Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 tentang kedudukan keuangan DPRD, yang baru saja ditetapkan Presiden, telah menimbulkan gelombang penolakan dari masyarakat di berbagai tempat. Peraturan yang lahir setelah dikabulkannya judicial review atas Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 oleh Mahkamah Agung ini secara telanjang telah memicu kontroversi nasional.
Tidak tanggung-tanggung, dengan diberlakukannya peraturan ini, anggota DPRD di seluruh Indonesia dipastikan akan kaya mendadak. Di satu sisi, masyarakat akan semakin miskin dalam waktu yang tidak terlalu lama. Soalnya, dana APBD untuk menalangi kenaikan penghasilan dan tunjangan DPRD, sebagaimana bunyi peraturan tersebut, tidak tersedia. Sementara itu, yang tersisa hanya dana untuk belanja publik. Dapat diduga, sektor inilah yang akan disedot untuk menambah pundi-pundi anggota DPRD yang terhormat.
Mau bukti? Coba tengok hitungan-hitungan yang dibuat oleh Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Total jumlah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia 434. Dengan rata-rata kasar, di setiap kabupaten/kota terdapat 35 anggota DPRD. Merujuk pada PP Nomor 37 Tahun 2006, negara harus menyediakan anggaran sejumlah Rp 1,283 triliun per tahun untuk membayar tambahan tunjangan komunikasi insentif dan dana operasional DPRD seluruh Indonesia. Jumlah ini belum termasuk alokasi biaya untuk sekretariat DPRD dan DPRD provinsi seluruh Indonesia.
Karena peraturan ini berlaku surut per Januari 2006, pada awal 2007 anggota DPRD akan mendapatkan rapel tunjangan komunikasi tahun 2006 sebesar Rp 75,6 juta per orang untuk anggota DPRD kabupaten/kota dan Rp 108 juta per orang untuk anggota DPRD provinsi. Sementara itu, ketua dan wakil ketua DPRD mendapatkan kembali tambahan tunjangan operasional, yang totalnya menjadi Rp 226 juta untuk ketua DPRD kabupaten/kota dan Rp 156,24 juta untuk wakil ketua. Demikian pula dengan DPRD provinsi, masing-masing memperoleh rapelan Rp 324 juta untuk ketua dan Rp 223,2 juta untuk wakil ketua.
Dihadapkan dengan besarnya dana yang harus dialokasikan untuk DPRD, daerah-daerah miskin pendapatan tentu akan kedodoran untuk merealisasi peraturan ini. Ambil contoh Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Pendapatan asli daerahnya yang hanya Rp 6 miliar harus ludes tanpa sisa untuk membiayai belanja DPRD saja. Ini pun belum termasuk belanja untuk sekretariat DPRD. Apalagi jika kita mau menengok ke wilayah lain di timur Indonesia yang lebih miskin.
Dengan demikian, struktur anggaran yang tidak memungkinkan daerah menopang kebijakan peraturan ini kemungkinan besar akan membawa konsekuensi pada turunnya alokasi belanja publik. Alasannya sederhana: tidak mungkin belanja rutin daerah yang merupakan sesuatu yang tetap setiap tahun harus dikorbankan untuk membayar gaji DPRD. Apalagi biasanya dalam menghitung belanja rutin sudah dimasukkan besaran anggaran yang akan dikorupsi (menguap).
Karena itu, jika kebijakan peraturan ini dipaksakan untuk tetap dilaksanakan, yang paling potensial menjadi korban adalah sektor belanja publik (baca: masyarakat). Dalam hitung-hitungan Sekretariat Nasional Fitra, tidak kurang dari 20 persen belanja publik akan dialokasikan untuk membiayai gaji DPRD. Jika belanja publik yang dimaksud adalah untuk kepentingan pendidikan dan kesehatan, dapat diprediksi kira-kira apa yang akan terjadi dengan kualitas bangsa Indonesia ke depan. Dalam situasi sebelum pemberlakuan peraturan ini saja tingkat mutu pendidikan dan kesehatan kita sangat rendah, apalagi jika dikurangi porsi anggarannya demi pelaksanaan PP Nomor 37 Tahun 2006.
Di luar menggerogoti belanja publik, kehadiran PP Nomor 37 Tahun 2006 ini pun bisa dikatakan sebagai bagian dari legalisasi bentuk-bentuk korupsi yang terjadi pada era PP Nomor 110 Tahun 2000. Dulu beberapa item pendapatan DPRD dianggap ilegal karena tidak diatur dalam PP Nomor 110 Tahun 2000, sedangkan kini hal itu diakomodasi oleh PP Nomor 37 Tahun 2006. Misalnya item dana purnabakti, tunjangan komunikasi, dan dana operasional Dewan.
PP Nomor 37 Tahun 2006 juga membuka potensi korupsi secara massal karena kemungkinan besar terjadi double budgeting. Item yang paling mungkin menimbulkan biaya ganda ada pada tunjangan komunikasi insentif dan dana operasional bagi pemimpin DPRD dengan belanja kegiatan penunjang yang dialokasikan di sekretariat Dewan.
Kedua jenis belanja ini tidak mempunyai batasan yang tegas untuk menjelaskan jenis-jenis kegiatan yang bisa dibiayai oleh masing-masing item anggaran. Karena itu, kegiatan Dewan yang terdiri atas rapat, kunjungan kerja, penyiapan rancangan peraturan daerah, pengkajian dan penelaahan peraturan daerah, peningkatan sumber daya manusia, dan sebagainya dapat dibiayai oleh berbagai macam item anggaran yang tersedia.
Sebagaimana sudah disinggung di atas, PP Nomor 37 Tahun 2006 kian membebani anggaran daerah karena diberlakukan surut. Secara prosedural, pemberlakuan surut peraturan ini hingga Januari 2006 menyisakan tanda tanya besar karena dapat dianggap melanggar undang-undang. Sebagai catatan, peraturan ini baru dikeluarkan pada akhir Desember 2006, tapi berlaku sejak Januari 2006.
Pemicunya adalah Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.31/1121/BAKD tertanggal 20 November 2006 tentang Penyampaian Salinan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006. Dalam surat edaran itu disebutkan, untuk daerah yang telah melakukan perubahan APBD tapi belum mengalokasikan tunjangan komunikasi insentif dan dana operasional, tunjangan dan dana tersebut tetap dapat dibayarkan sepanjang tersedia anggarannya dalam kas daerah.
Bisa dikatakan, melalui surat edaran itu, Menteri Dalam Negeri telah "menyarankan" para pejabat daerah melanggar peraturan di atasnya. Paling kurang ada dua hal dalam surat edaran itu yang bertentangan dengan undang-undang. Pertama, terjadinya pertentangan antara waktu keluarnya peraturan tersebut dan waktu ditetapkannya APBD oleh pemerintah daerah.
Dalam Pasal 192 ayat 4 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa "kepala daerah, wakil kepala daerah, pimpinan DPRD, dan pejabat daerah lainnya dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran belanja daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD".
Kedua, APBD 2007 juga tidak bisa mengalokasikan tunjangan DPRD untuk dibayarkan mulai Januari 2006. Berdasarkan Pasal 4 UU Nomor 17 Tahun 2003, Pasal 179 UU Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 68 UU Nomor 33 Tahun 2004, dan Pasal 11 UU Nomor 1 Tahun 2004, tahun anggaran dalam APBD adalah 1 tahun anggaran mulai 1 Januari sampai 31 Desember. Artinya, APBD 2007 tidak bisa mengalokasikan anggaran untuk pembayaran tunjangan komunikasi dan dana operasional tahun 2006.
Dengan berbagai alasan di atas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan jajarannya perlu mencabut kembali Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006, yang nyata-nyata tidak berpihak pada kepentingan masyarakat luas.
No comments:
Post a Comment