Panitia Seleksi Pimpinan KPK telah mengumumkan dua calon terbaik pimpinan KPK, Bambang Widjojanto dan Busro Muqoddas, sekaligus menyerahkan dua nama di atas ke Presiden SBY.
Bisa dikatakan,seluruh proses seleksi berakhir dengan hasil sangat memuaskan karena nada miring atas kedua calon tidak muncul sama sekali. Pemilihan dua nama tersebut juga tidak melahirkan friksi internal di tingkat pansel karena mereka terpilih secara aklamasi. Hal ini berbeda dengan seleksi pimpinan KPK pada 2007 di mana munculnya nama Antasari Azhar telah memicu reaksi keras dari sebagian kalangan masyarakat. Dengan majunya Bambang dan Busyro ke tahap fit and proper testdi Komisi III DPR RI,harapan publik atas kedua calon pimpinan KPK ini kian menguat di tengah kondisi KPK yang sedang lesu darah.
Publik pun tak mempersoalkan siapa yang akan menjadi pimpinan KPK ke depan karena keduanya dianggap memiliki le-vel kualitas yang sama. Sebaliknya, dari kacamata kepentingan politik, majunya Bambang dan Busyro akan menyulitkan langkah politik DPR untuk meningkatkan posisi tawar.Bagaimanapun kedua sosok di atas memiliki karakter tegas, antikompromi,dan keras terhadap prinsip kebenaran sehingga sulit untuk diajak “bekerja sama”.
Sementara tabiat politik selalu ingin menjaga kepentingannya dari pengaruh maupun tekanan pihak mana pun, termasuk supaya para kader politiknya, baik yang berada di Senayan maupun di daerah luput dari upaya pembersihan KPK.Apalagi 26 anggota DPR yang terlibat dalam suap pemilihan Miranda Goeltom baru dilansir oleh KPK sebagai tersangka. Dengan lengkapnya formasi pimpinan KPK, kekhawatiran kalangan DPR atas sepak terjang KPK bisa kian menguat.
Angin Segar
Tampilnya Bambang dan Busyro sebagai calon terbaik pilihan pansel di sisi lain telah membawa angin segar bagi agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.KPK yang saat ini dalam situasi lunglai karena masalah Bibit dan Chandra yang belum kunjung usai akan diberi suntikan darah segar baru. Tampilnya Bambang maupun Busyro sebagai pimpinan KPK diharapkan akan meningkatkan adrenalin pemberantasan korupsi yang kini tengah menghadapi ujian berat.
Terpilihnya Bambang dan Busyro sebagai kandidat terbaik pimpinan KPK juga telah menghapus masalah klasik di internal Pansel KPK yakni pro dan kontra mengenai harus tidaknya calon pimpinan KPK dari perwakilan penegak hukum. Dengan Bambang yang berlatar belakang aktivis dan pengacara, serta Busyro dari unsur akademisi sekaligus Ketua Komisi Yudisial, tanpa ada satu pun wakil dari penegak hukum (jaksa dan polisi),Pansel KPK tidak meninggalkan masalah krusial, sebagaimana ketika Pansel KPK pada 2007 meloloskan Antasari Azhar yang kontroversial selaku calon karena pertimbangan harus ada perwakilan penegak hukum.
Dua Langkah Menjegal
Indikasi bahwa Bambang dan Busyro akan melalui fit and proper test yang rumit di DPR sudah tergambar ketika wacana untuk menolak keduanya kini mulai bermunculan. Meskipun resistensi politik di Parlemen belum terlalu jelas, suara samar-samar yang bertiup dari Gedung Senayan dapat saja membuyarkan harapan publik luas atas agenda pemberantasan korupsi yang lebih baik di masa depan. Apalagi jika suara penolakan kepada dua calon pimpinan KPK tersebut menjadi dominan, dengan alasan merupakan hak konstitusional Parlemen.
Menolak Bambang dan Busyro memang merupakan cara “bunuh diri” Parlemen yang teramat sulit untuk dilakukan, tetapi tetap merupakan ancaman potensial yang layak diperhitungkan. Cara lain untuk “menjegal” dua calon pimpinan KPK pilihan pansel adalah dengan mengurangi masa jabatannya,dari empat tahun sebagaimana usulan pansel menjadi satu tahun saja.Secara politis, usulan satu tahun merupakan langkah untuk meminimalisasi pengaruh Bambang atau Busyro di KPK, sekaligus mengurangi imbas negatif bagi kepentingan politik yang ada karena sepak terjang Bambang ataupun Busyro kelak.
Dengan menjabat hanya satu tahun,sulit bagi keduanya, siapa pun yang nanti terpilih, untuk melakukan langkahlangkah radikal dalam agenda pemberantasan korupsi. Mengurai persoalan masa tugas satu tahun atau empat tahun memang sebuah tantangan tersendiri karena dalam UU KPK tidak diatur secara eksplisit dan detail mengenai periode jabatan pimpinan KPK pengganti. Undang- Undang KPK hanya menyebutkan jika ada pimpinan KPK dalam masa tugasnya harus diganti karena satu hal, mekanisme seleksinya mengikuti proses pemilihan pimpinan KPK sebagaimana biasanya.
Pertimbangan Praktis
Karena secara hukum tidak ditemukan rujukan yang jelas, seharusnya pertimbangan untuk menentukan satu tahun atau empat tahun periode pimpinan KPK terpilih didasarkan pada asas kemanfaatan publik luas. Jika periode kepemimpinan pimpinan KPK terpilih adalah empat tahun, ini sebuah kesempatan untuk melakukan estafet kepemimpinan KPK dengan cara yang lebih baik. Alasannya, jika semua pimpinan KPK diganti pada saat yang bersamaan, tentu bagi pimpinan KPK terpilih akan membutuhkan waktu yang lama untuk menjalankan organisasi karena faktor penyesuaian.
Sementara jika sudah atau masih ada nakhoda yang tetap tinggal di kapal besar bernama KPK, empat pimpinan KPK yang baru dapat melakukan proses internalisasi secara lebih mudah dan cepat. Masa kerja empat tahun bagi pimpinan KPK terpilih juga akan mengefektifkan alokasi anggaran negara yang sudah dikeluarkan untuk proses seleksi.Terhitung Rp2,5 miliar telah dianggarkan untuk memilih satu pimpinan KPK.Angka ini belum termasuk proses fit and proper test yang akan dilakukan Komisi III DPR RI.
Tentu saja ini bukanlah nilai yang kecil. Jika kemudian pimpinan KPK terpilih hanya bekerja untuk periode satu tahun, tentu saja angka Rp2,5 miliar adalah ongkos seleksi pejabat publik yang teramat mahal.(*)
Adnan Topan Husodo
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan disalin dari harian Seputar Indonesia, 16 September 2010
No comments:
Post a Comment