Pemerintah punya rencana mengejutkan. Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) akan dihapuskan melalui peniadaan eksistensi hakim ad hoc tipikor. Menurut pemerintah, melalui Tim Pembahasan RUU mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ke depan, wewenang mengadili kasus korupsi, baik yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, maupun kepolisian, diserahkan kepada hakim karier di pengadilan umum. Alasannya, hakim ad hoc tipikor tidak mengerti pekerjaan sebagai hakim. Pemerintah lari dari komitmen memberantas korupsi?
Tak dapat dimungkiri, wacana menghapus pengadilan tipikor merupakan babak selanjutnya dari putusan Mahkamah Konstitusi. Kala itu, dengan berbagai alasan, majelis hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pengadilan tipikor harus dibentuk dengan undang-undang tersendiri, tidak disatukan dengan UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari putusan itu, semestinya pemerintah mendorong adanya RUU Pengadilan Tipikor, bukan justru membubarkannya. Ini berarti ada pemutarbalikan logika sekaligus pemelintiran makna sesungguhnya dari putusan Mahkamah Konstitusi.
Karena itu, sebaiknya pemerintah tidak gegabah membubarkan pengadilan tipikor. Pemerintah perlu mempertimbangkan secara lebih matang rencana itu. Sebab, jika tidak, bisa dipastikan program pemberantasan korupsi yang tengah dilaksanakan akan menuai hasil yang jauh dari harapan. Masyarakat yang mulai membangun optimisme baru terhadap penegakan hukum korupsi akan kembali pesimistis. Bisa-bisa program pemberantasan korupsi akan kembali ke titik nol karena hasil pengadilan tidak selaras dengan tuntutan keadilan masyarakat.
Mengapa demikian? Ada beberapa alasan untuk menjelaskannya. Pertama, dari sisi kinerja penegakan hukum korupsi. Sejauh catatan yang dimiliki Indonesia Corruption Watch, kinerja pengadilan tipikorlah yang mendongkrak harapan baru bahwa pemberantasan korupsi bisa dilakukan, bukan pengadilan biasa. Pasalnya, semua kasus korupsi yang dituntut KPK ke pengadilan tipikor divonis bersalah. Lantas apakah ada yang keliru dengan pola ini?
Sebenarnya, dalam konteks tindak pidana, hasil akhir penanganan kasus hampir pasti bisa diprediksi. Meskipun tidak matematis, probabilitasnya sangat tinggi. Maksudnya, jika di tingkat penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum (KPK, kejaksaan, dan kepolisian) telah ditemukan bukti yang cukup atas terjadinya tindak pidana korupsi, bisa diprediksi para terdakwa yang diajukan ke pengadilan dapat terjerat. Apa yang terjadi dalam kasus KPK dan pengadilan tipikor bukanlah bentuk "kolusi" dalam menangani kasus sebagaimana tudingan beberapa kalangan, melainkan gambaran yang mewakili asas predictable itu sendiri.
Sebaliknya, kinerja pengadilan biasa sebagaimana diklaim oleh Tim Pembahasan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hakim yang mengerti pekerjaannya sungguh mengecewakan. Kita tentu masih ingat vonis bebasnya terdakwa korupsi APBD Kabupaten Cilacap, Frans Lukman, di Pengadilan Negeri Cilacap, 21 Desember 2006.
Dalam salah satu pertimbangannya, majelis hakim memasukkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 sebagai dasar hukum bahwa berbagai dana yang dituduhkan dikorupsi oleh terdakwa dibenarkan oleh peraturan tersebut. Padahal kasus korupsi itu sendiri terjadi pada 2004, dua tahun sebelum peraturan itu lahir. Hakim yang sehat tentu tidak akan pernah berpikir sekacau itu dengan memasukkan dasar pertimbangan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 untuk membebaskan terdakwa.
Gambaran secara makro atas kinerja pengadilan umum dalam menangani kasus korupsi dapat dilihat selama kurun waktu 2006. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, seperti pada tahun sebelumnya, pengadilan umum masih menjadi jalur hukum yang menguntungkan bagi para terdakwa korupsi.
Sesuai dengan data pemantauan Indonesia Corruption Watch selama tahun 2006 dari berbagai media massa, tercatat 125 perkara korupsi dengan 362 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan (umum) di seluruh Indonesia. Di tingkat pengadilan negeri terdapat 100 perkara korupsi, di tingkat pengadilan tinggi (banding) tercatat 18 perkara, dan di tingkat kasasi hingga peninjauan kembali di Mahkamah Agung terdapat 7 perkara.
Dari 124 perkara yang telah diperiksa dan divonis, sebanyak 40 perkara dengan 117 terdakwa (32 persen) divonis bebas oleh pengadilan. Meskipun harus diakui bahwa tidak semuanya bebas karena terdapat 85 perkara (68 persen) yang akhirnya divonis bersalah, vonis bersalah yang dijatuhkan pengadilan sulit diharapkan dapat memberikan dampak kapok bagi pelakunya karena masih teramat ringan.
Tercatat, 37 perkara korupsi atau sekitar 29,8 persen dijatuhi vonis di bawah 2 tahun penjara. Angka ini jauh lebih mendominasi dibandingkan dengan kasus korupsi yang divonis penjara di atas 2 tahun hingga 5 tahun, yang hanya 32 perkara atau sekitar 25,8 persen. Angka tersebut akan kian menyusut jika melihat kasus korupsi yang divonis di atas 5 tahun penjara, yang hanya 16 perkara atau 12,8 persen.
Kenyataan penegakan hukum ini sangat kontras jika kita bandingkan dengan penanganan perkara korupsi oleh pengadilan tipikor. Selama dua tahun terakhir sejak berdirinya pengadilan tipikor, sedikitnya 29 perkara telah diperiksa dan diputus. Semua berkas perkara yang dilimpahkan KPK itu divonis bersalah dan tidak ada satu pun yang dibebaskan. Tidak hanya dari sisi itu, dari aspek penanganan perkara, proses di pengadilan tipikor jauh lebih cepat dibandingkan dengan hakim-hakim di pengadilan biasa.
Dengan perbandingan kinerja tersebut, apa yang telah ditunjukkan hakim pengadilan tipikor seharusnya diapresiasi oleh pemerintah. Seharusnya pengadilan tipikor mendapatkan tempat yang lebih kuat di dalam konstitusi, bukan justru akan dibubarkan.
Kedua, berlandaskan fakta tersebut, kehadiran KPK sebagai penegak hukum yang memiliki kewenangan besar tidak akan fungsional jika pengadilan tipikor dihapuskan.
Sebaliknya, ini akan menjadi awal dari proses memburuknya citra KPK di mata publik. Itu karena secanggih apa pun KPK memberikan bukti dan data hukum yang akurat, jika pengadilan biasa yang mengadilinya, sulit untuk bisa ditebak hasil akhirnya. Jika saja kelak di pengadilan biasa ada kasus KPK yang dibebaskan, bukan tak mungkin tuntutan pembubaran KPK juga akan kian kuat.
Karena itu, sebaiknya pemerintah tetap melandaskan usul-usul perbaikan dalam sistem pemberantasan korupsi pada putusan yang telah dibuat Mahkamah Konstitusi. Toh, UU Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 15 ayat 1 memungkinkan adanya pengadilan khusus, termasuk pengadilan tipikor, sebagaimana ayat penjelasannya. Artinya, jika berniat membubarkan pengadilan tipikor, pemerintah telah mengingkari adanya berbagai peraturan dan keputusan yang tetap menganggap pengadilan tipikor bisa dibentuk, sekaligus mengingkari agenda pemberantasan korupsi itu sendiri.
No comments:
Post a Comment