Monday, August 10, 2009

Trisula Pembunuh KPK

LaporanAntasariAzhar (AA) kepada Mabes Polri tentang indikasi suap di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian menyudutkan posisi lembaga penegak hukum ini.

Setelah sempat diperiksa Polda Metro Jaya dalam kasus dugaan penyadapan ilegal yang dituduhkan kepada Chandra M Hamzah (Wakil Ketua KPK), kini Muhammad Yasin,Wakil Ketua KPK yang lain, dituduh menerima uang dalam kaitannya dengan penanganan kasus korupsi PT Masaro.

Secara objektif, hukum harus tegak di mana pun.Oleh karena itu, KPK juga bukan lembaga yang tak tersentuh dewi keadilan.Tentu kita juga sangat paham jika AA,Ketua KPK non-aktif, kini ditahan oleh polisi karena disangka mengotaki pembunuhan terhadap Nasrudin.

Demikian halnya jika fakta hukum menjadi dasar untuk menjerat pimpinan KPK yang lain dalam kasus pidana korupsi, siapa pun tidak boleh ada yang menggugatnya. Titik tekan pada fakta hukum menjadi prasyarat dalam setiap proses projustisia. Penegak hukum yang melakukan proses hukum juga tidak bisa main-main karena melekat di dalamnya sumpah untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.

Mereka pun bertindak atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa. Pendek kata,wakil Tuhan di muka bumi adalah para pendekar penegak hukum. Persoalannya, hukum telah lama menjadi “mainan”. Hilangnya martabat dan keagungan hukum, termasuk penegak hukum,dikarenakan banyaknya berbagai kepentingan yang menunggangi hukum itu sendiri.

Hukum telah tercemar oleh korupsi, ambisi politik, keserakahan, suap, dan balas dendam. Dalam konteks hukum yang membusuk ini, isu mengenai suap di KPK relevan untuk dikaji lebih jauh. Pertanyaan utama yang layak diajukan kemudian,mengapa KPK setelah AA dinonaktifkan justru semakin mendapatkan tekanan?

Baik dalam bentuk tuduhan,sentilan dari Presiden,ancaman dari pejabat publik tertentu untuk menarik personelnya dari KPK hingga terkatung-katungnya nasib RUU Pengadilan Tipikor di parlemen. Tentu saja, sulit untuk kemudian tidak mengaitkan berbagai serangan terhadap KPK itu dengan sepak terjang KPK dalam menangani kasus korupsi, khususnya pascakepemimpinan AA.

Golden periodKPK telah direspons dengan perlawanan terhadapnya. Jika pada era AA KPK terkesan sangat berhati-hati untuk mengambil keputusan dalam mengangkat perkara korupsi,sumbatan itu seakanakan hilang seiring status AA sebagai tersangka. Dengan demikian, ancaman terhadap KPK dalam berbagai macam bentuknya tidak bisa dilepaskan dari tingginya tensi KPK dalam menangani perkara korupsi.

Testimoni AA: Fitnah atau Fakta?

Sesungguhnya, laporan AA belum dapat dikategorikan sebagai fakta hukum karena berbagai macam keterbatasannya. Dari tiga data yang dimiliki kepolisian, tidak ada satu pun data yang bisa dikategorikan sebagai fakta hukum. Pertama, otentisitas informasi dalam rekaman pembicaraan AA dengan Anggoro, Direktur PT Masaro yang juga tersangka korupsi dalam proyek sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan yang kasusnya ditangani KPK.

Dalam rekaman tersebut Anggoro menyampaikan langsung kepada AA bahwa telah terjadi pemberian uang senilai Rp6 Miliar kepada M Yasin,Ade Rahardja selaku Deputi Penindakan KPK, Bambang W (Direktur Penyidikan KPK) beserta tim penyidik dan sopir. Jumlah yang disebut Anggoro mencapai 12 orang.

Masalahnya, yang langsung menyerahkan uang itu bukan Anggoro, tetapi orang lain. Anggoro hanya mendengar informasi dari orang yang disebut sebagai Toni.Namun,Toni pun bukan orang yang bertemu langsung dengan pihak yang diklaim sebagai petinggi KPK.Toni dalam rekaman itu mengirimkan orang kepercayaannya untuk mengatur kasus PT Masaro yang sedang ditangani KPK.

Singkatnya, AA menerima laporan dari Anggoro, sementara Anggoro sendiri mendapatkan informasi dari pihak lain. Mata rantai informasi yang panjang ini mengakibatkan pengakuan Anggoro sulit dipercayai kebenarannya. Sebenarnya untuk meyakinkan bahwa dugaan suap itu benarbenar terjadi, surat pencabutan cekal terhadap Anggoro oleh “KPK”sudah disampaikan kepada polisi.

Sayangnya, data kedua ini pun sulit diyakini kebenarannya. KPK telah membantah dan mengatakan bahwa surat pencabutan cekal itu palsu. Demikian halnya, Dirjen Imigrasi sendiri hingga saat ini belum pernah menerima permintaan cabut cekal atas diri Anggoro dari KPK.

Jika surat itu benar, tentu Dirjen Imigrasi sudah mencabut status cekal Anggoro semenjak permintaan resmi dari KPK diajukan. Karena dua data pendukung dugaan suap di KPK sebagaimana diuraikan di atas lemah, dapat dibilang testimoni AA sebenarnya tidak dibekali oleh fakta hukum yang memadai.

Oleh karena itu, jika polisi tetap bersemangat dan maju pantang mundur untuk mengusut laporan AA tanpa konstruksi kasus suap yang kuat,tidak menutup kemungkinan adanya dorongan lain di luar motto “demi kebenaran dan keadilan”.

Tiga Penguasa

Gangguan terhadap KPK tidak bisa dilepaskan dari kasus korupsi yang ditanganinya, kemungkinan besar yang ingin meredam upaya KPK dalam memproses hukum kasus korupsi adalah merekamereka yang telah dirugikan atau terancam posisinya. Mereka dapat dibagi dalam tiga kelompok penguasa yang semuanya merasa terganggu oleh sepak terjang KPK. Pertama,penguasa di parlemen.

Politikus Senayan sepertinya sudah sangat gerah dengan langkah KPK dalam memberantas korupsi. Pada saat bidang penegakan KPK tidak memasuki ranah legislatif,bisa dibilang hampir tidak pernah ada tekanan yang berarti dari parlemen. Akan tetapi situasi menjadi berbeda tatkala satu per satu anggota DPR diproses KPK karena melakukan korupsi.

Mengingat tipikal korupsi di parlemen merupakan korupsi bersama- sama, tentu saja perlawanan terhadap KPK juga lebih kuat karena kelompok anti-KPK berasal dari berbagai latar belakang partai dan fraksi. Kedua, penguasa yang tidak menghendaki KPK bertindak terlalu jauh adalah elite politik di lingkungan eksekutif.

Sebagaimana kita tahu,sebagian besar terpidana korupsi yang sudah dijebloskan KPK ke penjara berlatar belakang pejabat eksekutif.Adanya pertautan kepentingan dalam berbagai macam kebijakan publik yang berbau suap acap melibatkan kalangan parlemen dan eksekutif sebagai pelaku korupsi.Tidak aneh jika penguasa eksekutif juga alergi terhadap gebrakan KPK.

Penguasa terakhir adalah pemodal atau pebisnis kotor.Mereka kerap menyogok pejabat publik untuk mendapatkan keuntungan, baik berupa proyek, fasilitas, proteksi maupun konsesi. Dari berbagai macam kasus korupsi yang diproses KPK, ketiga penguasa, yakni anggota parlemen, pejabat eksekutif, dan penguasa kotor, sering berada pada kasus korupsi yang sama.

Konspirasi tingkat tinggi untuk mengegolkan sebuah kebijakan publik yang akan menguntungkan pebisnis kotor telah membentuk kekuatan korupsi yang sulit diberantas. Meskipun Indonesia tidak dianggap sebagai negara yang dikuasai mafia obat terlarang seperti Italia, bentuk-bentuk kejahatan korupsi menunjukkan gejala sebagai kejahatan mafia.

Tak aneh bila,tanpa KPK,banyak skandal korupsi yang macet ketika ditangani kejaksaan dan kepolisian. Sepak terjang KPK secara langsung maupun tidak langsung telah memasuki wilayah kejahatan korupsi baru yang selama ini tak tersentuh hukum. Dalam bahasa lain, KPK telah melanggar batas-batas toleransi dari operasi penegakan hukum korupsi.

Batas-batas itulah yang selama ini dijaga begitu disiplin oleh AA sehingga meskipun secara kuantitatif KPK banyak menangani korupsi, tidak ada gejolak yang cukup berarti sebagai dampaknya. Kasus Agus Condro barangkali telah menabrak batas toleransi, demikian pula kasus-kasus korupsi yang lain. Kini KPK tengah menghadapi musuh sebenarnya. Kuat atau tidaknya KPK sangat tergantung dari seberapa ketat KPK menjaga integritasnya secara konsisten.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator
Indonesia Corruption Watch (ICW)


Tulisan disalin dari harian Seputar Indonesia, Selasa, 11 Agustus 2009

1 comment:

Anonymous said...

Lakukan pemilu ulang karena sby tidak pro terhadap pemberantasan korupsi di indonesia