KEMBALI salah satu anggota DPR dicokok KPK karena dugaan suap. Kali ini yang tertangkap tangan adalah Abdul Hadi Djamal (AHD), anggota DPR Komisi V dari Partai Amanat Nasional (PAN), sekaligus caleg DPR RI dapil Sulsel I. Karena tindakan korupsi itu, KPK telah menetapkan AHD sebagai tersangka dan PAN langsung memecat dirinya sebagai anggota dan pengurus partai, yang otomatis membuat pesakitan itu tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai anggota DPR untuk periode berikutnya.
Satu hal yang menarik dari perkembangan kasus ini adalah nyanyian tersangka AHD bahwa yang terlibat dalam kasus suap dana stimulus 2009 bukan hanya dirinya. Dalam beberapa kesempatan, AHD menyebut nama Jhonny Allen Marbun, wakil ketua Panitia Anggaran DPR dari Partai Demokrat, lantas Anggito Abimanyu, ekonom sekaligus kepala Badan Kebijakan Fiskal Depkeu, dan terakhir Rama Pratama, mantan aktivis '98, anggota Panitia Anggaran DPR RI dari PKS.
Atas pengakuan tersebut, semua orang yang diakui AHD mengetahui kasus suap dana stimulus 2009 kompak menyangkal. Bahkan, Rama Pratama dan PKS telah mengajukan somasi kepada AHD. Sangat mungkin, gugatan somasi ini akan berujung pada pelaporan pencemaran nama baik.
Dari kasus ini, ada beberapa hal yang menarik untuk didiskusikan. Pertama, setiap anggota DPR yang ditangkap tangan oleh KPK, cepat atau lambat, akan memberikan informasi mengenai pihak-pihak lain yang diduga terlibat. Tentu saja pengakuan semacam itu bukan tanpa dasar, karena disampaikan dalam keadaan sadar dan memiliki konsekuensi hukum jika mengandung unsur kehobongan. Artinya, tersangka yang sudah menyebut nama pihak lain dapat saja digugat balik dengan pasal pencemaran nama baik.
Anehnya, di antara semua kasus korupsi di KPK yang melibatkan anggota DPR, tidak ada satu pun anggota DPR atau pihak lain yang disebut-sebut oleh tersangka/terdakwa kemudian mengajukan keberatan melalui upaya hukum. Contoh kasus adalah Paskah Susetta, mantan anggota DPR Komisi IX -kini kepala Bappenas- yang kerap disebut-sebut oleh Hamka Yamdu dalam berbagai persidangan.
Atau, misalnya, Azwar Chesputra dan teman-temannya di Komisi IV DPR yang dikatakan Yusuf Emir Faisal terlibat dalam kasus korupsi pembangunan Pelabuhan Bagan Siapi-api, Sumatera Selatan. Sementara untuk kasus suap dana stimulus yang menjadikan AHD sebagai tersangka, Jhonny Allen Marbun dan Anggito Abimanyu juga tidak pernah berencana melakukan gugatan balik meski namanya meluncur dari mulut AHD.
Bandingkan jika para anggota DPR itu, misalnya, disebut-sebut oleh media massa atau LSM terlibat dalam korupsi, tentu reaksinya akan spontan muncul dan taring kekuasaannya akan menyeringai. Barangkali, tanpa menunggu waktu yang lama, laporan pencemaran nama baik sudah disampaikan kepada polisi.
Atas hal ini, muncul beberapa pertanyaan krusial. Apakah orang-orang yang disebut namanya oleh para tersangka atau terdakwa itu memang terlibat korupsi? Jika tidak, mengapa mereka tidak berupaya maksimal menjaga atau mengembalikan nama baiknya melalui jalur hukum? Apakah ini berarti sebenarnya mereka terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui kejadian korupsinya?
Kedua, ada upaya untuk menggiring wacana suap dana stimulus APBN 2009 hanya kepada pelibatan anggota DPR di komisi V, tempat AHD bertugas. Logika yang dibangun, karena suap ini terkait dengan proyek pembangunan dermaga dan pelabuhan di wilayah Indonesia bagian timur yang notabene berada di komisi V dan Departemen Perhubungan sebagai mitra kerja, maka yang pasti terlibat menjadi calo anggaran ialah anggota di komisi V.
Sebaliknya, alat kelengkapan DPR lain, seperti panitia anggaran, tidak ada kaitannya sama sekali dengan komisi V. Apalagi jika anggota Panggar yang disebut AHD bertugas di komisi yang berbeda.
Menyesatkan
Terus terang, argumentasi di atas sangat menyesatkan. Oleh karena itu, saya menganggap hal tersebut sebagai upaya mengelabui fakta yang sebenarnya. Dalam dokumen kesimpulan rapat kerja Panggar DPR dengan menteri keuangan 23-24 Februari 2009, sangat jelas dinyatakan adanya persetujuan alokasi dan besaran dana stimulus fiskal 2009 senilai Rp 73,3 triliun oleh Panggar DPR. Dari total dana tersebut, Rp 17,0 triliun dialokasikan untuk belanja negara di mana Rp 12,2 triliunnya merupakan belanja infrastruktur.
Selanjutnya, dokumen itu menyatakan kesimpulan rapat kerja Panggar DPR dengan menteri keuangan merupakan bentuk persetujuan DPR yang bersifat final. Tidak memerlukan pembahasan lebih lanjut.
Penegasan atas keterlibatan penuh Panggar DPR dalam pengalokasian dana stimulus terdapat pada poin yang menyebutkan bahwa rincian alokasi belanja menurut unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja ditetapkan bersama oleh Panggar dengan Menkeu 5 (lima) hari setelah rapat kerja tanggal 23-24 Februari 2009, yakni tanggal 1 Maret 2009.
Mengacu pada waktu penangkapan AHD oleh KPK pada 3 Maret 2009, semakin jelas kaitan antara proses pembahasan dana stimulus di Panggar DPR dengan lobi para calon kontraktor yang sangat mungkin berjalan sangat intens.
Bisa jadi, lobi yang berujung suap dalam belanja dana stimulus senilai Rp 12,2 triliun tersebut terjadi juga pada proyek-proyek lainnya yang ada di berbagai komisi dan departemen teknis atau pemerintah daerah. Perlu diingat, uang sebesar itu harus dihabiskan hanya dalam waktu kurang lebih 9 (sembilan) bulan, yaitu Maret-Desember 2009. Potensi suap-menyuapnya menjadi kian rentan karena dana itu dikucurkan menjelang pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden.
Kembali ke pengakuan AHD, bahwa yang terlibat dalam kasus itu bukanlah dirinya sendiri, tetapi juga ada pihak lain yang lebih menentukan sebagaimana yang digambarkan olehnya dalam pertemuan di Hotel Ritz Charlton.
Untuk membuktikan kehadiran orang-orang yang disebut AHD dalam rapat tersebut, caranya tidaklah sulit. Cukup KPK meminta manajemen Ritz Charlton untuk memutar kembali rekaman CCTV di hotel tersebut pada waktu dan jam yang disebut AHD telah terjadi pertemuan empat pihak.
Jika hasil rekaman itu membenarkan pernyataan AHD, nasib orang-orang yang ikut dalam rapat informal di hotel mewah tersebut akan ditentukan oleh proses hukum selanjutnya. Bagi partai-partai yang kerap menggunakan slogan antikorupsi, seperti PKS dan Demokrat, tentu saja hal itu akan jadi pukulan telak menjelang pemilu. Bisa-bisa, tingkat kepercayaan publik menukik tajam yang akan berimbas pada dulangan suara kedua partai tersebut. Kita lihat saja gebrakan KPK selanjutnya. ***
*. Adnan Topan Husodo, wakil koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta
tulisan ini dimuat di Jawapos, 22 Maret 2009
No comments:
Post a Comment