Catatan Hukum 2009:
Tahun 2009 dilewati dengan berbagai peristiwa hukum yang dramatis, sekaligus menyedihkan. Kita tentu akrab dengan nama Prita Mulyasari yang menulis uneg-uneg pelayanan rumah sakit lewat email, Mbok Minah yang mengambil 3 biji kakao tanpa ijin pemilik dan sederet wong cilik lainnya yang senasib dengan Prita dan Mbok Minah. Mereka harus berhadapan dengan hukum karena tindakan yang menurut penegak hukum, dikategorikan sebagai pelanggaran pidana. Bahkan untuk kasus tertentu, ‘korban’ hukum tidak hanya orang kecil, akan tetapi juga pejabat negara yang tengah berusaha menegakkan hukum, sebut saja dua pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.
Mereka adalah para korban hukum bercitra rasa teks kaku dan beraroma suap. Hukum yang bekerja dengan kacamata legal-formal, dilumuri oleh gula-gula uang sehingga memproduksi secara terus-menerus rasa ketidakadilan. Padahal secara ideal, hukum menjadi alat untuk memperoleh keadilan. Sebuah ironi yang masih harus kita hadapi dalam sebuah rezim yang menurut kabar, sudah demokratis.
Jika produk hukum adalah ketidakadilan, bangsa ini perlu wamas diri karena kebuntuan dalam mencari kebenaran akan dipecahkan dengan cara-cara yang tak beradab. Main hakim sendiri, kekerasan dan berbagai cara apapun yang mengarah pada vandalisme mengindikasikan reaksi atas kerja hukum yang juga serampangan. Oleh karena itu, mengutuk masyarakat yang senang dengan tindakan main hakim sendiri adalah sebuah kekeliruan mendasar jika tidak menjawab persoalan krusial atas jatuhnya kredibilitas hukum dimata publik.
Hukum Milik Perorangan
Menyelidiki hancurnya citra hukum (dan penegaknya) dapat dimulai dengan sebuah pertanyaan, mengapa hukum hanya berlaku hanya untuk orang biasa? Jika diasumsikan proses hukum adalah netral, dalam pengertian berlaku untuk semua orang, maka dalam realitasnya, sejak awal hingga selesainya, proses hukum bisa diarahkan. Siapa yang mengarahkan, kebanyakan dari mereka adalah orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan untuk menggerakkan hukum beserta aparaturnya. Hukum pada akhirnya tak beda dengan mesin-mesin berat yang digunakan oleh Satpol PP untuk menggusur kios-kios liar pedagang kaki lima dan rumah-rumah kumuh di bantaran sungai.
Pendek kata, hukum di Indonesia telah diprivatisasi oleh sekelompok orang yang memiliki kekuasaan formal maupun uang. Lihat saja dalam kasus Cicak versus Buaya, dimana aktor utamanya, Anggodo sangat lugas mengatur proses hukum di Kepolisian untuk menjerat Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, dua Pimpinan KPK yang dijadikan sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran pidana yang tidak pernah jelas. Anggodo bak Kapolri tanpa seragam resmi dan tongkat komando, akan tetapi kekuasaannya bisa melebihi Kapolri yang sesungguhnya.
Anggodo dan orang-orang sejenisnya adalah perental hukum, menyewa penegak hukum agar berbuat dan bertindak sesuai dengan keinginannya. Fakta, bukti yuridis dan pasal-pasal pemidanaan dapat dikreasi sedemikian rupa supaya serasi dengan kebutuhan penyewa. Cacat hukum bisa menjadi sangat sempurna jika sudah disajikan dalam tuntutan dan dakwaan resmi di muka pengadilan. Dengan bahasa lain, hukum di Indonesia telah menjadi bisnis jasa. Anda memiliki banyak uang, berarti anda bisa memakainya. Jika tidak, lupakan soal keadilan karena keadilan ditentukan oleh seberapa banyak anda memiliki uang.
KPK sebagai Sandera Kekuasaan
Prita, Mbok Minah dan KPK adalah sama dan senasib meski dalam ruang dan dimensi yang berbeda. Jika hukum konvensional sudah dianggap gagal menjalankan misinya, keberadaan KPK dimaksudkan untuk merehabilitasi ketidakpercayaan publik yang akut terhadap penegakan hukum, khususnya dalam kasus korupsi. Pemulihan kepercayaan itu ditunjukkan dengan menyeret para pejabat negara ke pengadilan, mulai dari Kepala Daerah, mantan Menteri, Gubernur Bank Sentral, anggota DPR, hingga besan Presiden.
Namun tindakan KPK tampaknya membuat beberapa kalangan merasa tidak nyaman. Usaha untuk menjegal KPK yang telah mendapatkan kepercayaan publik yang cukup besar puncaknya ada pada kasus Cicak versus Buaya. Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah adalah simbol penganiayaan politik terhadap KPK yang telah terjadi terus menerus.
Sejak awal hingga sekarang, sejarah KPK memang dipenuhi oleh intrik dan upaya penjegalan. Wewenangnya terus dipersoalkan, produk hukumnya digugat, dasar hukumnya dijudicial review, kinerjanya diragukan dan pimpinannya dipidanakan. Dan mereka yang mempersoalkan KPK adalah elit politik, anggota DPR, pejabat Kepolisian dan Kejaksaan dan pengacara terdakwa korupsi.
Coba tengok, tak satupun bagian dari institusi negara yang ada memberikan dukungan terhadap KPK, kecuali putusan Mahkamah Konstitusi dan publik luas, termasuk pers. Ketika Bibit dan Chandra dipidanakan oleh Polisi, yang berada dibelakang KPK adalah publik dan media massa. Demonstrasi, protes di berbagai daerah dan tekanan publik melalui pemberitaan wartawan sangat memberikan pengaruh atas keputusan politik di level elit. Oleh Karena itu, sangat lucu jika Presiden SBY dalam pidatonya menyatakan akan berada di belakang KPK, akan tetapi baru mengambil keputusan ketika tekanan publik padanya sudah sangat keras.
Utang Budi KPK
Secara umum, tak akan banyak yang berubah dari kinerja hukum pada 2010. Usaha mengincar dan menjegal KPK akan terus terjadi, seiring dengan lahirnya RPP Penyadapan yang dirancang oleh Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo). Secara substansial, draft tersebut tak ada yang mendukung penegakan hukum, kecuali sebuah agenda tersembunyi dari kekuasaan politik untuk ‘mengontrol’ KPK.
Publik hanya dapat berharap banyak dari usaha penegakan hukum korupsi yang dilakukan KPK. Perlu dicatat bahwa penyelamatan KPK yang gemilang pada 2009 kemarin merupakan utang budi KPK yang harus dibayar kepada publik. Dukungan publik kepada KPK bukanlah cek kosong karena dibalik semua itu, ada harapan publik yang terus-menerus menyala dan KPK harus menjaganya supaya tidak redup ditelan kekecewaan.
****
No comments:
Post a Comment