Boleh dibilang, wacana kriminalisasi dua Pimpinan KPK oleh Mabes Polri paska penahanan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah terbagi ke dalam dua babak besar. Babak pertama adalah pemutaran rekaman pembicaraan antara Anggodo Widojo (AW) dengan para pihak, baik pejabat di Kejaksaan Agung maupun orang-orang yang berasal dari Mabes Polri serta pihak ketiga dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara babak kedua adalah masuknya isu 'proses hukum' Bibit dan Chandra dalam panggung politik parlemen yang dimulai dengan digelarnya Rapat Dengar Pendapat antara Komisi III DPR dengan Mabes Polri kemarin.
Membandingkan dua episode cerita diatas, terasa ada kesan yang sangat berbeda. Rekaman pembicaraan AW dengan lawan bicaranya yang diperdengarkan kepada publik dalam sidang MK tentu dibuat tanpa skenario, alamiah, apa adanya, blak-blakan dan mengandung berbagai macam informasi penting yang bisa diserap. Hal itu mengingat AW tidak tahu sama sekali jika dirinya tengah disadap oleh KPK. Demikian pula lawan bicara AW juga sangat mungkin tidak mengendus sama sekali soal penyadapan itu. Justru karena ketidaktahuan mereka itulah komunikasi dua arah yang diungkap oleh MK sangat mustahil merupakan hasil rekayasa KPK, sebagaimana tudingan pengacara AW, Bonaran Situmeang yang disampaikan kepada media massa.
Dirty talked antara adik buron kasus korupsi SKRT yang masih disidik KPK, Anggoro Widjojo dengan aparat penegak hukum dan para perantara telah menyingkap sedalam-dalamnya realitas mafia hukum yang selama ini kerap ditutup kabut pembuktian. Tidak ada yang bisa mengelak dari semua kebenaran pembicaraan itu, sekali lagi karena mengingat tidak ada skenario sama sekali, meskipun jika melongok materi pembicaraan, yang sedang digagas adalah sebuah skenario besar oleh sutradara bernama AW. Kemarahan publik atas skandal menggemparkan itu tak terbendung. Dukungan terhadap Bibit dan Chandra di jejaring sosial sudah menembus angka 900 ribu. Forum-forum diskusi publik di media online semarak, aksi massa di berbagai daerah merebak dan tuntutan yang lebih besar untuk mendorong reformasi total di lembaga kepolisian dan kejaksaan juga bergema dimana-mana.
Panggung Politik Pencitraan
Sayangnya, dorongan publik yang begitu keras agar ada pembenahan yang serius di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan tidak direspon secara serius oleh petinggi Gedung Bundar dan Trunojoyo. Mundurnya A.H Ritonga, Wakil Jaksa Agung dan Susno Duadji (SD), Kabareskrim Polri hanya merupakan respon sesaat yang tidak dilandasi oleh semangat perubahan. Terbukti, Jaksa Agung, Hendarman Supandji justru menyesalkan sikap Ritonga yang mengundurkan diri, sementara dalam RDP Mabes Polri-Komisi III, publik baru menyadari bahwa SD ternyata tidak mundur selamanya, akan tetapi sementara waktu saja sepanjang pemeriksaan yang dilakukan TPF digelar. Kapolri sendiri menjamin, SD akan kembali menjadi Kabareskrim jika TPF sudah selesai menjalankan tugasnya.
Dari sikap diatas, ada sebuah kesimpulan sementara yang bisa ditarik bahwa rekaman pembicaraan antara AW dengan berbagai kalangan tidak dianggap sama sekali oleh Kapolri. Persahabatan yang intim antara penjahat dengan penegak hukum dipandang bukan merupakan masalah yang serius. Sebaliknya, dengan berlindung dibalik asas legal-formal, Kapolri masih harus menunggu kepastian mengenai benar-tidaknya rekaman tersebut, perlu mengajak saksi ahli, pihak ini dan itu untuk memastikan bahwa sang sutradara, AW dapat dipidana. Semua bergerak sangat lamban. Bahkan, setelah didengarnya rekaman itu di MK, penegakan hukum berjalan sebagaimana biasa, business as usual.
Argumentasi legal-formal juga nampak sekali ketika Kapolri menjawab pertanyaan, mengapa SD bisa bertemu dengan Anggoro Widjojo di Singapura, meskipun pada saat itu, Anggoro Widjojo merupakan buron kasus korupsi KPK? Jawabannya sangat sederhana, karena UU tidak melarang Polisii melakukan hal itu. Lain halnya dengan Antasari Azhar, karena posisinya sebagai Ketua KPK, ia terikat oleh kode etik dan UU KPK yang melarang pertemuan dengan pihak yang terkait dengan kasus korupsi. Esensi penegakan hukum tidak muncul sama sekali karena diredam oleh pendekatan legal-formal. Logika sederhana mengatakan, karena sesama penegak hukum, seharusnya ada sikap yang sama terhadap Anggoro Widjojo.
RDP Mabes Polri-Komisi III justru menjadi ajang pembelaan diri yang membanggakan Polri. Tepuk tangan meriah dari anggota DPR, curhat Kabareskrim mengenai sanak familinya, pemaparan fakta-fakta hukum mengenai kasus Bibit dan Chandra, diimbangi dengan pertanyaan normatif anggota Komisi III kepada Kapolri dan Kabareskrim menjadikan diskusi kemarin tak ubahnya sebuah reality show. Seolah-olah dihakimi, seakan-akan dinistakan dengan melibatkan aspek emosi menambah unsur dramatisasi yang luar biasa sebagaimana adegan sinetron. Hasilnya efektif karena sikap anggota Komisi III DPR mendukung penuh dan berada di belakang Mabes Polri.
Politik Parlemen
Periode RDP Mabes Polri dengan Komisi III kemarin merupakan antiklimaks dari bencana mafia hukum Indonesia. Sikap DPR yang berseberangan dengan arus publik memang sudah menjadi hal yang biasa terjadi. Alih-alih menggagas sebuah pendekatan yang efektif untuk memberantas mafia hukum, pernyataan yang terlontar dari anggota dewan terhormat terkesan menoleransi apa yang sudah terungkap dalam rekaman pembicaraan AW dengan kawan-kawannya. Barangkali satu hal yang memicu lahirnya pernyataan-pernyataan normatif itu adalah tiadanya bahan informasi yang memadai sebelum rapat digelar.
Kondisi ini tentu saja akan mencelakai harapan publik mengingat panggung politik merupakan arena yang bisa menentukan arah kebijakan dalam penegakan hukum. Jika anggota DPR bersikap sangat 'ramah' dengan mafia hukum, bukankah tidak mustahil karena ada kepentingan yang terganggu disana? Harus diingat, anggota Komisi III DPR diisi oleh para politisi yang berlatar belakang pengacara. Mereka memiliki firma hukum yang setiap saat bisa menerima klien dari kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh KPK.
Kepentingan lain yang tak kalah menonjol adalah kemungkinan masih tersangkutnya beberapa anggota DPR senior dalam dugaan kasus korupsi di KPK. Jika Komisi III DPR bisa begitu pedas dan keras terhadap KPK, lain halnya jika berhadapan dengan Mabes Polri. Sikap yang akomodatif, pengertian, pemakluman dan sederet kata lain yang mewakili sebuah makna, status quo
Politik parlemen dalam pemberantasan korupsi masih sangat abu-abu. Sikap politik yang tidak tegas terhadap praktek mafia hukum semakin menguatkan opini publik bahwa DPR memang tidak bisa diharapkan. Pidato Presiden tentang program 100 hari yang menjadikan agenda pemberantasan mafia hukum menjadi prioritas pertama tak mendapatkan respon dan dukungan yang memadai dari Komisi III. Padahal kita tahu Ketua Komisi III merupakan wakil dari Partai Demokrat. Kita khawatir, wacana untuk memberantas mafia hukum hanya menjadi pelipur lara sesaat dan bertujuan hanya untuk meredam kemarahan publik. Tanpa agenda politik, tanpa desain yang komprehensif, tanpa melibatkan berbagai pihak dan tanpa komitmen yang sungguh-sungguh dalam memberantasnya, mafia hukum masih akan bercokol di lembaga penegak hukum kita.***
No comments:
Post a Comment