Wednesday, November 18, 2009

Menanti Ketegasan SBY

Oleh sebagian kalangan, Presiden SBY dikenal sebagai pemimpin yang peragu. Bahkan namanya pun kerap diplesetkan menjadi Soesilo 'Bimbang' Yudhoyono. Tak heran karena banyaknya pertimbangan dan perhitungan dalam mengambil keputusan, momentum krusial yang harus segera diputuskan menjadi lepas.

Terlalu menekankan aspek harmonisasi dalam setiap pengambilan keputusan menjadi salah satu pemicu adanya keraguan atau kebimbangan. Yang muncul ke permukaan bukan sosoknya sebagai seorang mantan perwira TNI, akan tetapi lebih lekatnya budaya Jawa pada dirinya. Oleh karena itu tidak heran jika muncul kesan Presiden memiliki dualisme dalam mengambil posisi. Pada konteks kasus Cicak lawan Buaya, hal ini sangat jelas terlihat.

Kini publik ingin melihat SBY sebagai seorang Presiden yang tegas. Rekomendasi Tim 8 yang dibentuk sebagai respon atas tekanan publik berkaitan dengan penahanan Bibit dan Chandra telah disampaikan kemarin. Pada intinya, rekomendasi Tim 8 terbagi ke dalam tiga aspek utama.

Pertama, usulan untuk menghentikan proses hukum terhadap kasus Bibit dan Chandra mengingat bukti yang dimiliki Polri sangat lemah. Penghentian itu bisa dengan mengeluarkan SP3 di Mabes Polri atau mendeponir kasus jika berkas perkara sudah P21 di Kejaksaan Agung.

Kedua, indikasi kuat adanya mafia hukum atau makelar kasus yang direpresentasikan oleh Anggodo dan beberapa pihak lain. Tim 8 menemukan sebuah fakta bahwa Anggodo adalah tokoh yang mengatur sedemikian rupa agar Bibit dan Chandra dapat menjadi tersangka. Ambisi Anggodo untuk menghentikan kasus PT Masaro (SKRT) bertemu dengan kepentingan Kabareskrim Polri, Susno Duadji yang kebakaran jenggot karena disadap oleh KPK dalam kasus Bank Century.

Ketiga, pemberian sanksi hukum tegas kepada berbagai pihak, baik pejabat yang ada di Kepolisian maupun Kejaksaan serta pihak lain yang dengan kekuatan uang, telah mengatur proses hukum. Tim 8 juga menyarankan agar Presiden membentuk Komisi Negara untuk mengawal reformasi lembaga hukum di Indonesia.

Penghentian Kasus Bibit dan Chandra

Sebelum rekomendasi Tim 8 diserahkan kepada Presiden, SBY menyempatkan diri untuk bertemu terlebih dahulu dengan Kapolri dan Jaksa Agung. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, apa yang sebenarnya dibicarakan? Secara positif, mungkin saja SBY telah mendengar atau mendapatkan bocoran mengenai isi rekomendasi Tim 8 sehingga pemanggilan terhadap Jaksa Agung dan Kapolri bisa dibaca sebagai teguran keras Presiden terhadap perilaku aparat penegak hukum kita.

Penulis mendengar informasi dari dalam Istana jika pada awalnya, Presiden sangat yakin bahwa kasus Bibit dan Chandra adalah sebuah fakta hukum. Isu mengenai pelemahan terhadap KPK pun ditepisnya. Akan tetapi setelah Tim 8 bekerja dan mengeluarkan rekomendasi, barangkali Presiden baru sadar bahwa informasi yang selama ini mengalir ke Istana sama sekali tidak akurat. Pertanyaannya, siapa yang menyampaikan informasi terus menerus kepada SBY sehingga Presiden sangat yakin bahwa Bibit dan Chandra telah melakukan pelanggaran hukum?

Penghentian kasus Bibit dan Chandra sebagaimana rekomendasi Tim 8 sering dibenturkan dengan argumentasi legal-formal bahwa proses hukum tidak boleh dihentikan karena tekanan politik atau opini publik. Presiden sendiri kadang terjebak pada format penalaran demikian sehingga ketika publik menuntut agar kriminalisasi Bibit dan Chandra dihentikan oleh Presiden, SBY beralasan bahwa dirinya tidak ingin mengintervensi hukum.

Satu hal yang harus diingat bahwa kriminalisasi atau rekayasa bukanlah proses hukum. Tentu saja publik akan sangat mengapresiasi aparat penegak hukum yang menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum. Namun manakala penegakan hukum telah didesain sedemikian rupa untuk menjadikan seseorang sebagai pesakitan, maka pada saat yang bersamaan, proses hukum itu sendiri menjadi gugur maknanya. Oleh karena itu, dalam kasus Bibit dan Chandra, kita tidak dapat mengkategorikan hal ini sebagai proses hukum, yang kuat adalah aroma krinimalisasi. Dengan demikian, Presiden memiliki posisi jelas untuk menghentikan kriminalisasi itu.

Mafia Hukum

Rekomendasi Tim 8 lainnya adalah bagaimana Presiden mengambil peran sentral dalam memerangi mafia hukum. Makelar kasus yang bergentayangan di lembaga-lembaga penegak hukum merupakan sebuah fakta yang tidak bisa diingkari lagi. Rekaman pembicaraan Anggodo dengan berbagai pihak telah menunjukkan dengan sangat telanjang, bagaimana mafia hukum beroperasi. Barangkali jika kita bisa mendengar pada kasus-kasus lain, akan banyak Anggodo-Anggodo lain pula yang memainkan peran sebagai pengatur.

Akan tetapi, sampai hari ini, SBY hanya merespon dengan sangat normatif. Pertama, meletakkan perang terhadap mafia hukum sebagai prioritas program 100 hari SBY. Kedua, membuat kotak pos pengaduan sebagai instrumen untuk memerangi mafia hukum. Kita tentu masih ingat bahwa sebelumnya, Presiden juga telah membuat berbagai macam kotak pos pengaduan. Dalam beberapa hal kotak pos mungkin dapat menjadi alat untuk mendapatkan informasi langsung mengenai apa yang terjadi pada masyarakat. Akan tetapi kotak pos tidak mungkin bisa menjadi alat yang efektif untuk memberantas mafia hukum.

SBY semestinya melakukan langkah-langkah darurat untuk memulihkan lembaga penegak hukum yang sudah lumpuh oleh praktek mafia hukum melalui perubahan struktur. Pencopotan Jaksa Agung dan Kapolri merupakan langkah pertama yang segera diputuskan. Argumentasinya sederhana, kedua orang itu sangat bertanggungjawab terhadap apa yang telah terjadi dalam kasus Bibit dan Chandra.

Suburnya praktek mafia hukum di institusi Kepolisian dan Kejaksaan menunjukkan bahwa Kapolri dan Jaksa Agung gagal dalam menjalankan misi perubahan. Apalagi jika posisinya, kedua pejabat itu mengetahui tingkah laku anak buahnya dalam menggiring sebuah kasus, akan tetapi tidak melakukan tindakan apapun. Pembiaran terhadap sepak terjang anak buahnya dalam menyalahgunakan jabatan dan wewenang merupakan sebuah kesalahan substansial seorang Pemimpin yang tidak bisa ditoleransi.

Langkah berikutnya, seiring dengan rekomendasi Tim 8, Presiden harus memulihkan kondisi KPK yang secara langsung mendapatkan pengaruh negatif atas usaha kriminalisasi terhadap Pimpinannya. Jaminan dari Presiden bahwa dalam mengambil keputusan, Pimpinan KPK tidak akan dikriminalisasi merupakan langkah positif untuk memberikan keyakinan penuh sekaligus sinyal dukungan Presiden terhadap eksistensi KPK.

Harus diakui, sedikit banyak, KPK telah memberikan kontribusi penting untuk memerangi mafia hukum di Indonesia. Tertangkapnya Urip Tri Gunawan beserta makelar kasusnya, Arthalyta (Ayin) seharusnya menjadi momentum stragegis bagi SBY untuk melakukan pembersihan di tubuh aparat penegak hukum. Kita menyesal pada saat itu, Presiden tidak mengambil posisi apapun. Kini, Anggodo adalah momentum yang lain. Kita tidak ingin Presiden kembali diam sehingga akan muncul Anggodo-Anggodo berikutnya.

****
Tulisan dimuat di harian Seputar Indonesia, Kamis, 19 November 2009

No comments: