkan, cukup diberi kewenangan biasa selayaknya aparat penegak hukum lain. Dikaitkan dengan usaha melemahkan posisi KPK dan Pengadilan Tipikor sebagaimana telah dijelaskan mula-mula, pernyataan tersebut menemukan benang merahnya.

    Padahal dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sudah dinyatakan dengan jelas, "... Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua, maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa...."

    Dikatakan luar biasa karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan telah menghambat pembangunan nasional. Selain itu, korupsi telah merusak tata nilai berbangsa dan bernegara, mengancam kemajuan pendidikan, merampas hak-hak masyarakat untuk dapat hidup sejahtera, merusak lingkungan hidup, dan melemahkan mental bangsa.

    Dengan kata lain, korupsi dalam konteks Indonesia telah masuk pada tingkat gawat darurat. Demikian halnya langkah-langkah pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini terbukti gagal karena menghadapi banyak hambatan. Karena itu, cara-cara luar biasa untuk memberantasnya sangat dibutuhkan.

    Cara-cara luar biasa itu yang kemudian menjelma dalam kewenangan yang dimiliki KPK dan Pengadilan Tipikor. Dengan mengembalikan pengertian kejahatan korupsi sebagai kejahatan biasa, tak dapat disangsikan jika hal ini merupakan ancaman serius bagi eksistensi KPK dan Pengadilan Tipikor. Paling tidak, akan lahir beberapa konsekuensi mendasar seandainya pemerintah berniat mengembalikan posisi kejahatan korupsi sebagai kejahatan yang sama kualitasnya seperti yang lain.

    Pertama, kewenangan KPK sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang KPK pasal 12, yang selama ini terbukti ampuh memberantas korupsi, akan dengan sendirinya dipangkas. KPK tidak akan dapat lagi menyadap dan merekam, memblokir rekening, meminta kepada atasan tersangka untuk memberhentikan jabatannya, meminta data kekayaan dan perpajakan dari instansi lain, menghentikan sementara waktu transaksi keuangan, memeriksa seorang pejabat tanpa izin dari atasannya, melakukan penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

    Jika hal ini benar terjadi, KPK hanya akan memiliki fungsi pencegahan. Karena itu, KPK bukan lagi Komisi Pemberantasan Korupsi, melainkan akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi.

    Kedua, cara-cara biasa dalam memberantas korupsi dapat diartikan sebagai tidak diperlukannya Pengadilan Tipikor. Kaitan antara konsekuensi pertama dan kedua sangat jelas. Jika Pengadilan Tipikor tidak diperlukan, secara otomatis fungsi penindakan KPK juga akan hilang. Hal ini mengingat di dalam Pasal 53 UU KPK disebutkan, "Dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi."

    Seandainya desain besar untuk menghancurkan kewenangan luar biasa lembaga pemberantasan korupsi benar-benar berhasil, penegakan hukum kasus korupsi akan kembali ke titik nadir. Ke depan, sulit rasanya untuk dapat melihat seorang pejabat negara ditahan dan dijebloskan ke penjara atas tindakan korupsi yang dilakukannya.

    koran
  • No comments: