Friday, May 21, 2010

Susno Duadji, Peniup Peluit, dan Isu Perang Bintang

Penetapan Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, yang mengguncang publik dan internal Mabes Polri karena pengakuannya atas praktik mafia hukum dalam penanganan kasus pajak Gayus Tambunan, sebagai tersangka mengundang sejumlah kontroversi.

Bagi sebagian kalangan, Susno seharusnya mendapatkan perlindungan hukum karena jasanya mengungkap sebuah rahasia besar –yang jika tidak diungkap olehnya- mungkin kasus mafia hukum dalam penanganan perkara Gayus Tambunan tidak akan pernah meledak sedemikian besar. Dalam konteks ini, Susno seharusnya diposisikan sebagai pahlawan yang perlu mendapatkan perlakuan yang wajar, sekaligus perlindungan hukum, bukan justru ditetapkan sebagai tersangka.

Namun, bagi sebagian pihak, Susno dianggap pahlawan kesiangan, karena baru mengungkap adanya kebusukan di internal Mabes Polri setelah dirinya tidak lagi menjabat sebagai Kabareskrim. Susno yang jabatannya dicopot karena menjadi pemicu konflik Cicak (Cinta Indonesia Cinta KPK) melawan Buaya, dipandang terlambat dalam membocorkan semua rahasia tersebut.

Semestinya, saat menjabat sebagai Kabareskrim, Susno dengan kekuasaannya dapat melakukan berbagai hal, terutama dalam menangani dan menuntaskan perkara-perkara besar yang dipegang Mabes Polri. Dengan demikian, sepak terjang Susno selepas pencopotan dirinya sebagai Kabareskrim dianggap merupakan bentuk balas dendam pribadi terhadap kekuasaan di Mabes Polri yang telah mendepaknya. Dalam konteks ini, niat untuk mengungkap kasus mafia pajak dan berbagai macam kasus lain sebagaimana ia janjikan bukan ditujukan untuk reformasi di tubuh Mabes Polri.

Kontroversi lain yang muncul dalam kasus Susno adalah penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyuapan dengan bekal fakta hukum berupa pengakuan tiga saksi yang dipandang sangat lemah. Apalagi dua saksi yang memberatkan Susno berasal dari internal Mabes Polri, dan saksi ketiga adalah orang yang pernah dilaporkan Susno sebagai Mr X. Dalam logika umum, Susno tidak mungkin akan menyuarakan sesuatu jika kelak justru membahayakan dirinya sendiri.

Demikian halnya, frase dari ”akan dijanjikan menerima uang” menjadi ”telah menerima uang” adalah sebuah pengertian dan fakta hukum yang berbeda, sehingga akan menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda pula. Sebagaimana kita ketahui, pengakuan Mr X (Syahril Djohan) yang sempat muncul di media massa adalah bahwa dirinya baru menjanjikan akan memberikan uang senilai Rp 500 juta jika Susno dapat menyelesaikan kasus yang dimakelari Syahril Djohan secara damai.

Namun, kini fakta hukum itu telah bergeser menjadi ”telah menerima”. Tentu saja jika benar fakta hukum itu telah berubah, Susno layak dijadikan sebagai tersangka, karena seorang pejabat publik tidak boleh menerima suap dari pihak mana pun. Meskipun demikian, dalam konstruksi pidana suap-menyuap, baru Susno sebagai penerima suap yang telah dijadikan sebagai tersangka oleh Mabes Polri, sedangkan pihak yang memberikan suap belum ditetapkan sebagai tersangka sama sekali. Pendek kata, jika ujung dari skenario kejahatan suap-menyuap yang menyeret Susno sebagai tersangka berhenti pada Susno semata, maka kasus penetapan Susno sebagai tersangka bisa memicu gejolak yang lebih besar.

Melindungi Peniup Peluit
Perdebatan menarik seputar penetapan Susno sebagai tersangka adalah isu absennya perlindungan hukum terhadap sang peniup peluit. Pertanyaan mendasarnya, apakah semestinya Susno mendapatkan perlindungan hukum atas apa yang telah dia ungkapkan? Sebenarnya sistem hukum di Indonesia telah memberikan mekanisme perlindungan hukum bagi para pelapor dan saksi.

Masalahnya, untuk mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, ada beberapa persyaratan yang sayangnya dalam kasus Susno tidak dipenuhi.

Pertama, Susno hanya bermain pada wilayah pemberitaan media massa dalam mengungkap kasus permainan hukum atas perkara pajak Gayus Tambunan. Meskipun kemudian fakta atas pengakuan Susno kian terang, dan beberapa pejabat publik sedang diproses secara hukum, posisi Susno yang tidak pernah menjadi saksi atau pelapor membuat perlindungan hukum menjadi sulit diberikan kepadanya. Kita tentu ingat, perlindungan hukum diberikan hanya bagi pihak yang telah melaporkan tindak pidana secara rahasia. Dengan mengungkap masalah tersebut kepada publik melalui media massa, persyaratan untuk mendapatkan perlindungan hukum menjadi tidak terpenuhi.

Kedua, Susno tidak pernah melaporkan adanya praktik mafia hukum itu kepada aparat penegak hukum. Meskipun ada pelaporan kepada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, karena Satgas bukanlah bagian dari penegak hukum, maka sulit bagi Susno untuk dianggap sebagai pelapor. Semestinya Susno melaporkan temuan atas praktik mafia hukum itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi misalnya, sehingga dirinya akan mendapatkan perlindungan hukum yang memadai sebagaimana saksi atau pelapor lainnya yang telah diberikan perlindungan hukum yang tepat.

Perang Bintang Menuju Trunojoyo I
Pengakuan Susno dan penetapan Susno sebagai tersangka sesungguhnya hanya akan menjadi pernak-pernik dari pertarungan antarbintang di Mabes Polri menuju kursi Trunojoyo I. Oleh karena itu, jika Presiden tidak mengambil langkah politik yang besar untuk memulai melakukan reformasi di internal Mabes Polri, apa yang telah diungkap Susno dan apa yang terjadi pada Susno tidak akan berarti apa pun.

Bagaimanapun, situasi sekarang tidak memungkinan bagi Presiden untuk menyerahkan upaya perbaikan di Mabes Polri kepada mereka sendiri. Perlu ada intervensi politik untuk menata ulang, sekaligus merombak secara serius situasi internal di Mabes Polri. Jangan sampai apa yang kini dilakukan Mabes Polri, dengan menyeret para pelaku praktik mafia hukum dan pengungkapnya sendiri, yakni Susno, sebagai langkah reformasi yang bersifat buka-tutup.

Kita tentu tidak ingin setiap ada proses pergantian Kepala Kepolisian Republik Indonesia akan ada korban jatuh, sementara isu korupsi di Mabes Polri selalu menjadi bumbu penyedap dari perebutan kekuasaan menuju panglima tertinggi di Mabes Polri, sehingga mengabaikan agenda pemberantasan korupsi di lembaga penegak hukum. (E6)

Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch

sumber: http://www.vhrmedia.com/Susno-Duadji-Peniup-Peluit-dan-Isu-Perang-Bintang-opini4197.html#email-to-friend

No comments: