Sunday, July 19, 2009

Cinta Indonesia Cinta KPK

Cinta Indonesia Cinta KPK (Cicak) adalah tema deklarasi gerakan antipembusukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dimotori oleh kalangan masyarakat sipil.


Deklarasi telah dilakukan pada Minggu, 12 Juli 2009, di Tugu Proklamasi dengan dukungan penuh berbagai elemen,mulai dari pers,NGO,akademisi hingga musisi yang selama ini dikenal luas peduli dengan gerakan antikorupsi. Deklarasi tersebut juga sekaligus respons atas wawancara majalah Tempo dengan Kabareskrim Polri Susno Duadji yang diterbitkan minggu pertama bulan Juli 2009.

Dalam wawancara tersebut, Susno mengandaikan bahwa kepolisian adalah buaya dan pihak lain adalah cicak.Meskipun Susno tidak pernah menyebutkan secara eksplisit siapa “cicak” yang dimaksud,mudah ditebak bahwa pernyataan tersebut merupakan cerita bersambung dari kontroversi penyadapan yang dianggap Susno dilakukan oleh lembaga tertentu terhadap telepon selulernya.

Lembaga tertentu itu mengerucut kepada KPK, di luar BIN dan Lembaga Sandi Negara, yang memiliki wewenang untuk melakukan penyadapan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf (a) UU KPK No 30 Tahun 2002 yang menyebutkan,“ Dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK berwenang untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.

” Protes Susno atas dugaan penyadapan oleh KPK bisa dianggap merupakan episode kedua konflik antara polisi (baca:pejabat) dan KPK setelah sebelumnya salah satu pimpinan KPK Chandra M Hamzah diperiksa oleh Polda Metro Jaya berkaitan dengan dugaan penyadapan terhadap nomor Rhani dan Nasrudin (alm). Dari kedua kisruh penyadapan di atas,agaknya pokok masalah akan dibawa pada satu kesimpulan, KPK telah menyalahgunakan wewenang untuk melakukan penyadapan.

Kisruh polisi dengan KPK juga dilengkapi dengan turut campurnya BPKP yang secara tiba-tiba berhasrat mengaudit kegiatan penyadapan yang selama ini dilakukan KPK. Dengan dalih perintah Istana,Kepala BPKP ngotot ingin melakukan audit terhadap KPK, khususnya hal yang berkaitan dengan wewenang dalam melakukan penyadapan.

Jika SBY sudah menyatakan tidak ada perintah sama sekali kepada Kepala BPKP untuk mengaudit KPK,tentu hal lain yang bisa diamati adalah latar belakang Kepala BPKP yang notabene berasal dari korps kepolisian. Secara implisit, manuver BPKP dan langkah kepolisian yang terkesan ingin mengutak-atik otoritas penyadapan KPK berada pada aras kepentingan yang sama.

KPK: Superbodi?

Sebenarnya, persepsi bahwa KPK adalah lembaga superbodi sudah dibentuk sejak dalam konstruksi undang-undang (UU)-nya. Oleh karena itu, sangat mengherankan jika masih banyak yang mempersoalkan sifat superbodi KPK meskipun secara bersamaan publik juga melihat bahwa efektivitas dan efisiensi dalam menindak perkara korupsi dapat dicapai karena KPK memiliki wewenang yang cukup besar.

Paling tidak ada tiga hal mendasar yang menjadi ciri dari superbodi itu.Pertama,tentu saja wewenang untuk melakukan penyadapan dalam kaitannya dengan kasus korupsi. Kedua, wewenang untuk memeriksa pejabat publik tanpa melalui mekanisme izin pemeriksaan dari presiden. Ketiga, wewenang untuk mengambil alih kasus korupsi yang sedang ditangani institusi kepolisian maupun kejaksaan.

Jika kekuasaan yang kedua dan ketiga selama ini tampak tidak banyak menghadapi persoalan, wewenang penyadapan itu yang kini diributkan oleh pihak kepolisian. Padahal jika dibandingkan dengan institusi negara lain yang punya wewenang sama, hanya KPK yang telah berinisiatif meminta adanya audit terhadap kegiatan penyadapan. Sementara yang lain, termasuk di dalamnya kepolisian, tidak pernah ada kejelasannya.

Kita tentu masih ingat ketika salah satu wartawan Koran Tempo Metta Dharmasaputra mengajukan protes dugaan penyadapan oleh kepolisian atas telepon selulernya. Padahal Metta bukanlah tersangka pelaku teroris atau aktor tindak kejahatan lain.Tanpa melalui proses audit terhadap masalah ini, kepolisian dengan entengnya beralasan bahwa Metta hanya tersadap, bukan disadap. Sangat mungkin banyak pihak yang disadap atau tersadap, tapi tidak pernah diketahui masalah sebenarnya.

Pusat Kekuatan KPK

Jika wewenang penyadapan KPK dipersoalkan, tentu masalah sebenarnya bukan hanya karena dugaan penyadapan yang di luar prosedur. Dalam hal ini, KPK sendiri sudah melakukan klarifikasi bahwa penyadapan yang dilakukan sudah sesuai dengan prosedur.

Perkara Ketua KPKAntasariAzhar telah memerintahkan bawahannya untuk mendeteksi nomornomor tertentu yang kemudian hari diketahui milik Rhani dan Nasrudin, sudah seharusnya penyelidikan adanya indikasi abuse of power diarahkan pada Antasari Azhar yang telah memberikan perintah penyadapan untuk kepentingan pribadinya. Lantas,mengapa wewenang penyadapan KPK begitu dikhawatirkan? Tentu jawabannya mudah karena selama ini KPK sangat mungkin dapat mendeteksi dan mengungkap adanya korupsi,khususnya yang berkaitan dengan praktik suap-menyuap melalui pendekatan penyadapan.

Banyak pejabat publik, terutama anggota DPR, yang sudah tertangkap tangan oleh KPK karena dugaan keras menerima suap. Demikian sebaliknya, sudah banyak pengusaha yang ikut diseret KPK karena dianggap memberikan suap kepada pejabat publik. Korupsi sebagai kejahatan yang kian canggih juga menuntut pendekatan yang makin maju. Penyadapan adalah salah satu keharusan jika kita ingin serius dalam memberantas kejahatan korupsi.

Tanpa bantuan peralatan penyadapan dan wewenang melakukannya, mungkin kinerja KPK tidak akan sebaik sekarang.Yang pasti, praktik suap-menyuap tidak akan pernah meninggalkan bukti kuitansi. Jika kita memerangi penyakit kronis ini hanya dengan pendekatan biasa, tentu nasibnya akan sama seperti kejaksaan dan Polri,loyo.Belum lagi isu integritas aparat penegak hukum yang masih sangat meragukan. Oleh karena itu, jika wewenang penyadapan KPK dipersoalkan, tentu hal ini juga sekaligus menyerang pusat kekuatan KPK dalam menindak korupsi.

Jika di kemudian hari wewenang penyadapan KPK direduksi, program penindakan kasus korupsi sangat mungkin akan menurun kualitasnya. Menjadi miris jika ada institusi penegak hukum lain justru tidak ingin melihat agenda pemberantasan korupsi diberantas dengan lebih efektif dan efisien. Kekhawatiran yang paling besar adalah jika upaya menyoal wewenang penyadapan KPK bukan dilatarbelakangi isu penyadapan ilegal, tapi ingin mengerem laju pemberantasan korupsi oleh KPK.

Bisa dipahami jika pihakpihak yang selama ini dirugikan oleh sepak terjang KPK akan menggunakan berbagai cara untuk menjinakkan KPK. Mulai dari judicial review UU KPK,menunda pengesahan RUU Pengadilan Tipikor hingga mereduksi otoritas KPK melalui RUU Tipikor. Masalahnya menjadi sangat krusial seandainya konflik kepolisian dan KPK secara sadar atau tidak telah diboncengi oleh aneka kepentingan yang berambisi mengembalikan kejayaan koruptor.

Sudah saatnya pihak pejabat kepolisian mengerem pernyataan publik yang merendahkan eksistensi lembaga negara lain.Apalagi jika pada kenyataannya kinerja lembaga yang dikritik jauh lebih diakui publik dibandingkan pihak yang melakukan kritik.Pernyataan cicak versus buaya yang dilontarkan Susno pada akhirnya penuh dengan teka-teki,siapa yang cicak dan siapa yang buaya di mata masyarakat luas.(*)

Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)

Tulisan disalin dari Koran Seputar Indonesia, Senin, 20 Juli 2009

No comments: