Pada 9–13 November tahun ini digelar International Anti Corruption Conference (IACC) yang merupakan konferensi global antikorupsi. Dalam konferensi ini berbagai macam elemen antikorupsi bertemu,mulai dari aktivis civil society, akademisi, peneliti, perwakilan pemerintah, serta pelibatan sektor swasta.
Tujuan dari konferensi ini adalah untuk membangun komitmen bersama gerakan antikorupsi dalam spektrum global. Tekanan pada globalisasi pemberantasan korupsi mengindikasikan semakin kuatnya perhatian internasional pada isu korupsi, sekaligus membuka peluang yang kian besar bagi kerja sama internasional dalam memberantas korupsi. Dalam IACC kali ini tema besar yang diangkat adalah Restoring Trust: Global Action for Transparency.
Tema ini menjadi pokok pembicaraan untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam agenda pemberantasan korupsi. Mengembalikan kepercayaan publik bukan tugas yang mudah karena membutuhkan tindakan nyata, bukan hanya dari pemerintah tetapi juga sektor swasta dan civil society. Indonesia sendiri, melalui perwakilan beberapa NGO seperti Transparency Internasional Indonesia (TII) dan Indonesia Corruption Watch (ICW),
menyampaikan beberapa isu krusial yang menjadi persoalan serius dalam mengefektifkan pemberantasan korupsi di Indonesia.Selain perwakilan NGO Indonesia,Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga diundang sebagai salah satu narasumber sekaligus peserta. Sayangnya tidak ada perwakilan Pemerintah Indonesia yang mengikuti agenda akbar tersebut.
Ironi Komisi Independen
Membaca perkembangan terakhir agenda pemberantasan korupsi di Indonesia,terdapat dua isu pokok yang secara signifikan memengaruhi keberhasilan sekaligus kegagalan program pemberantasan korupsi. Pertama, fenomena pelemahan komisi independen KPK. Dalam konteks global,upaya untuk memandulkan KPK bukan hanya menjadi persoalan dalam negeri semata.
Di beberapa negara lain seperti Korea Selatan,Nigeria,dan Thailand, masing-masing komisi independen pemberantas korupsi menghadapi tantangan serius yang berhubungan dengan isu pelemahan. Di Nigeria,Nuhu Nibadu,salah seorang anggota komisi independen yang berwenang menangani korupsi harus melarikan diri keluar negeri karena menghadapi intimidasi dan ancaman pembunuhan dari politisi setempat. Hal itu disebabkan Ruhu dan rekan- rekannya membongkar kasus korupsi yang melibatkan politisi berpengaruh di Nigeria.
Di Thailand, di mana IACC digelar tahun ini, menghadapi persoalan yang sedikit berbeda. Para anggota komisi independennya dicopot oleh penguasa Thailand pasca-Thaksin Shinawatra. Sementara di Korea Selatan, komisi antikorupsinya dilebur dengan lembaga yang sudah ada dan ditempatkan di bawah kendali presiden.Untuk yang terakhir, alasannya sungguh tidak masuk akal karena pemberantasan korupsi dianggap bisa mengganggu akselerasi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Sesungguhnya realitas pelemahan KPK merupakan sebuah fakta yang ironis karena dalam konteks global komisi independen sudah disepakati sebagai jawaban atas mandulnya penegakan hukum dalam kasus korupsi. Bahkan dalam konferensi negara peserta konvensi UNCAC yang diselenggarakan di Doha,Qatar,November 2009 lalu, salah satu rekomendasinya adalah peningkatan tanggung jawab negara peserta untuk menjaga, memelihara, dan memperkuat lembaga antikorupsi yang independen.
Selain itu, salah satu prinsip utama konvensi UNCAC adalah menempatkan komisi independen pemberantasan korupsi sebagai lembaga yang tetap,bukan ad hoc. Dalam konteks Indonesia,KPK yang mulai menunjukkan kinerjanya justru dilemahkan secara politik. Lingkungan politik tidak mendukung sama sekali keberlanjutan KPK sehingga berimbas pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang pada tahun 2010 tidak beranjak dari skor 2,8, atau sama dengan tahun sebelumnya.
Demikian halnya wacana politik dominan selalu mengasumsikan bahwa secara hukum KPK adalah lembaga sementara.Eksistensinya bisa dihapuskan sepanjang kepolisian dan kejaksaan sudah mampu memberantas korupsi secara efektif. Kedua, isu pokok yang disampaikan dalam konferensi oleh delegasi Indonesia adalah kegagalan pemerintah dalam mengomandoi agenda pemberantasan korupsi.
Agenda strategis dan penting yang seharusnya dapat berjalan jika ada kemauan politik pemerintah adalah reformasi aparat penegak hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan. Catatan merah kedua lembaga ini sudah banyak dikoleksi. Terakhir dalam kasus Gayus Tambunan, salah satu terdakwa kasus mafia pajak yang seharusnya mendekam di penjara Brimob Kelapa Dua, Depok, justru bisa berlenggang kaki ke Bali untuk menyaksikan pertandingan tenis dunia.
Bertubi-tubinya fakta atas bobroknya moral aparatur penegak hukum seharusnya sudah cukup bagi pemerintah untuk menegaskan kembali komitmennya terhadap pemberantasan korupsi.Tentu tidak pada tempatnya kita mengatakan pemerintah takut pada aparat penegak hukum. Barangkali yang lebih tepat, memperbaiki aparat penegak hukum adalah prioritas kerja yang belum mampu diselesaikan oleh pemerintah.
Hilangnya Golden Moment
Sudah banyak momentum perbaikan yang gagal dimanfaatkan dengan baik oleh Presiden. Di luar kasus Gayus yang baru terangkat, kasus rekening gendut di Mabes Polri, kasus penangkapan Urip Tri Gunawan,kasus dugaan keterlibatan aparat penegak hukum dalam berbagai macam praktik kejahatan merupakan golden momentyang hilang karena sikap pemerintah yang tidak jelas.
Sebaliknya,upaya mendorong reformasi penegakan hukum oleh pemerintah masih terlihat kurang serius, terutama saat Presiden lebih memilih untuk mengangkat Kapolri baru Timur Pradopo yang memiliki persoalan latar belakang pada isu penegakan HAM di Indonesia dibandingkan yang lain. Pertimbangannya sungguh sangat politis, sekedar untuk menjaga suhu politik di parlemen tidak bergejolak. Presiden memang telah membentuk Satgas Mafia Hukum, akan tetapi kinerja Satgas Mafia Hukum tidak optimal dan gagal menyentuh akar masalah mafia hukum dan hanya menjadi alat pencitraan pemerintah.
Harus ada keberanian dari Presiden untuk menggebrak dan mengambil alih tongkat komando pemberantasan korupsi. Demikian halnya dengan isu reformasi birokrasi yang dalam survei KPK tahun 2010 tidak mengalami kemajuan.KPK baru saja melansir hasilsurveiIndeksIntegritasSektor Publik yang kesimpulannya mengecewakan. Dari skala integritas tertinggi 10, sektor publik hanya mendapatkan angka rata-rata skor 5,42 , atau turun dibandingkan skor tahun lalu.
Hasil survei itu menggambarkan betapa buruknya kinerja birokrasi dan tingkat korupsi di lembaga birokrasi yang tidak berkurang. Ini sekaligus membuktikan bahwa ternyata kenaikan pendapatan (renumerasi) pegawai negeri bukan jawaban yang tepat untuk menjalankan agenda reformasi birokrasi. Terakhir,Presiden juga belum menandatangani Stranas Pemberantasan Korupsi yang sudah disusun sejak awal pemerintahan SBY-Boediono terbentuk.
Padahal, Stranas Pemberantasan Korupsi merupakan guidelines yang disusun oleh pemerintah untuk mengawal agenda pemberantasan korupsi. Dalam situasi negara acuh tak acuh terhadap pemberantasan korupsi, tampaknya sulit memperbaiki kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga penegak hukum.(*)
Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator
Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan disalin dari Harian Sindo, 15 November 2010
No comments:
Post a Comment