Wednesday, June 10, 2009

Menerka Ujung Kasus Agus Condro

Setelah sekian lama publik menanti, KPK meningkatkan status kasus dugaan suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI pada Juni 2004 lalu dari penyelidikan ke penyidikan. Hal itu ditandai dengan penetapan empat tersangka pertama, yang saat ini semuanya berasal dari kalangan DPR. Mereka adalah Endin A.J Soefihara (anggota DPR dari fraksi PPP), Dudi Makmun Murod (anggota DPR dari fraksi PDI P), Hamka Yamdu (mantan anggota DPR dari fraksi Golkar) dan Udju Djuhaeri (mantan anggota DPR dari Fraksi TNI/Polri).

Dari latar belakang para tersangka yang berbeda fraksi, semakin menguatkan dugaan bahwa pemberian cek perjalanan yang nilainya ditaksir Rp 500 juta per lembar itu tidak hanya melibatkan fraksi besar di Komisi IX DPR periode 1999-2004, akan tetapi hampir sebagian fraksi yang ada didalamnya. Kalkulasinya mudah, dari total 56 anggota Komisi IX DPR, calon pejabat publik yang ingin terpilih harus mendapatkan sekurang-kurangnya 50+1 suara dukungan.

Sementara komposisi anggota DPR di Komisi IX tidak ada satupun fraksi yang memiliki anggota mayoritas mutlak. PDI P sebagai fraksi terbanyak hanya diwakili oleh 17 anggota, disusul Golkar dengan 15 kader, 7 dari PPP, 5 anggota dari PKB, fraksi reformasi berjumlah 5 anggota dan 4 dari fraksi TNI/Polri. Tiga suara tersisa dibagi rata untuk fraksi Daulat Ummat, fraksi Bulan Bintang dan fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia.

Dari catatan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI pada Juni 2004 silam, total dukungan yang diberikan untuk Miranda Gultom mencapai 41 suara. Jika seluruh suara fraksi Golkar, PDI P, PPP dan TNI/Polri digabung, akan terdapat 41 suara yang artinya klop dengan dukungan yang didapat Miranda Gultom saat pemilihan. Dengan demikian, bisa diduga, semua anggota fraksi diatas juga turut menerima suap.

Naik paska Antasari

Spekulasi bahwa kasus Agus Condro tidak akan dapat diproses KPK kini telah dibayar kontan dengan penetapan empat tersangka. Masalahnya, kasus ini naik statusnya menjadi penyidikan setelah Ketua KPK, Antasari Azhar harus dinonaktifkan karena menjadi tersangka kasus dugaan pembunuhan. Ini bisa diartikan, ada masalah non-teknis di KPK selama AA menjadi Ketua KPK yang membuat kasus suap yang dilaporkan Agus Condro begitu lama tertahan di tingkat penyelidikan.

Oleh karena itu, penting artinya bagi Komite Etik KPK yang kini tengah mempelajari dan mendalami berbagai dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua KPK non-aktif, AA untuk melihat juga kemungkinan pelanggaran pada penanganan berbagai kasus korupsi di KPK. Langkah ini penting untuk mengembalikan KPK sebagai lembaga independen yang kredibel dan memiliki integritas tinggi.

Agar proses Komite Etik bisa lebih objektif dan mendalam hasilnya, alangkah baiknya jika pimpinan KPK saat ini mengakomodasi perwakilan masyarakat untuk masuk sebagai anggota Komite. Mereka bisa berasal dari kalangan akademisi, tokoh LSM atau tokoh masyarakat yang sudah diakui dan dikenal luas integritas dan kredibilitasnya.

Calo Perbankan
Belajar dari kasus suap BI terdahulu yang melibatkan Gubernur BI dan petinggi BI lainnya, penetapan empat tersangka oleh KPK dalam dugaan kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI bisa dilihat sebagai langkah awal saja. Ini artinya, KPK tidak akan mungkin menghentikan proses hukum itu hanya untuk Endin, Udju, Hamka Yamdu dan Dudi Makmun Murod.

Sebagai sebuah kasus politik uang, tentu ada yang disuap dan ada yang menyuap. Saat ini KPK baru berhasil mengungkap sebagaian kecil pihak yang menerima suap. Sementara yang memberikan suap belum diproses sama sekali. Dengan demikian, ada pekerjaan rumah bagi KPK untuk mengungkap semua anggota Komisi IX yang telah menerima cek perjalanan sebagaimana sudah dilaporkan oleh PPATK.

Karena praktek politik uang di DPR merupakan bagian dari bentuk kejahatan teroganisir, maka sudah dapat dipastikan jika ada yang menjadi bos dan anak buah. Merujuk pada pengakuan Agus Condro ke KPK, bisa disebut bahwa Agus Condro adalah anak buah. Dirinya tidak mengetahui sama sekali transaksi politik tersebut kapan dimulai, apa materi kesepakatan dan siapa saja yang terlibat dalam kesepakatan-kesepatan tersebut.

Pendek kata, kegiatan semacam itu bukan merupakan tugas Agus Condro, akan tetapi ada petinggi di Komisi IX yang lebih berwenang untuk melakukan negosiasi. Dengan begitu, mengungkap siapa otak dibalik suap itu merupakan tanggungjawab KPK yang telah menetapkan beberapa anggota DPR sebagai tersangka. Tentu kita tidak ingin melihat bahwa proses hukum KPK hanya menyeret orang-orang yang menjadi bagian kecil saja dari skandal besar tersebut.

Pekerjaan berat KPK lainnya adalah mengungkap siapa yang membiayai transaksi politik uang dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Kemungkinannya dua, pertama, transaksi itu dibiayai sendiri oleh Miranda Gultom, atau kedua, ada pihak lain yang menjadi donatur agar anggota Komisi IX memilih Miranda.

Kemungkinan yang pertama sangat kecil. Pasalnya, catatan kekayaan Miranda Gultom tahun 2001 yang dilaporkan ke KPKPN hanya berkisar 6 miliar rupiah. Sangat mustahil dalam kurun waktu tiga tahun, yakni pada Juni 2004, Miranda Gultom mampu membiayai pemilihan dirinya hingga mencapai Rp 24 miliar. Sangat tidak masuk akal dalam kurun waktu diatas, kekayaan Miranda melonjak hingga mencapai 400 persen.

Oleh karena itu, kemungkinan kedua menjadi lebih logis, yakni adanya donatur yang memberikan dukungan finansial penuh agar Miranda terpilih. Saksi berinisal 'N' yang disebut-sebut oleh KPK bisa jadi adalah Nunung yang dulu sempat beberapa kali diperiksa oleh KPK. Nunung adalah istri Adang Dorodjatun, mantan pejabat Polri dan mantan calon Gubernur DKI Jakarta. Pertanyaannya, dalam kapasitas sebagai apa saksi berinisial 'N' diperiksa oleh KPK jika bukan karena terkait dengan aliran uang ke anggota Komisi IX?

Sementara jika melihat latar belakangnya, 'N' bukanlah pihak yang memiliki kepentingan langsung dengan sebuah bisnis yang berkaitan dengan kebijakan pengawasan Bank Indonesia. Oleh karena itu, hipotesis yang bisa diajukan adalah bahwa 'N' bukanlah penyumbang sesungguhnya. Bisa jadi dia hanya sebagai perantara saja dalam kasus tersebut. Lantas, siapa yang menjadi calo dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI kala itu? Melakukan pemeriksaan intens terhadap 'N' barangkali adalah awal bagi KPK untuk membongkar siapa-siapa aktor utama dalam kasus suap yang dilaporkan Agus Condro.
****

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW

Disalin dari jawapos, 11 Juni 2009

2 comments:

Anonymous said...

Pada saat maling tertangkap, dia pasti hanya akan mengaku bahwa "baru satu kali itu saja dia melakukan pencurian" ... sama halnya dengan anggota DPR. mereka sudah terbiasa memeras pasien yang akan masuk ke ruang prakteknya, di komisi manapun. jadi saya tidak mengerti cara penyelesaian yang terbaik: membakar penghuni atau membakar rumahnya. yang pertama kayaknya sudah dipraktekkan berulang-ulang tapi tidak manjur ..

Anonymous said...

hrs pula di bedakan,mana uang suap mana uang hadiah yaitu hrs cari tau : kapan travelcek itu d berikan,,, sesudah pemilihan kah atau sebelum??? itu yg nti bs mnjwb apakah itu uang hadiah atau suap. jgn buru2 tetapkan tersangka,dll, , mana 'azas praduga tak bersalah'nya. saya rasa pihak trkait lbh pintar drpd saya..utk mngungkap kebenaran tanpa hrs menyakiti perasaan org bnyk..