Hamka Yandhu, tersangka kasus korupsi dana Bank Indonesia (BI), secara mengejutkan memberikan kesaksian berani di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Menurutnya, seluruh anggota Komisi XI DPR RI periode 1999-2004 telah menerima dana BI dalam jumlah yang beragam. Dua di antaranya kini menjadi anggota kabinet SBY,yakni Menteri Kehutanan MS Kaban dan Ketua Bappenas Paskah Suzetta. Pengakuan ini dengan sendirinya telah membantah pendapat bahwa pelaku korupsi di DPR adalah oknum.
Nyatanya,dalam proses hukum kasus korupsi dana BI, kian terkuak fakta bahwa permintaan uang kepada mitra kerja DPR merupakan kesepakatan kolegial di komisi, bukan inisiatif orang per orang.Soal yang beroperasi di lapangan adalah satu atau dua orang, posisinya tetap saja mewakili kelompok,bukan dirinya sendiri.
Modus semacam ini juga sama dengan kasus suap alih fungsi hutan lindung Bintan yang melibatkan Yusuf Emir Faishal dan kawan-kawan. Dalam pengakuan Bupati Bintan dan Sekretaris Daerah Bintan di Pengadilan Tipikor, prakarsa dan permintaan uang sebesar Rp 4,5 miliar datang dari Ketua Komisi IV DPR RI.Ancamannya, jika uang tersebut tidak diberikan, alih fungsi hutan lindung akan mengalami hambatan.
Pada akhirnya setelah kasus terungkap, yang diproses secara hukum terlebih dahulu adalah Al Amin Nur Nasution yang diduga kuat adalah operator dari praktik suap. Baru kemudian belakangan diketahui Ketua Komisi IV DPR RI juga sangat berperan dalam kasus ini.
Jika perilaku anggota DPR secara umum tecermin dari kasus korupsi di atas, rasanya publik sulit berharap banyak kepada mereka.Wakil rakyat pada akhirnya sekadar label, tetapi sejatinya mereka adalah perampok berdasi. Senjatanya bukan pistol dan granat sebagaimana pada film laga, tetapi kekuasaan politik yang nyaris absolut.
Tanpa adanya kontrol dan pertanggungjawaban, wewenang mengelola sumber daya publik dengan mudahnya diselewengkan, apalagi di tangan orang-orang yang keliru. Tak mengherankan jika korupsi di DPR menjadi perbuatan yang jamak. Karena itu, memilih wakil rakyat adalah pekerjaan tidak mudah.Pemilih harus benar-benar selektif untuk menentukan siapa yang dapat mewakili aspirasinya di DPR.
Jika kita keliru menentukan pilihan, akan dapat dipastikan selama lima tahun kita hanya dapat mengecam dan memaki wakil rakyat.
Reformasi Sistem
Memilih wakil rakyat adalah ujung pangkalnya. Akan tetapi muaranya ada pada proses rekrutmen calon anggota legislatif (caleg) di lingkup internal partai politik yang sedang berlangsung.
Merujuk pada tahapan pelaksanaan pemilu Komisi Pemilihan Umum (KPU), dijadwalkan pada 14–19 Agustus 2008 KPU akan membuka pendaftaran caleg sementara dari partai politik peserta pemilu. Ini berarti sekarang partai politik peserta pemilu sedang melakukan penjaringan caleg untuk kemudian didaftarkan kepada KPU.
Untuk menghindari tampilnya caleg yang korup,partai politik harus melakukan beberapa perubahan fundamental dalam mekanisme rekrutmen politiknya. Jika sedari awal pemilih sudah dilibatkan dalam menyeleksi caleg yang demikian beragam, kemungkinan lolosnya caleg bermasalah dapat dihindari. Oleh sebab itu,partai politik peserta pemilu perlu mengembangkan mekanisme demokrasi internal mereka.
Caleg, baik pusat maupun daerah, yang saat ini mendaftar melalui partai politik,baik yang berasal dari kader maupun kalangan luar partai,seharusnya diseleksi melalui pendekatan yang lebih transparan,akuntabel,dan demokratis. Ini berarti, siapa yang akan mewakili partai politik sebagai caleg bukan semata-mata ditentukan elite partai dan bukan semata-mata calon yang memiliki dana berlebih.
Elite partai seharusnya juga mendistribusikan kekuasaan tersebut kepada anggota partainya. Pendekatan ini bukan hanya akan mampu mendeteksi caleg bermasalah, tetapi meningkatkan akuntabilitas dan transparansi partai politik terhadap para anggotanya. Dalam konteks ini, anggota partai politik tidak lagi ditempatkan sebatas voters yang pasif,tetapi ikut aktif mendinamisasi pengambilan keputusan internal partai politik.
Di samping itu, partai politik juga dapat meningkatkan early warning systemdengan memublikasikan daftar caleg sementara (DCS) kepada masyarakat luas.Apa yang disebut sebagai uji publik seharusnya menjadi bagian dari proses perekrutan caleg di internal partai politik.Menyediakan kesempatan kepada masyarakat luas untuk memberikan masukan mengenai rekam jejak caleg akan sangat positif dampaknya bagi citra partai politik itu sendiri.
Terakhir, partai politik perlu mengembangkan nilai-nilai etis dalam berpolitik sehingga berbagai dugaan pelanggaran, baik kode etik maupun pidana dapat diputuskan secepatnya. Hal ini terkait dengan ke-mungkinan partai politik masih memberikan peluang bagi para anggota DPR yang tengah menghadapi masalah hukum (korupsi).
Jika partai politik menempatkan asas praduga tak bersalah sebagai dasar mengambil keputusan di mana putusan hukum tetap (incracht) adalah basisnya, sulit mengharapkan adanya perubahan yang lebih progresif. Harus disadari bahwa menegakkan nilai etik dalam politik tidak harus menunggu proses hukum selesai. Penegakan nilai-nilai etik politik memiliki ruang dan dimensi yang berbeda dengan perkara pidana yang sedang melilit kadernya.
Mengembangkan sanksi politik terhadap kadernya yang bermasalah merupakan wilayah otonom partai politik. Jadi,tanpa harus menunggu putusan hukum yang tetap, partai politik seharusnya sudah dapat melakukan penegakan nilai etika politik.(*)
Adnan Topan Husodo
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW
Tulisan disalin dari Koran Seputar Indonesia, Jumat, 8 Agustus 2008
1 comment:
artikel anda :
http://politik.infogue.com/
http://politik.infogue.com/reformasi_rekrutmen_politik
promosikan artikel anda di www.infogue.com dan jadikan artikel anda yang terbaik dan terpopuler menurut pembaca.salam blogger!!!
Post a Comment