Tuesday, September 15, 2009

Rezim Kerahasiaan Birokrasi

Kita sudah sepakat bahwa negara ini dikelola dengan cara-cara demokratis. Prinsip dari demokrasi sebagai sistem yang mengatur tata kelola negara adalah partisipasi yang luas dari publik untuk terlibat dalam setiap proses pengambilan kebijakan. Demikian halnya, konsep partisipasi juga berarti adanya mekanisme pengawasan publik atas penyelenggaraan negara.

Oleh karenanya, jaminan berfungsinya partisipasi yang efektif adalah transparansi. Dengan menerapkan prinsip transparansi, publik memiliki hak untuk mengakses segala macam informasi menyangkut kebijakan publik. Dokumen anggaran negara, laporan pertanggungjawaban pejabat publik, kontrak kerja antara pemerintah dengan swasta dan berbagai jenis informasi lainnya seharusnya dapat diakses dengan mudah untuk menjalankan fungsi pengawasan publik. Pada konteks ini, lahirnya UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menandai lahirnya komitmen besar negara untuk lebih terbuka terhadap warganya.

Akan tetapi, situasi politik seringkali tidak mendukung langkah perubahan. UU KIP yang seyogyanya berlaku efektif pada tahun 2010 terancam mandul seiring dengan dibahasnya RUU Rahasia Negara oleh DPR dan Pemerintah. Kontra wacana keterbukaan informasi publik dalam RUU Rahasia Negara telah menghadirkan sebuah ancaman terhadap hidup dan tumbuhnya konsep partisipasi dan transparansi publik. Apalagi jika materi RUU Rahasia Negara menegasikan aturan mendasar dari UU KIP.

Kerahasiaan dalam bingkai KIP


Gerak cepat Komisi I DPR RI yang intens mengadakan rapat dalam rangka membahas RUU Rahasia Negara menyisakan tanda tanya besar. Komitmen politik dalam membuka akses publik yang sebelumnya melekat pada UU KIP kini nyaris tak jelas wujudnya oleh karena semangat DPR-Pemerintah untuk menyelesaikan RUU Rahasia Negara menjadi UU.

Pembahasan RUU Rahasia Negara tentu patut kita sayangkan karena secara substansial, kita baru akan menuju tahap awal era keterbukaan informasi publik. Terkesan, DPR hanya ingin mencapai target program legislasi nasional (Prolegnas) tanpa memperhitungkan aspirasi publik atas penolakan UU Rahasia Negara dan implikasi lahirnya UU Rahasia Negara terhadap kebebasan publik untuk mendapatkan informasi.

Paling tidak tersisa beberapa masalah esensial yang terus menjadi perdebatan publik hingga saat ini. Masalah itu antara lain signifikansi UU Rahasia Negara dalam bingkai kebebasan informasi publik. Sebenarnya konsep rahasia negara bukan sesuatu yang ditolak mentah-mentah oleh kalangan masyarakat sipil yang memperjuangkan demokratisasi. Pentingnya mengamankan informasi strategis negara ataupun informasi penting lainnya yang harus dirahasiakan merupakan suatu hal yang tidak keliru.

Akan tetapi dalam kerangka demokrasi, semestinya hal-hal yang diklasifikasikan rahasia oleh negara karena nilai strategisnya masuk dalam pengertian informasi yang dikecualikan. Bukan kemudian diatur sendiri dalam sebuah UU yang tegas-tegas memunculkan rezim kerahasiaan baru. Sebenarnya dalam UU KIP, nomenklatur pengecualian telah diatur, yakni pasal yang mengatur tentang pembatasan informasi yang bisa diakses oleh publik demi kepentingan negara.

Kerahasiaan Siapa?

Dalam rangka mengefektifkan agenda pemberantasan korupsi, Indonesia bersama-sama masyarakat internasional turut mengambil peran aktif dengan meratifikasi United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Sebagai strategi nasional, pada awal pemerintahan SBY-Kalla, telah lahir pula kebijakan Inpres No 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi yang didalamnya sangat menekankan pentingnya nilai transparansi. Bahkan secara konkret, Inpres No 5 Tahun 2004 memberikan kewajiban bagi aparat negara untuk mempercepat pemberian informasi kepada publik atas hal yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi.

Jika RUU Rahasia Negara dipaksakan lahir hanya untuk mengakomodasi kepentingan pihak tertentu saja, dampak terburuknya adalah mandegnya agenda reformasi birokrasi yang dicanangkan pemerintah, sekaligus berarti terhambatnya agenda pemberantasan korupsi nasional. Sebagaimana kita tahu, masalah terbesar dari maraknya korupsi di Indonesia adalah karena budaya aparatur negara yang sangat tertutup. Lahirnya UU KIP bertujuan merombak sifat birokrasi yang penuh dengan rahasia. Oleh karena itu, keberadaan UU Rahasia Negara akan dijadikan alat legitimasi bagi birokrasi negara untuk menutup akses informasi kepada publik. Ini artinya eksistensi UU KIP kemungkinan besar akan kehilangan ruhnya.

Kontraproduktif

Jika kita coba cermati lebih dalam beberapa materi yang ada dalam RUU Rahasia Negara, akan ditemukan beberapa poin krusial yang potensial menjadi kontraproduktif dengan agenda pemberantasan korupsi. Karena untuk hal-hal yang elementer sekalipun seperti laporan pembelanjaan dan alokasi anggaran negara, hal ini telah dikategorikan sebagai informasi yang dirahasikan.

Menurut analisis ICW, setidaknya terdapat 12 pasal krusial yang kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi. Salah satu hal yang punya implikasi serius terhadap upaya pemberantasan korupsi adalah pengaturan mengenai rahasia negara dalam konteks pengadaan di instansi militer/Departemen Pertahanan.

Seperti kita tahu, sebenarnya tanpa diatur dalam UU Rahasia Negara, praktek pengadaan yang terjadi di instansi militer sangatlah tertutup. Tak heran jika indikasi terjadinya skandal korupsi dalam proyek pengadaan alutsista semisal kasus helikopter MI-17, Tank Scorpion dan lain sebagainya kerap muncul. Akan tetapi pengusutan korupsi dalam proyek-proyek yang berkaitan langsung dengan alutsista sering menemui jalan buntu karena tembok kerahasiaan di tubuh militer. Jika kondisi yang demikian diperkokoh dengan UU Rahasia Negara, kita tidak memiliki celah sedikitpun untuk mengontrol penggunaan anggaran negara di instansi militer, maupun di instansi pemerintah lainnya.

Demikian halnya, karena setiap informasi yang diklasifikasikan rahasia negara dalam RUU Rahasia Negara tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan, berbagai macam kasus korupsi yang berkaitan dengan hal itu dipastikan akan macet penanganannya. Bagaimana mungkin penyidik akan meneruskan kasus korupsi di Pengadilan jika dokumen atau informasi yang dimiliki tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan.

Kerangka Rahasia Negara yang demikian juga berarti adanya pemberian kekebalan/impunitas bagi penyelenggara negara terhadap proses hukum. Jika budaya korupsi yang masih kuat ditopang dengan regulasi khusus yang mengatur kerahasiaan, maka RUU Rahasia Negara hanya akan memperkuat sistem kerahasiaan birokrasi (bureaucratic secrecy) yang akhirnya akan melembagakan korupsi dalam struktur pemerintahan. ***

Oleh: Adnan Topan Husodo

Tulisan disalin dari harian Jakarta, 4 September 2009

No comments: