Tuesday, May 04, 2010

Efektivitas Penjara Khusus Koruptor

TIDAK munculnya efek jera dari pemenjaraan para koruptor disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya, kondisi penjara di hampir sebagian lembaga pemasyarakatan yang dihuni koruptor bisa disulap menjadi istana atau hotel.

Karena itu, tidak mengherankan jika korupsi terus terjadi dan kian berkembang. Asumsinya, jika risiko atas perbuatan korupsi lebih rendah ketimbang nilai korupsi yang diperoleh, korupsi akan terus berlangsung. Karena itu, pemenjaraan pelaku korupsi seharusnya dimaksudkan untuk meningkatkan risiko terhadap tindakan koruptif. Bukan sebaliknya, menjadi tempat yang tidak menakutkan sama sekali bagi pencuri uang negara.

Untuk menghindari kejadian seperti kasus Ayin dan beberapa koruptor kakap lain, Menteri Hukum dan HAM telah meresmikan penjara khusus bagi koruptor di Lapas Cipinang, Jakarta. Diharapkan dengan penjara khusus tersebut, koruptor yang memiliki banyak uang tidak serta merta dapat menyuap pejabat atau petugas lapas untuk mendapatkan fasilitas yang berlebih. Dengan begitu, koruptor akan dapat merasakan tidak enaknya hidup di penjara sebagaimana dialami pelaku kriminal jalanan.

Empat Faktor Menjerakan

Karena penjara adalah ujung atau akhir dari hasil perbuatan pidana (korupsi), efek jera atas perbuatan korupsi tidak serta merta bergantung padanya. Ada rentetan proses hukum yang menjadi faktor lain dari kuat atau tidaknya efek jera sebagaimana yang diinginkan dari pemidanaan.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah tingkat hukuman bagi koruptor yang belum mencerminkan rasa keadilan publik. Dalam catatan ICW pada 2009, rata-rata hukuman bagi koruptor yang telah divonis tetap di Pengadilan Tipikor hanya 4,4 tahun. Rata-rata hukuman ini bisa berkurang jika kita melihat realitas yang ada di pengadilan umum.

Jika hukuman yang diberikan hakim ringan, tentu saja hal itu juga disebabkan oleh tuntutan jaksa yang tidak terlalu tinggi. Ada semacam kebiasaan bahwa putusan bersalah hakim terhadap koruptor berkisar 50 persen lebih kecil daripada tuntutan jaksa penuntut.

Meski demikian, meningkatkan risiko terhadap perbuatan korupsi tidak cukup hanya dengan tingkat hukuman penjara yang lama. Juga diupayakan bagaimana membuat para koruptor tidak dapat menikmati hasil jarahannya. Dalam konteks ini, hukuman penjara yang berat harus dikombinasikan dengan putusan ganti rugi atas perbuatan telah merugikan keuangan negara secara berlipat.

Faktor yang membuat korupsi di Indonesia bisa sangat menyenangkan adalah karena putusan ganti rugi tetap membuat para koruptor bisa menikmati dan mengembangbiakkan hasil korupsinya. Pasalnya, dari tindakan korupsi yang acapkali dilakukan terus-menerus, yang dapat dibongkar aparat penegak hukum barangkali hanya satu atau dua perbuatan. Akumulasi kekayaan yang dihasilkan dari korupsi yang berulang-ulang itu akan sanggup membuat pelakunya hidup dalam kemewahan, sekalipun pada akhirnya perbuatannya diketahui.

Demikian halnya hukuman ringan akan kian ringan jika pemerintah memberikan kebijakan remisi terhadap pelaku korupsi pada hari-hari besar. Kita tahu, hari-hari besar di Indonesia tidak hanya satu kali dalam setahun. Jika pertimbangan kelakuan baik selama di penjara menjadi ukuran untuk memberikan diskon hukuman, paling tidak koruptor hanya akan menghuni sel penjara setengah dari vonis penjara yang telah diberikan hakim.

Karena korupsi merupakan kejahatan white collar, biasanya pelakunya adalah orang terdidik, pintar, berkedudukan tinggi, dan sudah terbiasa berperilaku baik dalam hubungan sosial. Mereka bukanlah pelaku kriminal jalanan yang hampir kehilangan pegangan nilai-nilai sosial sehingga perilaku mereka cenderung kasar. Karena itu, secara sosiologis, alasan pemberian remisi bagi koruptor tidak bisa disamakan dengan pelaku kejahatan jalanan.

Pembenahan Aparat

Langkah Menteri Hukum dan HAM membuat penjara khusus koruptor perlu dihargai. Tetapi, supaya penjara khusus koruptor tidak jatuh sebagai tempat atau hotel baru bagi penghuninya, perlu pembenahan serius terhadap aparat yang akan mengoperasikan penjara tersebut. Jika aparat yang mengawal penjara khusus koruptor diambil dari lapas-lapas yang ada sebelumnya, mungkin penjara khusus koruptor tidak banyak bermanfaat.

Pasalnya, mereka telah terbiasa menerima sesuatu dari penghuni lapas untuk meloloskan banyak hal yang sebenarnya dilarang. Justru peluang menjadi lebih terbuka untuk terjadinya praktik suap-menyuap antara koruptor dan aparat lapas. Sebab, biasanya para koruptor memiliki lebih banyak duit daripada pelaku kejahatan lain. Jika ini yang terjadi, penjara khusus koruptor bukan hanya surga bagi penghuni selnya, tapi juga surga bagi aparaturnya.

Karena itu, diresmikannya penjara khusus koruptor harus menjadi momentum bagi Menteri Hukum dan HAM untuk membenahi secara serius mentalitas aparat lapas yang terbiasa dengan praktik sogok-menyogok. Melakukan rekrutmen khusus, pengawasan yang superketat terhadap mereka, penyediaan dokter khusus yang profesional karena koruptor sering beralasan sakit untuk keluar dari penjara, membangun sistem penjara yang modern sehingga dapat mengurangi peluang bagi aparat untuk "bermain-main" adalah bagian dari pembenahan di lembaga pemasyarakatan yang perlu diperhatikan.

Terakhir, Menteri Hukum dan HAM harus melakukan moratorium (penghentian) terhadap kebijakan pemotongan hukuman bagi koruptor yang selama ini menjadi kebiasaan. Sebab, diskon hukuman bagi koruptor adalah kebijakan yang justru melanggengkan perbuatan korupsi. (*)

*). Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW

Tulisan disalin dari Jawapos, 5 Mei 2010

No comments: