Korupsi tumbuh subur dalam suasana yang gelap dan tertutup. Sebagai sebuah kejahatan terorganisasi, korupsi mendapatkan tempatnya untuk berkembang dan besar pada sistem pemerintah yang tidak transparan. Ketertutupan bagi penyakit korupsi adalah jalan terang untuk tetap bertahan dan terus hidup. Sebaliknya, keterbukaan bagi virus korupsi adalah gerbang kematian yang paling dekat. Pendek kata, keterbukaan adalah alat efektif guna membatasi ruang gerak praktek korupsi.
Dalam kondisi ketika semua serba rahasia, para pejabat negara yang menguasai akses terhadap sumber daya publik mudah tergoda menyelewengkan kekuasaan dan kewenangan yang mereka miliki. Kerahasiaan pejabat negara terhadap publik menciptakan kesempatan yang besar untuk melakukan korupsi. Demikian halnya keengganan pejabat publik membuka diri sekaligus cermin dari watak kekuasaan yang koruptif.
Karena tidak transparan, korupsi yang merajalela kecil kemungkinan dapat terbongkar. Pejabat negara tenang dan nyaman melakukan korupsi karena tidak akan pernah diketahui. Peluang mendeteksi korupsi yang sangat terbatas membuat penyelewengan dan penyimpangan menjadi keseharian gerak birokrasi. Karena itu, sulit mengelak bahwa setiap rupiah anggaran negara yang dialokasikan dalam rangka menggerakkan pembangunan menjadi rentan terhadap praktek korupsi.
Cara-cara tidak bertanggung jawab, seperti memanipulasi dokumen, menggelembungkan nilai proyek, membuat pelaporan fiktif, menyunat anggaran, dan menggelapkan uang, adalah akibat langsung tiadanya sistem transparansi. Penyebab korupsi yang menggurita adalah pejabat negara tidak memiliki kewajiban membuka informasi kepada masyarakat. Di sisi lain, para pejabat negara selalu berdalih bahwa data yang mereka pegang merupakan rahasia negara sehingga tidak dapat diberikan kepada pihak lain.
Padahal instrumen kontrol yang efektif hanya dapat diciptakan dengan mendesain sebuah sistem pemerintah yang transparan dan akuntabel. Barangkali tidak ada cara yang lebih efektif untuk memberantas korupsi, kecuali memaksa pejabat negara agar bersikap terbuka. Daya paksa untuk memiliki kesadaran bersikap transparan dapat dilakukan dengan mendorong lahirnya Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP).
Dalam konteks penyempurnaan sistem antikorupsi di
Selain itu, lahirnya UU KMIP dapat dijadikan sebagai parameter untuk menilai tingkat keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Sebagaimana diketahui, kesulitan terbesar masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap pejabat negara adalah karena tidak adanya sistem transparansi (baca: akses terhadap informasi). Keadaan demikian menyebabkan proses-proses pengawasan dari masyarakat tidak berjalan efektif.
Sebaliknya, masyarakat yang bersusah payah mendapatkan data dan dokumen dapat serta merta dijerat dengan pasal pencurian dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan penyebaran dokumen rahasia negara. Sungguh suatu masa yang ironis ketika pemberantasan korupsi telah menjadi agenda nasional. Namun, agenda itu tidak didukung oleh perangkat-perangkat yang memudahkan bangsa ini menyelesaikan problemnya.
Karena itu, kehadiran UU KMIP akan menjadi tonggak baru bagi semakin menguatnya posisi kontrol masyarakat dalam berhadapan dengan negara. Pejabat negara tidak akan lagi berbuat semena-mena, menyembunyikan kejahatan korupsi dengan berlindung di balik alasan rahasia negara. Masyarakat juga akan dengan mudah melakukan fungsi pengawasan sebagai bentuk partisipasi dalam memberantas korupsi.
Masalahnya, sudah lebih dari enam tahun RUU KMIP dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah. Namun, hingga detik ini belum ada titik terang bahwa peraturan tersebut akan segera diselesaikan. Jalan menuju UU KMIP sepertinya masih panjang, curam, dan terjal. Padahal KMIP adalah bagian dari prioritas legislasi nasional 1999-2004. Ini artinya, sudah dua kali periode kekuasaan berganti, tapi tak satu pun pemerintah terpilih dapat mengegolkan UU KMIP.
Karena itu, banyak yang berhitung bahwa 2007 adalah titik balik RUU KMIP. Jika tidak diloloskan menjadi sebuah undang-undang pada tahun ini, nasib UU KMIP bisa jadi akan tertunda sampai 2010. Hal ini mengingat pada 2008, politikus Senayan dan pemerintah sudah bersiap-siap menghadapi Pemilihan Umum 2009. Ini artinya, nasib KMIP berada di ujung tanduk.
Sebenarnya, mengingat RUU KMIP adalah usul inisiatif DPR, bola liarnya kini ada di tangan pemerintah. Tarik-ulur mengenai beberapa isu krusial ditengarai menjadi hambatan terbesar mengapa proses legislasi KMIP tidak berjalan mulus. Pemerintah sampai saat ini masih menganggap ada beberapa hal dalam draf UU KMIP yang belum dapat diselaraskan.
Isu krusial itu dapat dikelompokkan menjadi empat hal, yakni definisi badan publik yang akan terkena kewajiban membuka informasi, eksistensi komisi informasi, masa peralihan untuk persiapan aparatur birokrasi menghadapi kebebasan informasi, dan perdebatan mengenai pengaturan sanksi.
Terlepas dari lemah-tidaknya argumentasi mengenai empat isu krusial tersebut, yang pasti, dalam konteks pemberantasan korupsi, KMIP merupakan salah satu alat yang sangat mumpuni. Implikasi diberlakukannya UU KMIP sekaligus akan menjangkau dimensi pencegahan dan penindakan korupsi. Dengan demikian, kampanye pemberantasan korupsi yang gencar disuarakan pemerintah tidak akan terlalu banyak berarti jika jaminan untuk mendapatkan kebebasan memperoleh informasi publik diabaikan.
Karena itu, seandainya pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam menyelesaikan proses pembahasan RUU KMIP ini dalam waktu dekat, persoalan korupsi akan tetap menjadi pekerjaan rumah yang berat di masa-masa mendatang. Alih-alih dipandang pro terhadap agenda pemberantasan korupsi, minus UU KMIP, pemerintah dapat dianggap sebagai bagian dari rezim yang tertutup.
1 comment:
Terima kasih untuk blog yang menarik
Post a Comment