Wednesday, July 29, 2009

Tiga Jurus Mematikan KPK

Setelah Ketua KPK, Antasari Azhar, lengser dari jabatannya, penanganan kasus korupsi kian intensif dilakukan KPK. Hal ini merupakan realisasi dari janji pimpinan KPK lainnya, bahwa KPK sedang memasuki masa 'golden period'.

Akan tetapi, usia keemasan KPK sepertinya tak bakal lama. Reaksi balik yang keras terhadap gebrakan KPK dalam penegakan hukum muncul dari beberapa kalangan, terutama elite politik. Ini sekaligus menandakan bahwa secara politik, pemberantasan korupsi tidak banyak mendapat dukungan. Selama ini yang gencar mendorong pemberantasan korupsi hanyalah kalangan civil society , termasuk media massa di dalamnya.

Harus diakui, kehadiran KPK telah menjadi ancaman serius bagi pejabat publik dan elite partai politik yang korup. Di tangan KPK, DPR bukan lagi lembaga politik yang kebal dari proses hukum karena di sanalah korupsi dimulai dan menjamur.

Demikian halnya, korupsi yang dilakukan DPR acapkali bertautan dengan kepentingan para pejabat eksekutif dan kalangan swasta (pengusaha). Sehingga, banyak di antara mereka juga telah diseret KPK ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Gambaran ini menjelaskan bahwa di satu sisi KPK telah menjadi momok bagi pelaku korupsi, dan di sisi lain KPK telah menghidupkan harapan masyarakat dalam penegakan hukum.

Akan tetapi, kekuasaan politik selalu lebih menentukan hidup matinya KPK. Celakanya, mereka sebagai penguasa politik itulah yang kerap berhadap-hadapan langsung dengan KPK. Dengan kekuasaannya, politisi dapat melumpuhkan kerja KPK. Dengan kekuasaannya pula, politisi dapat memperkuat KPK. Dalam situasi sekarang, yang lebih menonjol adalah upaya mematikan KPK.

Jurus pertama
Jurus pertama sudah mulai dilancarkan. RUU Pengadilan Tipikor menjadi sandera politik di Senayan maupun Istana. Sampai detik ini, tidak ada tanda-tanda yang menggembirakan masyarakat bahwa RUU Pengadilan Tipikor akan selesai sebelum batas waktu, yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi (MK) berakhir pada 19 Desember 2009.

DPR sepertinya memanfaatkan peluang besar untuk menggembosi KPK dengan tidak menyelesaikan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor. Konsekuensinya jelas, jika RUU Pengadilan Tipikor tidak rampung juga, bisa dipastikan KPK menjadi macan ompong. Wewenang penindakannya tidak mendapatkan tempat, mengingat KPK hanya bisa menuntut para terdakwa korupsi ke Pengadilan Tipikor.

Istana juga sepertinya memilih diam. Meskipun Presiden SBY sudah menyatakan telah bekerja keras untuk menyelesaikan RUU tersebut, akan tetapi fakta berbicara lain. Setelah dua tahun (dari tiga tahun) pascaputusan MK mengenai status Pengadilan Tipikor keluar, pemerintah baru menyerahkan draf RUU Pengadilan Tipikor ke DPR. Pada akhirnya, DPR juga punya dalih untuk menyalahkan pemerintah karena mereka hanya diberi waktu satu tahun, untuk membahas dan menyelesaikannya.

Istana juga tampaknya tak berbuat banyak dengan keuntungan pemerintahan koalisi. Seperti kita tahu, hanya PDI Perjuangan yang secara tegas menjadi oposisi pemerintah. Ini artinya, Presiden SBY seharusnya bisa mengerahkan anggota koalisinya yang duduk di pemerintahan untuk bersama-sama menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor, melalui kader mereka di Senayan.

Istana seharusnya berhitung bahwa selama ini citra pemerintah dalam memberantas korupsi menjadi lebih baik daripada pemerintahan sebelumnya, baik di mata masyarakat domestik maupun internasional karena sepak terjang KPK. Artinya, kehadiran KPK telah memberikan pengaruh positif bagi persepsi publik terhadap kinerja pemberantasan korupsi yang dikampanyekan pemerintahan SBY-Kalla.

Namun, agaknya Istana hanya ingin mendapatkan keuntungan politik saja. Dalam berbagai kampanye keberhasilan pemberantasan korupsi kepemimpinan SBY, KPK secara implisit dijadikan sebagai bagian dari pemerintah. Bahkan, logo KPK juga diikutsertakan dalam kampanye politik, meski pada akhirnya menuai protes dari pihak KPK.

KPK juga telah menaikkan citra Indonesia di mata Internasional karena Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2008, jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Seperti kata Todung Mulya Lubis, Ketua TII, jika KPK dibubarkan, IPK Indonesia kemungkinan besar akan turun kembali.

Jurus kedua
Jurus kedua yang telah dikeluarkan oleh beberapa kalangan yang ingin mematikan KPK adalah dengan 'operasi intelijen', yang tujuannya menyudutkan pimpinan KPK sekarang. Isu penyadapan ilegal dijadikan sebagai kasusnya. Saat ini aparat kepolisian masih 'mengusut' kasus tersebut. Targetnya sudah dapat dibaca, menjadikan salah satu pimpinan KPK sebagai tersangka sehingga wacana untuk menghentikan penanganan kasus korupsi yang dilakukan KPK, akan muncul kembali. Lebih dari itu, wacana untuk mengganti pimpinan KPK yang dinonaktifkan juga akan ramai dilancarkan, khususnya oleh para politikus Senayan.

Sumber informasi mengenai isu penyadapan ilegal di KPK tentunya dari orang dalam KPK. Akan tetapi, yang paling mungkin sumber itu berasal dari Ketua KPK nonaktif, AA. Karena, selama ini AA memiliki akses tak terbatas di lingkungan internal KPK. Bisa saja AA tidak ingin menjadi pesakitan sendiri. Selain isu penyadapan ilegal, isu besar yang saat ini tengah disiapkan adalah isu suap yang diterima oleh salah satu pimpinan KPK, dalam kaitannya dengan penanganan kasus korupsi di KPK. Kapan waktunya masalah ini muncul ke publik, belum ada kepastian. Namun, yang akan menangani masalah ini kemungkinan juga aparat kepolisian. Kekhawatiran yang paling besar dari 'operasi intelijen' ini adalah penggunaan penegak hukum sebagai alat untuk mematikan KPK.

Jurus ketiga
Pernyataan Presiden yang mengingatkan KPK dapat menyimpang dalam mempergunakan wewenang superbody -nya, bisa dianggap buah dari informasi keliru atau menyesatkan yang masuk ke dalam Istana. Pada titik ini, 'operasi intelijen' bisa dikatakan berhasil, karena dapat mempengaruhi pendapat Presiden soal kasus penyadapan ilegal di KPK.

Padahal, jika kita ingin dalami masalah penyadapan tersebut, yang harus diduga keras melakukan abuse of power adalah Ketua KPK nonaktif, AA. Pasalnya, dirinya yang meminta pimpinan KPK lain untuk melakukan penyadapan terhadap nomor-nomor tertentu, yang dikatakan telah mengancam pemberantasan korupsi di KPK.

Jika perang informasi mengenai KPK terus terjadi, yang sangat mensyukuri keadaan ini adalah para koruptor. Mereka akan bersorak-sorai karena ganjalan terbesar dalam menikmati uang negara adalah KPK. Sesungguhnya, 'kematian' KPK dengan berbagai jurus yang menyerang itu, hanya akan menambah catatan sejarah gagalnya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tragis, bukan?

Tulisan disalin dari harian Republika, Rabu, 29 Juli 2009

No comments: