Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilansir beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa selama tahun 2005, sebanyak 24 dari 33 kasus korupsi yang ditangani, terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah. Modus korupsi dalam pengadaan sebagaimana dimaksud meliputi penggelembungan harga (mark-up), perbuatan curang, penyuapan, penggelapan, pengadaan fiktif, pemberian komisi, penyalahgunaan wewenang, nepotisme, dan pemalsuan.
Studi Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2005 juga mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi paling banyak mencuat pada proyek pengadaan. Hal itu terutama karena proses pengadaan barang/jasa tidak dilakukan melalui mekanisme lelang terbuka (tender), melainkan dengan penunjukan langsung. Padahal melalui penunjukan langsung, pelaksanaan proyek dapat menimbulkan konsekuensi pelanggaran hukum.
Dari sisi persaingan usaha sebagaimana telah diatur UU No. 5 tahun 1999, penunjukan langsung menutup peluang terjadinya kompetisi berkualitas. Oleh karena itu, para pelakunya dapat dikategorikan melanggar persaingan usaha yang sehat.
Pentingnya lelang terbuka karena diasumsikan adanya kontestansi akan mendorong tercapainya efektivitas dan efisiensi anggaran belanja. Negara diuntungkan karena memperoleh barang/jasa yang bagus dengan nilai proyek yang kompetitif.
Penunjukan langsung juga dapat dianggap melanggar Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa di Instansi Pemerintah. Terutama jika syarat-syarat penunjukan langsungnya tidak terpenuhi. Disamping itu, pelanggaran terhadap Keppres tersebut akan semakin nyata jika dalam praktik penunjukan langsung, negara dirugikan karena penggelembungan harga. Apalagi jika ditemukan unsur penyuapan dan bid rigging, yakni pemberian uang pelicin oleh peserta lelang kepada panitia lelang.
Meskipun demikian, penunjukan langsung tetap bisa dilakukan asal semua syarat wajib yang tertera dalam Keppres tersebut dipenuhi, termasuk pemenuhan prinsip-prinsip efektif dan efisien.
Oleh karenanya, mengacu kepada Keppres No. 80 Tahun 2003, dapat diberikan catatan khusus bahwa penunjukan langsung tidak berarti selalu dianggap salah atau melanggar hukum. Hal ini penting diperhatikan mengingat persepsi publik yang terbangun, jika ada proyek penunjukan langsung, berarti telah terjadi korupsi.
Penunjukan langsung dapat menjadi persoalan dalam ranah pidana khusus (korupsi) seandainya pejabat publik yang melakukannya memiliki motif korupsi. Indikasinya dapat dilihat pada penetapan nilai proyek yang tidak wajar, rekayasa alasan penunjukan langsung, rencana lelang yang sudah diarahkan, penentuan jadwal lelang yang tidak realistik dan lain sebagainya.
Nilai proyek yang berlipat ganda besarnya dibandingkan harga normal menunjukan bukti kuat bahwa telah terjadinya korupsi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selisih harga proyek dengan harga pasar merupakan ongkos korupsi yang harus dibayar. Tanpa penggelembungan harga, rekanan sulit memperbesar keuntungan karena sudah menjadi hal jamak jika 30 hingga 40 persen nilai kontrak harus dibagi-bagikan untuk panitia proyek dan pejabat yang bertanggungjawab.
Pertanyaannya, mengapa pengadaan barang dan jasa sarat dengan praktik korupsi? Ada beberapa hal yang bisa dijelaskan. Saat ini, secara berjenjang, pengelolaan pengadaan dikendalikan oleh Pimpro, badan pelaksana yang sifatnya ad hoc dan memiliki posisi tawar rendah. Kondisi ini akan sangat menyulitkan adanya panitia lelang yang kredibel, mandiri dan objektif dalam menilai proses pelelangan karena mereka sendiri adalah kelompok yang rentan atas tekanan internal dan eksternal.
Buruknya performance panitia pengadaan juga diakibatkan oleh tiadanya mekanisme insentif bagi yang memiliki prestasi, khususnya para panitia lelang yang secara sungguh-sungguh telah mempraktikkan proses pelelangan yang efektif dan efisien.
Barangkali yang terjadi justru sebaliknya. Melakukan korupsi jauh lebih menguntungkan bagi panitia lelang dan pejabat yang bertanggungjawab daripada insentif –jika ada- yang diterima jika mereka melaksanakan tender yang bersih. Demikian halnya lemahnya sanksi administratif dan hukum yang diberikan kepada para pihak yang terlibat kolusi secara tidak sadar telah mengabadikan sistem pengadaan yang buruk.
Masalahnya menjadi kian kompleks dan berurat akar karena pengadaan dilakukan pada bilik-bilik tertutup. Keterlibatan publik dalam mengawasi proses pengadaan tidak terakomodasi dalam sistem yang tertutup dimana rezim lelang sangat didominasi oleh lingkaran panitia lelang dan beberapa pelaku usaha saja.
Hasil-hasil penawaran, informasi mengenai penunjukan langsung, dan dokumen yang terkait dengannya sulit diakses publik sehingga pada tingkat implementasi proyek, mekanisme pengawasan publik sulit dilakukan. Walhasil, proyek menjadi carut marut, kolusi berurat akar dan model arisan proyek menjadi kebiasaan untuk meratakan benefit pelaku usaha dan pejabat panitia lelang.
Tulisan ini dimuat di Koran Jurnal Nasional, Kamis, 22 Februari 2007
1 comment:
stuju, brantas korupsi di indonesia.
Post a Comment