Monday, July 17, 2006

Dimensi Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa

Di Indonesia, praktek korupsi telah terjadi dalam berbagai wilayah. Mulai korupsi di lingkup birokrasi, kepolisian, pengadilan, hingga militer. Semua itu merupakan bagian-bagian yang menegaskan wajah korupsi sebenarnya.

Namun, mungkin tidak ada korupsi yang ongkosnya semahal korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Alasannya sederhana, sekaligus mudah. Soalnya, sebagian besar anggaran pemerintah digunakan untuk pengeluaran publik di berbagai sektor. Di satu sisi, nilai kontrak per tahun untuk pengadaan sangat besar. Di sisi lain, pelaksanaannya selalu melibatkan banyak pemain (kontraktor), yang membuka peluang terjadinya penyuapan, pemerasan, ataupun bentuk-bentuk pembayaran ilegal lainnya.

Suap menjadi modus yang dominan karena nyatanya pembayaran ilegal untuk memenangi kontrak dan konsesi besar secara umum telah menjadi ajang bisnis para pejabat tinggi dan kontraktor. Secara teknis, penyuapan dalam proses pengadaan barang dan jasa dilakukan untuk mendapatkan beberapa tujuan.

Pertama, perusahaan atau pengusaha rela membayar untuk bisa diikutsertakan dalam daftar prakualifikasi dan untuk membatasi peserta tender. Kedua, perusahaan juga rela membayar untuk mendapatkan informasi mengenai proyek dari orang dalam. Ketiga, pembayaran ilegal membuat pejabat dapat pengatur spesifikasi tender sehingga perusahaan yang membayar itu akan menjadi satu-satunya pemasok yang lolos prakualifikasi. Keempat, pembayaran ilegal itu dimaksudkan untuk memenangi kontrak. Ketika proses ini terjadi dalam satu kali putaran, konsekuensi yang harus diterima adalah adanya penggelembungan harga dan penurunan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan (Susan Rose-Ackerman, 2006).

Dari hasil kajian ICW pada 2005, terungkap bahwa mekanisme pelaksanaan proyek yang memberikan keistimewaan kepada salah satu pihak melalui penunjukan langsung dianggap oleh pejabat tinggi bukan merupakan pelanggaran yang serius. Padahal hal itu dilarang secara tegas dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah mengingat nilai proyek di atas Rp 50 juta harus melalui mekanisme pelelangan (tender). Dari temuan ICW, terdapat 43 kasus yang terindikasi korupsi di sektor pengadaan, yang modusnya menggunakan penunjukan langsung.

Selain indikasi korupsi yang terjadi dengan melakukan penunjukan langsung, modus korupsi lainnya yang kerap terjadi pada proses pengadaan adalah praktek markup (48 kasus), pemerasan (50 kasus), penyimpangan kontrak (1 kasus), dan proyek fiktif (8 kasus). Banyaknya modus korupsi yang terjadi pada sektor pengadaan menunjukkan masih buruknya sistem akuntabilitas dan transparansi pemerintah serta tidak berjalannya sistem pencegahan yang efektif untuk meminimalisasi terjadinya praktek korupsi di sektor tersebut.

Dengan kata lain, mekanisme kerja, tradisi, dan perilaku birokrasi yang sarat dengan perburuan rente masih menjadi penyakit serius yang menghambat pemerintah yang bersih. Hal ini mengingat ancaman nyata dalam korupsi pengadaan adalah buruknya kualitas barang/jasa yang dihasilkan sehingga tidak dapat melayani kepentingan publik secara efektif dan efisien. Demikian halnya dengan pemborosan anggaran yang terjadi karena penyusunan anggaran proyek yang digelembungkan. Dalam konteks ini, masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan.

Fenomena rent seeker tidak hanya dapat dilihat pada modus korupsi yang terjadi, tapi juga dapat diketahui dari pemetaan sektor-sektor yang selama ini rawan terjadinya korupsi. Dari data media massa yang dikumpulkan selama 2005, diketahui bahwa korupsi di sektor pengadaan barang/jasa menempati posisi tertinggi (66 kasus). Diikuti kemudian oleh sektor anggaran Dewan (58 kasus) dan infrastruktur (22 kasus). Yang terakhir ini bisa dikatakan memiliki keterkaitan dengan isu korupsi dalam pengadaan barang/jasa mengingat sebagian belanja pemerintah dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur.

Korupsi politik

Sebagaimana disebutkan di atas, inti dari korupsi pengadaan barang dan jasa adalah penyuapan. Penyuapan dapat dideskripsikan sebagai mekanisme saling menukar sumber daya kekuasaan dan uang. Penjelasan lebih jauhnya, sumber daya kekuasaan mewujud dalam kewenangan, otoritas, informasi, jumlah, dan besarnya proyek yang menjadi domain pejabat, sedangkan kekuasaan uang ada pada diri pelaku usaha/pebisnis/pengusaha.

Karena itu, memandang korupsi pengadaan barang/jasa tidak serta-merta hanya dianggap sebagai gejala penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur birokrasi belaka, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari memperoleh sumber daya politik dan sumber daya ekonomi. Dengan kata lain, korupsi pengadaan bukan saja bicara soal korupsi birokrasi, melainkan bersinggungan erat dengan korupsi politik. Pertautan keduanya sungguh jelas.

Secara alamiah, keinginan untuk tetap berkuasa ada pada diri setiap politikus. Tidak hanya mempertahankan, melainkan juga melanggengkan dan memperbesar pengaruh kekuasaannya. Dengan kepemilikan otoritas dan kekuasaan, mereka bisa menggunakannya untuk memperkuat posisi bisnis, sedangkan keuntungan dari bisnis itu digunakan untuk memperluas dan mempengaruhi kekuasaan.

Politikus yang memiliki bisnis punya kepentingan langsung terhadap proyek-proyek di birokrasi. Politikus juga membawa kepentingan elite partai/partai politik dalam rangka menjaga dukungan kelompok bisnis terhadap partai. Karena itu, politikus yang berkepentingan dapat melakukan intervensi dalam bentuk memasukkan proyek-proyek yang diinginkan oleh kroni bisnis dalam rencana anggaran dinas/instansi tertentu.

Barangkali karena besarnya kepentingan politikus dalam berbagai proyek pemerintah, korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa sulit sekali diberantas. Panitia pengadaan barang dan jasa tampaknya hanya memiliki sedikit posisi tawar, kecuali jika terlibat secara bersama-sama dalam mendesain penyimpangan. Posisi tawar yang lemah menyulitkan adanya penilaian yang obyektif, kredibel, dan mandiri atas proses pelelangan karena mereka sendiri adalah kelompok yang rentan tekanan, baik dari internal maupun eksternal.

Sementara proses hukum sulit menjangkau pelaku sesungguhnya, penolakan untuk menjadi panitia pengadaan barang dan jasa akan kian menggejala. Pemerintah pada akhirnya akan disulitkan sendiri dengan rendahnya daya serap penggunaan anggaran, khususnya di pemerintah daerah yang akhir-akhir ini muncul di banyak pemberitaan di media massa. Selama panitia pengadaan bukan merupakan bagian yang independen dalam relasinya dengan pejabat politik, di sisi lain mereka yang pertama kali akan menghadapi proses hukum jika terjadi penyimpangan, ketakutan untuk menjadi pemimpin proyek menemukan pembenarannya.

Artikel ini juga bisa dibaca di koran tempo, selasa, 18 Juli 2006