PADA 2009, situasi pemberantasan korupsi di Indonesia diwarnai berbagai hal ironis. Di satu sisi, Indonesia dinilai mengalami banyak kemajuan atas meningkatnya indeks persepsi korupsi (IPK). Tetapi pada sisi yang berbeda, lembaga penegak hukum (KPK) yang turut memberikan kontribusi terhadap kenaikan IPK harus menghadapi banyak batu sandungan. Terakhir, dua pimpinannya, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, dikriminalisasi oleh kepolisian atas inisiatif dan rancangan seorang makelar kasus, Anggodo. Meski akhirnya kasus mereka berhenti karena tekanan publik yang keras, itu tidak menghilangkan sebuah fakta bahwa mafia keadilan masih bercokol kuat di institusi penegak hukum kita.
Pada level politik, dukungan untuk memberantas korupsi hampir tidak tampak. Bahkan, seorang Presiden SBY yang namanya disebut beberapa kali dalam rekaman pembicaraan Anggodo tidak menunjukkan respons yang memadai atas gentingnya kondisi hukum di Indonesia. Tim pemberantasan mafia hukum memang telah dibentuk SBY pascarekaman Anggodo diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi secara real, belum ada tindakan istimewa dalam rangka melawan jaringan mafia peradilan.
Demikian pula halnya di tingkat parlemen, cecaran terhadap KPK dalam rapat dengar pendapat dengan DPR jauh lebih menonjol daripada iktikad baik untuk bersama-sama KPK memberantas korupsi. Bahkan, anggota parlemen yang memiliki otoritas membentuk UU turut mengamini dan sangat bersemangat memereteli wewenang KPK. Itu sangat mungkin terjadi karena banyak anggota DPR yang ditangkap dan diproses hukum oleh KPK dalam kasus korupsi.
KPK Musuh Penguasa
Jika korupsi merupakan musuh bersama masyarakat, sebaliknya KPK yang telah menunjukkan kinerja cukup baik dalam memberantas korupsi adalah musuh bersama elite penguasa. Sepanjang sejarah keberadaan KPK, upaya melemahkan lembaga antikorupsi tersebut telah berlangsung sistematis dan tanpa henti. Usaha itu kian intens pada 2009, yang berujung pada konflik cicak versus buaya.
Setidaknya, dari konflik cicak versus buaya, kita dapat mengidentifikasi aktor-aktor besar yang menginginkan supaya KPK tidak terlalu banyak ''bertingkah''. Pertama, mereka yang menggunakan baju kebesaran sebagai wakil rakyat. Kita tentu masih ingat respons anggota DPR terhadap persoalan Bibit dan Chandra. Dengan bersembunyi di balik argumentasi proses yuridis yang harus dihormati, mereka meminta kerja kepolisian dalam melanjutkan kasus Bibit dan Chandra tidak diganggu. Hanya segelintir anggota DPR yang meminta supaya persoalan kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK dihentikan oleh kepolisian.
Di luar kasus Bibit dan Chandra, dasar hukum KPK yang dituangkan dalam UU No 30 Tahun 2002 juga diutak-atik oleh DPR. Terutama pada sisi wewenang KPK untuk melakukan penyadapan dan penuntutan kasus korupsi. Meski usaha memereteli otoritas KPK yang menjadi faktor determinan bagi keberhasilan KPK dalam mengungkap kasus korupsi telah gagal, hal itu tidak menutupi sebuah fakta bahwa DPR secara telanjang tidak menginginkan KPK memiliki kewenangan besar untuk memberantas korupsi. Ibarat buah simalakama, UU KPK yang telah dirancang DPR pada akhirnya juga menyeret anggota DPR sendiri ke hadapan hukum.
Kedua, penguasa di sektor bisnis seperti Anggodo. Di luar Anggodo yang kedapatan menjalin komunikasi ''mesra'' dengan aparat penegak hukum untuk menjerat dua pimpinan KPK, sebenarnya masih banyak Anggodo-Anggodo lain yang juga geram terhadap sepak terjang KPK. Mereka adalah para pengusaha yang besar karena mendapatkan kontrak-kontrak pemerintah maupun akses pendanaan dari bank-bank pemerintah melalui cara-cara KKN.
Ketiga, penguasa hukum yang menjadi pejabat di kepolisian maupun kejaksaan. Jika ditelusuri sejarahnya, rencana membentuk KPK sudah ditentang elite kejaksaan dan kepolisian. Mereka beranggapan kerja-kerja KPK akan tumpang tindih dengan kerja-kerja penegak hukum yang sudah ada.
Dalam perkembangannya, KPK dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah menjelma menjadi idola publik dalam memberantas korupsi. Sementara kejaksaan dan kepolisian harus terus menangkis kritik publik atas kinerja mereka yang tidak memuaskan dalam memberantas korupsi. Jika kita tengok kasus Bibit dan Chandra, nama-nama petinggi kepolisian dan kejaksaan ikut disebut-sebut dalam rekaman Anggodo.
Politik Pelemahan KPK
Sepanjang 2004-2009, usaha pelemahan terhadap KPK dilakukan tanpa henti. Inisiatif untuk ''mengendalikan'' KPK terus bermunculan. Secara umum, terdapat tiga cara utama dalam melemahkan KPK.
Pertama, melalui proses legislasi dan berbagai produk peraturan lainnya. Karena landasan KPK dalam bekerja adalah aturan, maka mengutak-atik aturan maupun produk hukum yang berhubungan dengan wewenang KPK adalah strategi politik yang jitu untuk melemahkan KPK.
Jika DPR dan pemerintah hendak mengatur wewenang KPK atau mengurangi wewenang KPK, itu merupakan bagian dari usaha ''mengendalikan'' KPK. Terakhir, Depkominfo menerbitkan draf RPP Penyadapan yang jika dikritisi lebih jauh, tidak ada satu ayat atau pasal pun yang mendukung kerja-kerja pemberantasan korupsi KPK.
Kedua, melalui gugatan hukum atas UU yang memayungi KPK maupun mempersoalkan proses penegakan hukum KPK. Modus ini sudah berlangsung sejak lama mengingat UU KPK adalah UU yang paling banyak digugat melalui judicial review di MK. Demikian juga, proses penegakan hukum KPK sering dipraperadilankan dengan alasan tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, melalui kriminalisasi terhadap KPK. Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah adalah dua pimpinan KPK yang menjadi simbol atas usaha kriminalisasi KPK. Untuk meredam langkah KPK dalam mengungkap kasus-kasus korupsi tertentu, pimpinan KPK perlu dipidana sehingga pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan.
Tampaknya, pemberantasan korupsi di Indonesia masih menjadi urusan publik dan pers semata sehingga ketika KPK hendak dilemahkan, yang berteriak lantang untuk menentang adalah masyarakat dan media massa. Oleh karena itu, KPK, publik, dan pers harus terus mewaspadai usaha pelemahan KPK yang sangat mungkin akan muncul kembali pada 2010. (*)
*). Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW
Tulisan dimuat di harian Jawa Pos, 29 Desember 2009
No comments:
Post a Comment