Dalam laporan tahunan 2007, PPATK menyebutkan bahwa laporan hasil analisis dari sejumlah temuan transaksi yang mencurigakan yang telah disampaikan kepada aparat penegak hukum mencapai 524 kasus.
Jumlah laporan hasil analisis itu––sebagaimana diakui Kepala PPATK Yunus Husein––mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.Akan tetapi, masalah yang selalu dihadapi publik untuk melakukan pengawasan atas kinerja pemberantasan praktik pencucian uang adalah tiadanya data yang akurat untuk melihat seberapa jauh tingkat proses hukum atas laporan tersebut. Sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU No 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang,PPATK memiliki tugas pokok yang salah satunya adalah melaporkan hasil analisis transaksi yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada kepolisian dan kejaksaan.Dengan demikian, peranan PPATK dalam pemberantasan pencucian uang sebatas pada pengumpan (feeder), bukan eksekutor.
Mengingat wewenang eksekusi ada pada penegak hukum, yakni kepolisian dan kejaksaan, maka kinerja pemberantasan pencucian uang sangat bergantung pada kesigapan dan profesionalitas kedua lembaga penegak hukum ini untuk menindaklanjuti temuan dan laporan PPATK. Persoalannya,untuk mengukur secara kuantitatif prestasi dalam pemberantasan praktik pencucian uang,hingga saat ini tidak ada data akurat yang disediakan pusat informasi di kepolisian maupun kejaksaan.
Dengan demikian, publik tidak pernah mengetahui, apakah laporan PPATK telah ditindaklanjuti kepolisian dan kejaksaan secara serius atau tidak? Kalaupun ada upaya memproses secara hukum temuan PPATK, data mengenai jumlah keseluruhan kasus yang telah selesai ditangani tidak banyak tersedia.Ketertutupan inilah awal dari munculnya praktik penyimpangan dalam proses penegakan hukum kasus pencucian uang.
Pencucian Uang, Mafia Hukum, dan Korupsi
Contoh yang paling mutakhir atas potensi penyimpangan yang diduga dilakukan oleh penyelidik dan penyidik,baik di tubuh kepolisian maupun kejaksaan, adalah terbongkarnya kasus Gayus Tambunan. Dari tiga sangkaan yang dijatuhkan padanya, yakni penggelapan, pencucian uang, dan korupsi, pada akhirnya berkas yang masuk ke pengadilan hanya satu. Itu pun lantas lolos karena Gayus divonis bebas murni oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang.
Dalam kasus Gayus, banyak yang luput untuk memperhatikan kegagalan penegak hukum dalam melakukan upaya pemberantasan praktik pencucian uang. Sebaliknya, yang banyak disoroti adalah kejahatan Gayus dan keterlibatan beberapa aparat penegak hukum dalam meloloskan Gayus dari jerat hukum. Sebelumnya,PPATK juga telah melaporkan 15 perwira Polri yang memiliki rekening fantastis kepada Mabes Polri.Namun, ibarat jeruk makan jeruk, dugaan adanya praktik pencucian uang dan korupsi yang sudah disampaikan PPATK lenyap bak ditelan waktu. Hingga saat ini, tidak ada informasi perkembangan penegakan hukum dari Mabes Polri atas laporan itu.
Padahal,sangat mungkin,ada kaitan antara menggelembungnya jumlah rekening para perwira Polri dengan praktik beking dalam banyak kejahatan, mulai illegal logging, korupsi, penyelundupan hingga narkoba dan sebagainya. Posisi strategis pemberantasan praktik pencucian uang yang sejalan dan mendukung pemberantasan mafia hukum, mafia kayu, mafia pajak, mafia politik dan korupsi pada akhirnya mengalami stagnasi fungsi. Ini terjadi karena pada akhirnya yang menentukan sebuah laporan kasus indikasi pencucian uang akan dilanjutkan atau tidak ada di tangan institusi kepolisian dan kejaksaan. Sementara di sisi lain, praktik mafia hukum justru banyak beroperasi pada tingkat aparat penegak hukumnya. Pada konteks ini, peranan PPATK menjadi tidak terlalu banyak berarti karena “disandera” oleh wewenang eksekutorial aparat penegak hukum.
Dua Persoalan Utama
Minimnya kontribusi yang diberikan rezim antipencucian uang untuk meminimalkan berbagai macam praktik kejahatan ilegal terletak pada penataan yang tidak terlalu tepat atas wewenang PPATK. PPATK sebagai lembaga independen telah berada pada jalur yang benar.Namun, jalan atau tidaknya agenda pemberantasan praktik pencucian uang tidak hanya bergantung kepada PPATK. Dalam bahasa lain, seberapa banyak pun jumlah laporan hasil analisis atas transaksi yang mencurigakan ditemukan oleh PPATK,sepanjang pada tingkat penindakan mengalami kemacetan penanganan, maka jumlah temuan menjadi tidak relevan.
Ada dua persoalan utama yang menghambat penanganan yang harmonis atas praktik pencucian uang di Indonesia. Pertama, ujung dari semua hasil kerja analisis dan pengolahan data mengenai transaksi yang mencurigakan di PPATK berada pada aparat penegak hukum. Dari kacamata penerapan sistem checks and balances, hal itu sudah sangat lumrah supaya tidak ada pemusatan otoritas/kekuasaan pada satu lembaga.Akan tetapi dalam situasi aparat penegak hukum justru menjadi penghambat dalam program pemberantasan praktik pencucian uang, menyerahkan otoritas kepada aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti laporan transaksi mencurigakan sama dengan bunuh diri.
Kedua, PPATK tidak memiliki petugas yang mandiri dari pengaruh kekuasaan mana pun. Meskipun PPATK adalah lembaga independen, nasibnya setali tiga uang dengan KPK yang sebagian sumber daya manusianya direkrut dari institusi penegak hukum konvensional. Tak mengherankan jika banyak rumor mengenai adanya data di PPATK yang bocor terlebih dahulu kepada pihak terlapor sebelum dilaporkan kepada penegak hukum.
Catatan ke Depan
Berdasarkan dua persoalan di atas, pemerintah dan DPR perlu melakukan revisi atas peran dan otoritas PPATK ke depan. Jika pada masa lalunya PPATK hanya berperan sebagai pemberi informasi bagi aparat penegak hukum,sudah saatnya PPATK diberi wewenang yang lebih besar,yakni otoritas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sendiri. Hal ini untuk meningkatkan peran PPATK dalam pemberantasan praktik pencucian uang sehingga sinergi antara PPATK dengan lembaga sejenis seperti KPK dan Komisi Yudisial dapat lebih kokoh terbangun.
Bagaimanapun, kaitan antara tindak kejahatan pencucian uang dengan kejahatan asalnya seperti korupsi,narkotik,judi,pembalakan liar, perdagangan manusia begitu kuat. Dalam rumusan hukum pencucian uang, memberantas kejahatan ini seharusnya sangat mudah karena para penyidik tidak harus membuktikan terlebih dahulu kejahatan asalnya. Sepanjang diketahui ada kecurigaan terhadap transaksi yang mencurigakan dan mengarah pada indikasi pencucian uang, pada saat itu pula proses hukum dapat dilakukan. Denganmemberikanwewenang penindakan kepada PPATK, diharapkan jumlah kasus pencucian uang yang bisa diungkap akan semakin signifikan.Demikian pula jika ada keterlibatan para perwira di tingkat penegak hukum dalam praktik pencucian uang,proses penegakan hukum tetap bisa dilakukan secara independen oleh PPATK.
Untuk melengkapi wewenang penindakan,PPATK juga harus dibekali para penyelidik dan penyidik yang independen. Kita harus becermin kepada KPK yang banyak mengalami hambatan penanganan perkara jika melibatkan aparat penegak hukum lain karena para penyelidik dan penyidik KPK sebagian besar berasal dari institusi kepolisian dan kejaksaan. Dengan penyelidik dan penyidik yang mandiri, PPATK akan menjadi pilar bagi penegakan hukum yang lebih menjanjikan di masa depan.(*)
Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan disalin dari harian Seputar Indonesia, 6 Mei 2010
No comments:
Post a Comment