Sunday, October 29, 2006

Melawan Pemberantasan Korupsi

Dalam situasi dimana praktek korupsi yang telah menggurita mulai diberantas, hambatan dan tantangan untuk melakukannya tidak kecil. Meskipun usaha-usaha serius mulai dibangun, namun berbagai pihak yang tidak diuntungkan oleh situasi baru akan melawan. Perlawanan itu tidak sekedar menggunakan satu pendekatan, akan tetapi berbagai cara dilakukan untuk meredam gerakan pemberantasan korupsi.

Apalagi jika kemudian, dukungan politik untuk memberantas korupsi ternyata tidak terlalu besar. Paling kurang dukungan politik dari tiga pilar pemerintahan, yakni eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Ketiga sektor ini memiliki pengaruh yang sangat signifikan atas keberhasilan atau kegagalan dalam memberantas korupsi.

Pada mulanya, kesulitan terbesar dalam memberantas korupsi adalah minimnya perangkat hukum beserta struktur penegakannya yang sudah demikian hancur. Berbagai peraturan yang telah ada tidak banyak membantu, alih-alih justru menyulitkan agenda pemberantasan korupsi.

Demikian halnya dengan aparatur penegak hukum yang tidak cakap. Barangkali ketidakcakapan itu sebagian besarnya lahir karena mentalitas yang buruk. Hampir tidak ada cermin yang memantulkan integritas dan akuntabilitas atas kerja-kerja aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Yang lebih mengerikan, upaya-upaya penegakan hukum justru digembosi oleh mereka sendiri.

Tak heran jika upaya untuk melibatkan masyarakat dalam memberantas korupsi pun tidak mudah dilakukan. Meskipun hal ini merupakan unsur penting bagi upaya untuk menciptakan mekanisme kontrol yang efektif, ditengah kondisi nyata bahwa kontrol antar dan intra lembaga negara juga tak luput dari kerusakan yang mengenaskan.

Namun tingginya sikap apatisme masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum adalah hambatan tersendiri bagi pelibatan yang lebih besar dalam pemberantasan korupsi. Mengingat di banyak negara, pembelajaran utama yang bisa dipetik dari usaha memberantas korupsi yang berhasil adalah hadirnya partisipasi masyarakat didalamnya.

Mengaitkan ketiga hal tersebut dalam agenda pemberantasan korupsi yang sistematis bukanlah pekerjaan yang mudah. Prioritas perlu dibuat, akan tetapi pada saat yang bersamaan masyarakat membutuhkan hasil nyata yang cepat. Hal ini penting untuk membangkitkan kepercayaan mereka atas usaha serius pemerintah dalam memberantas korupsi. Namun disisi lain usaha itu tersendat karena tiadanya kondisi yang mendukung pemberantasan korupsi secara penuh. Meskipun berbagai peraturan baru dirancang, dan berbagai lembaga antikorupsi baru dibentuk, namun kehadiran mereka rentan dengan penggembosan.

Contoh yang paling faktual adalah pemangkasan fungsi kontrol Komisi Yudisial (KY) dan penghapusan pengertian perbuatan melawan hukum secara material dalam UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam dua sidang gugatan yang berbeda. Yang mengkhawatirkan, pemangkasan itu justru dilakukan oleh sebuah lembaga ekstra-yudisial yang memiliki keistimewaan mengingat putusan mereka yang bersifat final.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbentuk beberapa tahun lalu juga tak luput dari upaya pembubaran, atau paling kurang pengkerdilan. Lembaga superbody yang perlahan-lahan menunjukan tajinya itu kerap digugat oleh para pihak yang sedang diproses KPK. Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) adalah salah satu pihak yang telah mengajukan gugatan judicial review UU No 30 Tahun 2003 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi. MHI menganggap UU tentang KPK telah melanggar UUD. Mengingat pasal-pasal yang krusial terkait dengan kewenangan KPK yang ingin dibatalkan melalui mekanisme judicial review, bisa dibilang langkah itu merupakan upaya untuk mengebiri KPK.

Yang cukup mengkhawatirkan, upaya-upaya perlawanan terhadap pemberantasan korupsi ini menggunakan jalur hukum sebagai pendekatan, melalui gugatan judicial review kepada MK. Persoalannya adalah, kecenderungan putusan yang dibuat oleh MK dalam mengkaji gugatan, terutama yang diajukan terhadap institusi superbody seperti KY dan KPK menunjukan kecenderungan negatif. Bisa jadi cara seperti ini akan selalu ditempuh oleh siapapun yang tidak diuntungkan oleh agenda pemberantasan korupsi untuk melakukan perlawanan, dengan bekal banyaknya celah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar terbentuknya lembaga-lembaga antikorupsi baru.

DPR sebagai penyusun legislasi tidak bisa tidak merupakan pihak yang paling bertanggung-jawab atas munculnya banyak celah hukum. Bagaimanapun, hukum adalah produk politik. Semua rumusan mengenai peraturan yang melahirkan lembaga-lembaga antikorupsi baru seperti KY dan KPK dibawah kendali sepenuhnya DPR. Tak dapat dipungkiri, DPR merupakan lembaga yang rentan dengan intervensi kepentingan. Produk hukum mencerminkan sikap politik DPR terhadap situasi tertentu. Dalam konteks pemberantasan korupsi, agaknya dukungan politik dari DPR tidak terlalu menggembirakan. Banyaknya celah peraturan yang menaungi kehadiran lembaga antikorupsi baru menunjukan sebagian dari sikap itu. Belum lagi tiadanya keinginan untuk mengadopsi beberapa regulasi yang progresif untuk pemberantasan korupsi.

Yang terbaru, justru Panitia Kerja (Panja) Gabungan Komisi II dan Komisi II yang membawahi Pemerintahan Daerah dan penegakan hukum menyusun rekomendasi yang konyol. Sikap politik DPR yang meminta adanya rehabilitasi nama baik anggota DPRD yang didakwa korupsi jelas-jelas merupakan bentuk intervensi politik atas hukum. Usaha seperti ini tidak hanya akan menyurutkan langkah pemberantasan korupsi, lebih jauh dari itu merupakan jalan baru bagi politisi yang terlibat kasus korupsi untuk mendapatkan proteksi politik.

Gerakan untuk menggerus agenda pemberantasan korupsi nyatanya juga secara tidak langsung didukung institusi yudisial. Bebasnya DL Sitorus di Pengadilan Tinggi Jakarta -yang sebelumnya telah divonis 8 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat- menambah daftar pelaku korupsi yang dibebaskan. Dalam catatan ICW sepanjang tahun 2006 ini, terdapat 17 perkara korupsi yang pelakunya dibebaskan oleh pengadilan, baik di tingkat pertama maupun banding. Lazimnya sebuah kasus pidana, jika aparat penyidik dan penuntut sudah membawa ke pengadilan, peluang untuk lolosnya sangat kecil. Akan tetapi, akrobat di pengadilan kerap melahirkan kejutan-kejutan. Tak heran jika tuduhan masih bercokolnya mafia peradilan bukan sesuatu yang mengada-ada.

Minimnya usaha dan dukungan yang serius dari ketiga wilayah kekuasaan dan cabang-cabangnya yang baru, seperti MK dalam memberantas korupsi pada akhirnya hanya akan membuka kesempatan bagi siapapun yang merasa dirugikan atas agenda pemberantasan korupsi untuk melakukan perlawanan. Jika perlawanan terhadap gerakan antikorupsi berhasil, dapat dipastikan hal itu akan mematikan nadi pemberantasan korupsi yang sedang berdetak.

No comments: