Saturday, June 27, 2009

Bahaya Masih Ancam KPK

Perlahan tapi pasti, KPK sepeninggal ketuanya, Antasari Azhar (AA), seperti tancap gas dalam menangani berbagai perkara korupsi. Empat pimpinan KPK, antara lain, melakukan gebrakan dengan menetapkan tiga anggota DPR sebagai tersangka kasus korupsi Tanjung Api-Api. Mereka adalah Azwar Chesputra, Fahri Andi Leluasa, dan Hilman Indra yang semua merupakan anggota Komisi IV DPR.

Penindakan KPK belum berhenti karena BUMN juga menjadi sasaran. Setelah sekian lama tidak pernah menyentuh korupsi di wilayah perusahaan negara, KPK tanpa AA menangani kasus dugaan korupsi proyek CMS PLN di Jawa Timur. Mantan general manager PLN Jawa Timur berinisial HS pun telah ditetapkan sebagai tersangka bersama rekan-rekannya yang lain.

Kenyataan bahwa KPK pasca AA menjadi lebih baik juga ditunjukkan beberapa waktu lalu. Yakni, empat tersangka pertama kasus dugaan suap pemilihan deputi senior gubernur BI, Endin A.J. Soefihara, Udhu Djuhaeri, Dudi Makmun Murod, dan Hamka Yandu, diumumkan KPK.

Upaya Pembusukan

Gencarnya KPK pasca AA menangani berbagai kasus korupsi telah mengancam banyak pihak. Reaksi balik pun mulai dilancarkan, terutama dengan menyebarkan isu kepada masyarakat luas bahwa KPK juga menyimpan kebusukan.

Isu terbaru yang dijadikan alat pembusukan adalah kasus penyadapan terhadap Nasrudin (almarhum) dan Rani yang dituduhkan kepada salah seorang pimpinan KPK, Chandra M. Hamzah (CMH). Wacana yang sengaja dibangun adalah bahwa KPK (baca: CMH) telah melakukan penyadapan ilegal terhadap seseorang mengingat kasus yang disadap bukanlah kasus korupsi. Target pengungkapan kasus tersebut sangat jelas, menetapkan tersangka terhadap diri CMH.

Jika itu berhasil, dengan status tersangka, CMH mau tidak mau akan diberhentikan sementara oleh presiden sesuai pasal 32 ayat (2) UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Jika satu lagi pimpinan KPK menjadi tersangka, dorongan dari elite politik Senayan untuk menghentikan segala aktivitas penindakannya bisa terulang. Tujuannya sudah pasti agar kasus-kasus korupsi yang melibatkan elite partai politik maupun pengusaha hitam batal diproses KPK.

Selain itu, desakan untuk memilih ulang pimpinan KPK dipastikan muncul. Situasi semacam itu akan menempatkan kubu parlemen dalam posisi diuntungkan. Mereka akan mengendalikan proses seleksi sekaligus menentukan siapa yang akan menggantikan pimpinan KPK nonaktif.

Karena itu, kepolisian semestinya bersikap lebih profesional dan independen dalam menangani dugaan penyadapan ilegal yang diduga melibatkan CMH. Sangat mungkin kasus tersebut akan dimanfaatkan kelompok anti pemberantasan korupsi, melalui aparat kepolisian, untuk menggembosi KPK.

Jika menilik pada kasus penyadapan ilegal itu, ada sesuatu yang ganjil. Sumber informasi kasus tersebut sudah dipastikan dari salah seorang di antara tersangka pembunuhan Nasrudin. Jika melihat kemungkinan yang paling besar, tentu saja dia adalah AA karena selama ini menjabat ketua KPK. Lantas, apa motif pengungkapan kasus penyadapan ilegal itu jika bukan untuk menyeret pimpinan KPK yang lain sebagai tersangka?

Kasus penyadapan tersebut sebenarnya sudah jelas. Dari sisi wewenang dan prosedur, KPK memilikinya. Saat itu, KPK memang tengah menyadap pihak-pihak tertentu yang diduga terlibat korupsi. Namun, dalam prosesnya, AA menitipkan beberapa nomor telepon untuk disadap juga. Alasannya, ada teror dan ancaman kepada istrinya agar tidak mengungkap kasus korupsi.

Sampai tahap ini, yang diduga keras melakukan abuse of power adalah ketua KPK, AA. Atas nama ketua KPK dan atas nama teror terhadap istrinya, dia meminta dilakukan penyadapan terhadap nomor-nomor tertentu. Padahal, kenyataannya, nomor-nomor yang disadap itu terkait dengan masalah pribadinya. Sudah semestinya kepolisian memeriksa AA sebagai pihak yang diduga melakukan penyadapan ilegal, bukan yang lain.

Dibutuhkan Leadership

Dalam situasi yang berbahaya seperti sekarang, sangat mungkin orang yang bekerja di KPK akan mengalami degradasi moral. Kegalauan dan kecurigaan dapat berkembang pesat jika pimpinan KPK tidak segera mengambil tindakan yang cepat dan tepat.

Karena itu, dibutuhkan leadership yang kuat sekaligus seimbang. Maksudnya, antara satu pimpinan dengan pimpinan KPK yang lain tidak boleh ada yang lebih kuat. Sebab, selama ini timbul kesan bahwa AA sangat dominan dalam mengambil keputusan.

Penasihat KPK juga harus memberikan kontribusi yang lebih nyata untuk menghadapi ancaman dari pihak-pihak tertentu yang ingin terus menggembosi KPK. Jika selama ini posisi mereka relatif tidak signifikan, pimpinan KPK perlu menyatukan gerak dan langkah dalam setiap pengambilan keputusan bersama-sama dengan para penasihatnya.

Ancaman terhadap KPK tidak akan pernah berhenti. Jika secara internal lengah dan mudah diayunkan ke kiri dan ke kanan, bisa jadi KPK akan lumpuh. KPK harus tetap didukung secara penuh oleh masyarakat luas, sehingga ancaman tersebut tidak akan dihadapi sendiri oleh KPK. Mungkin saja akan ada isu baru yang diembuskan kembali kepada KPK.

Kini, mulai santer terdengar salah seorang pimpinan KPK disebut-sebut menerima suap dalam kasus tertentu. Kita berharap KPK bisa merespons setiap isu negatif itu dengan lugas, sehingga eksistensi KPK tetap bisa dipertahankan. (*)

*) Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW

Disalin dari Jawa Pos, 27 Juni 2009

No comments: