Thursday, March 19, 2009

Lubang Besar Pengaturan Dana Kampanye

Lubang Besar Pengaturan Dana Kampanye
Oleh: Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator ICW

Diskursus publik tentang implikasi penggunaan metoda suara terbanyak menjelang pelaksanaan pemilu 2009 lebih didominasi oleh bagaimana meletakkan kebijakan affirmative action bagi caleg perempuan paska putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Respon KPU sendiri atas keputusan tersebut begitu cepat, hingga mengajukan Perpu khusus untuk caleg perempuan.

Padahal dampak putusan MK mengenai penetapan calon terpilih dengan suara terbanyak bukan hanya terkait dengan soal diatas. Masalah diatas adalah penting, namun sepertinya KPU tidak memperlakukan masalah lain yang sama pentingnya pada derajat yang sama. Pasalnya, masih ada masalah lain yang cukup pelik tapi tidak direspon secara memadai oleh berbagai pihak, terutama KPU, yakni isu yang berkaitan dengan pengaturan dana kampanye peserta pemilu.

Harus diingat bahwa putusan MK disadari atau tidak telah memunculkan implikasi serius terhadap pengaturan dana kampanye, khususnya dana kampanye calon legislatif (caleg). Sebagaimana kita ketahui, pengaturan dana kampanye dalam UU Pemilu Legislatif Nomor 10 Tahun 2008 (UU Pileg) menggunakan basis partai politik dan calon perorangan sebagai peserta pemilu.

Secara ideal, pengaturan dana kampanye dalam pasal 129 hingga pasal 140 UU Pileg dimaksudkan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas peserta pemilu dalam hal keterbukaan atas sumber pendanaan kampanye (penyumbang) dan pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut melalui pelaksanaan audit dana kampanye oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ditunjuk KPU.

Akan tetapi, subjek hukum atas pengaturan dana kampanye diatas adalah partai politik dan calon perseorangan (DPD). Artinya, yang memiliki kewajiban dalam UU untuk melakukan pencatatan, pelaporan dan audit dana kampanye adalah peserta pemilu menurut UU Pileg. Sementara caleg adalah bagian dari partai politik itu sendiri yang pertanggungjawaban dana kampanyenya sama sekali tidak diatur/tidak diwajibkan oleh UU Pileg.

Masalahnya, penetapan caleg terpilih dengan suara terbanyak dalam prakteknya telah menempatkan caleg sebagai peserta pemilu yang terpisah sama sekali dari partai politik. Dengan demikian, sangat mungkin mobilisasi dana kampanye akan langsung dilakukan oleh masing-masing caleg beserta tim sukses mereka, bukan melalui partai politik.

Padahal dalam UU Pileg, terdapat aturan bahwa semua dana kampanye wajib dimasukkan dalam rekening khusus dana kampanye sebelum digunakan untuk kepentingan kampanye (pasal 129 ayat 4 UU Pileg). Aturan tersebut dipertegas oleh Peraturan KPU No 1 Tahun 2009 mengenai pencatatan dan pelaporan dana kampanye peserta pemilu 2009 mengenai larangan penggunaan dana kampanye untuk keperluan kampanye sebelum dimasukkan dalam rekening khusus dana kampanye.

Pertanyaannya kemudian, apakah mungkin semua caleg dari masing-masing partai politik bersedia menyetorkan dana kampanye mereka ke dalam rekening khusus dana kampanye partai politik sebelum dipakai untuk kegiatan kampanye? Jawabannya sangat mustahil karena ini berarti, dana kampanye caleg akan tercampur dengan dana kampanye caleg yang lain dalam satu partai politik.

Disamping itu, caleg sangat mungkin akan memilih langsung menggunakan dana kampanye yang mereka dapatkan untuk kampanye. Hal ini mengingat semua caleg, baik di internal maupun antar partai politik harus bertarung satu sama lain untuk memperoleh suara terbanyak jika ingin menjadi anggota legislatif.

Oleh karenanya dapat dipastikan bahwa sebagian besar caleg sudah dan akan mencari dana kampanye secara swadaya, sekaligus mengelola dan menggunakannya tanpa melalui aturan main yang telah ditetapkan UU Pileg. Tidak mengherankan jika dalam pelaksanaan audit laporan dana kampanye nanti, saldo rekening khusus dana kampanye partai politik sangat minim jumlahnya.

Meskipun Peraturan KPU No 1 tahun 2009 coba mengantisipasi bobolnya akuntabilitas dan transparansi dana kampanye caleg dengan mewajibkan pencatatan dan pelaporan dana kampanye bagi caleg. Akan tetapi penegasan diatas sangat mungkin tidak akan banyak digubris mengingat UU Pileg tidak mengaturnya. Bahkan bisa terjadi sebaliknya, KPU akan dituding telah menciptakan norma baru yang tidak diatur sama sekali dalam UU Pileg.

Faktanya memang demikian. Dari kewajiban pelaporan rekening khusus dana kampanye dan laporan awal dana kampanye peserta pemilu, khususnya partai politik, jumlah saldo awal partai politik sangatlah minim. Partai Gerindra adalah partai politik yang memiliki saldo awal terbesar, yakni Rp 15,5 miliar. Sementara partai politik besar yang telah berkuasa pada era sebelumnya, yakni Demokrat, Golkar, PDI P, PKS dan PPP justru lebih rendah nilainya. Yang mengejutkan, saldo awal Golkar tak lebih dari Rp 150 juta.

Tentu saja nilai diatas hampir tidak dapat dipercaya, terutama karena level partai politik yang menyerahkannya adalah partai politik tingkat pusat, sekaligus bahwa aktivitas kampanye partai politik melalui media massa, seperti di televisi yang sudah dilakukan berulang kali merupakan cerminan dari ongkos/pengeluaran kampanye yang tidak sedikit. Bisa disebut, jumlah belanja kampanye untuk iklan televisi jauh lebih besar dari saldo awal yang mereka laporkan kepada KPU.

Nilai saldo yang kecil itu juga kian menegaskan bahwa dana kampanye caleg dalam prakteknya telah dipisahkan dari dana kampanye partai politik yang tersimpan dalam rekening khusus dana kampanye. Karena dana kampanye caleg merupakan entitas tersendiri yang tidak diatur sama sekali pertanggungjawabannya dalam UU Pileg, maka dapat dipastikan bahwa penggunaan dana kampanye caleg tidak terkontrol sama sekali.

Munculnya lubang besar pengaturan dana kampanye yang tidak diantisipasi paska putusan MK hanya menciptakan buruknya sistem akuntabilitas dan transparansi dana kampanye peserta pemilu, khususnya caleg.

Tiadanya kewajiban bagi caleg untuk mempertanggungjawabkan dana kampanye mereka membuka peluang bagi berkembangnya invested corruption melalui caleg. Situasi ini kemungkinan besar akan dimanfaatkan oleh caleg dan partai politik sebagai ajang untuk melakukan pencucian uang dan menggunakan dana kampanye yang melanggar UU.

Pada akhirnya, tanpa didukung dengan sistem akuntabilitas dan transparansi dana kampanye peserta pemilu yang memadai, deklarasi antikorupsi partai politik peserta pemilu 2009 yang dimotori KPK kemarin hanya akan menjadi ajang pencitraan peserta pemilu untuk mempercantik wajah mereka di depan para pemilih, tidak lebih.

****

Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 19 Maret 2009

No comments: