Bencana terbesar di Republik ini terjadi saat hasrat menjadi wakil rakyat bukan dilandasi pengabdian yang tulus terhadap khalayak.
Intrusi kepentingan pribadi pada jabatan publik cenderung menghancurkan sendi-sendi kepercayaan rakyat terhadap negara dan para aktornya. Produk kebijakan yang lahir dari wakil rakyat yang keracunan libido memperkaya diri pastilah menjauh dari kepentingan yang diwakilinya. Ide-ide korupsi yang dikemas dengan berbagai pembenaran muncul dalam banyak bentuk. Salah satunya adalah studi banding ke luar negeri yang alokasi anggarannya dari masa ke masa terus membengkak.
Pola regenerasi jabatan politik dapat kita anggap gagal melahirkan wajah baru wakil rakyat yang inspiratif sekaligus aspiratif. Barangkali ada yang demikian, tapi eksistensinya disapu oleh kumpulan mayoritas yang tampak seragam: mendendangkan lagu yang sama bagaimana memperbesar pundi-pundi pribadi dari uang negara. Wajah baru anggota DPR kita—sekitar 70 persen dibanding dengan periode sebelumnya—ibarat barang lama yang dikemas ulang sehingga tampak baru, tapi mentalitas, visi, dan perilakunya setali tiga uang, old script, different cast.
Zona kedap kritik
Satu hal yang merisaukan, kian hari lingkungan parlemen menjadi zona kedap kritik. Protes publik yang demikian lantang atas keputusan DPR yang dirasa melukai rasa keadilan publik sering menghadapi tembok besar. Parlemen yang dalam desain idealnya berfungsi menyerap aspirasi masyarakat—tentu termasuk kritik di dalamnya—terkesan cuek. Pelesiran dengan kedok studi banding jadi agenda tak tergantikan.
Hasil akhirnya bisa ditebak. Kepergian mereka dengan anggaran negara yang tak sedikit hanya berbuah informasi ecek- ecek. Contoh nyata adalah Panitia Kerja RUU Pramuka yang sempat melawat ke Afrika Selatan, Jepang, dan Korea Selatan.
Tiga pokok temuan hasil studi banding itu benar-benar mengejutkan, paling tidak dari informasi yang mereka sampaikan sendiri kepada media massa. Pertama, ihwal perlakuan diskriminatif bagi warga kulit hitam Afrika Selatan yang ingin bergabung dalam kepramukaan. Kedua, pembiayaan satuan pramuka yang mandiri. Ketiga, menyangkut seragam pramuka. Dengan informasi semacam itu, apa kontribusi studi banding tersebut bagi perumusan draf RUU Pramuka?
Secara tak sadar, model studi banding yang demikian telah melecehkan anggota DPR sendiri di hadapan rakyat yang diwakilinya. Gagasan alternatif dan cara cerdas menggali informasi melalui internet yang dilontarkan berbagai kalangan masyarakat menunjukkan bahwa yang mewakili ternyata jauh lebih rendah mutunya dibanding yang diwakili.
Bisa dijamin, jika anggota DPR kita lebih tekun menggunakan teknologi untuk menggali informasi serta rajin membangun komunikasi dengan kantor perwakilan Indonesia di negara asing, akan banyak data dan bahan yang berguna untuk meningkatkan kualitas fungsi dan peran parlemen.
Rentan penyimpangan
Selain gagal dalam substansi studi banding, akuntabilitas keuangan kegiatan pelesiran anggota DPR juga sangat lemah. Bahkan, tercium indikasi korupsi dalam berbagai modusnya. Hasil audit BPK RI 2009 untuk masa anggaran 2007-2008 menyimpulkan bahwa laporan perjalanan dinas DPR sebesar Rp 341,3 miliar dinyatakan disclaimer. Artinya, auditor tak dapat memberi pendapat atas laporan pertanggungjawaban perjalanan dinas anggota Dewan karena administrasi keuangan mereka yang kacau. Buruknya administrasi pelaporan dan pertanggungjawaban penggunaan anggaran negara mengindikasikan adanya penyimpangan yang terjadi.
Secara umum, bentuk penyimpangan yang terjadi dalam penggunaan anggaran perjalanan dinas meliputi tiga hal. Yang pertama adalah perjalanan dinas fiktif. Maksudnya, anggota Dewan memang telah melakukan perjalanan dinas. Namun, tak ada kegiatan yang berhubungan dengan agenda kelembagaan DPR. Sudah dapat ditebak jika kegiatan di luar negeri kemudian diisi dengan acara jalan-jalan belaka.
Bentuk penyimpangan lain adalah manipulasi laporan keuangan. Berbagai macam kelengkapan administrasi untuk menunjang akuntabilitas pelaporan kegiatan perjalanan dinas sangat rentan dipalsukan: kuitansi, tiket, faktur pembelian, dan sebagainya. Barangkali laporan keuangan telah dibuat, tapi kebenaran dari laporan itu disangsikan. Tak heran jika BPK memberi predikat disclaimer pada laporan perjalanan dinas anggota Dewan.
Terakhir, sangat mungkin terjadi penggelembungan masa perjalanan dinas. Penjelasannya, seharusnya kegiatan studi banding bisa dilakukan dalam waktu tiga hari, tapi secara faktual perjalanan dinas memakan waktu hingga enam hari. Dari tiga modus penyimpangan di atas, terlihat bahwa yang terjadi tak hanya pemborosan uang negara. Penggunaan fasilitas dan keuangan negara untuk kepentingan pribadi juga merupakan bagian dari tindak pidana korupsi.
Sudah seharusnya pemimpin DPR mengevaluasi seluruh pelaksanaan dan rencana studi banding yang pada tahun 2010 meliputi Swiss, Inggris, Perancis, dan Jerman. Implikasi dari studi banding DPR yang tidak akuntabel dan transparan adalah melemahnya fungsi pengawasan Dewan terhadap eksekutif.
Besarnya alokasi anggaran perjalanan dinas di lingkungan eksekutif sebagaimana dilansir Fitra (2010) dapat dibuat lebih rasional jika anggota Dewan kritis terhadap diri sendiri. Syarat supaya DPR kritis terhadap eksekutif adalah DPR mampu melepaskan kepentingan dirinya sendiri terlebih dahulu. Tanpa pengawasan kuat dari DPR, anggaran negara akan ludes buat jalan-jalan pejabat publik kita.
Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW
Tulisan disalin dari Kompas, 13 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment